Kejaksaan Rampas BB Hasil Korupsi Penjualan Kondensat: Uang Korupsi Honggo Dibungkus Plastik

Kejaksaan Agung RI mengeksekusi barang bukti uang hasil korupsi terdakwa penjualan kondensat di BP Migas Honggo Wendratno sebesar Rp 97 milliar

Editor: Ady Sucipto
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Kejaksaan merilis uang sitaan hasil korupsi di gedung Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Selasa (7/7/2020). 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung RI mengeksekusi barang bukti uang hasil korupsi terdakwa penjualan kondensat di BP Migas Honggo Wendratno sebesar Rp 97 milliar pada Selasa (7/7).

Uang itu akan dikembalikan kepada kas negara.

Eksekusi bukti perkara itu dilakukan langsung oleh sejumlah pejabat utama Kejaksaan Agung RI di kantornya, Jakarta Selatan.

Pantauan Tribun tumpukan uang tersebut juga diperlihatkan di hadapan awak media.

Tumpukan uang pecahan Rp 100 ribu tersebut diletakkan di dua meja yang dijejerkan secara memanjang sepanjang kurang lebih 3 meter.

Di dalam satu kemasan plastik, terdapat 8 hingga 11 gepokan uang Rp 100 ribuan.

Gepokan uang di dalam plastik itu kemudian ditumpuk lagi secara vertikal hingga hampir menutupi meja konferensi pers.

Di depan meja itu tertulis total uang korupsi tersebut tercantum mencapai Rp 97.090.201.578.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Ali Mukartono mengatakan eksekusi itu menyusul setelah pengadilan tipikor Jakarta memvonis perkara kasus penjualan kondensat pada Senin (22/6) lalu.

"Kita melakukan eksekusi terhadap perkara tindak pidana korupsi terkait dengan kondensat atas nama terpidana Honggo Wendratno, yang telah berkekuatan hukum pada minggu yang lalu karena sudah berkekuatan hukum maka harus dieksekusi," kata Ali.

Tak hanya uang, pihaknya juga mengeksekusi kilang LBG PT TLI di Tuban, Jawa Timur dalam perkara tersebut.

Dalam perkara ini, kerugian negara sejatinya mencapai Rp 35 triliun.

Namun, pihaknya masih mengejar kekurangan kerugian negara dengan menyita aset-aset dari pihak terkait dalam kasus tersebut.

"Jadi keseluruhan perkara ini kerugian keuangan negara sekitar 35 triliun, tetapi terakhir masih ada kekurangan 128 juta US Dollar sekitar Rp 1,7 sampai 1,8 triliun. Dari kekurangan ini diperhitungkan harga kilang tadi," ujarnya.

Diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT Trans-Pasific Petrochemical Indotama (TPPI), Honggo Wendratno, divonis pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan.

Honggo Wendratno dinyatakan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum hingga merugikan keuangan negara terkait pembelian kondensat (gas bumi berupa cairan) bagian negara yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,7 miliar dollar Amerika Serikat atau Rp 37,8 triliun.

Persidangan digelar secara in absentia, karena Honggo masih berstatus buron.

Dalam istilah hukum, pengadilan in absentia adalah sebagai upaya mengadili seseorang dan menghukumnya tanpa dihadiri terdakwa tersebut.

"Mengadili terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama," kata Ketua Majelis Hakim Rosmina di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selain menjatuhkan pidana pokok, majelis hakim juga menjatuhkan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti Rp 97 miliar.

Apabila tidak sanggup membayar, maka diganti hukuman penjara selama enam tahun.

Sebagai tindak lanjut pembacaan putusan itu, majelis hakim memerintahkan Jaksa menyebarluaskan informasi vonis Honggo tersebut ke berbagai tempat.

"Memerintahkan penuntut umum untuk mengumumkan putusan ini pada papan pengadilan, kantor pemerintah, dan media lainnya," tambahnya.

Untuk diketahui, Honggo melakukan perbuatan bersama dengan mantan Kepala BP Migas Raden Priyono dan Deputi Finansial Ekonomi dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono.

Mereka dinilai terbukti merugikan keuangan negara 2.588.285.650,91 dolar AS (sekitar Rp37,8 triliun).

Kasus ini bermula saat Dirut PT TPPI Honggo Wendratno mengajukan program PSO (Public Service Obligation) melalui surat ke BP Migas.

Honggo mengklaim, selain mampu menghasilkan produk aromatic (paraxylene, benzene, orthoxylene, toluene), PT TPPI juga mampu memproduksi Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya Mogas RON 88 (bensin premium) sebagaimana Surat Nomor: TPPI/BPH Migas/L-040 tertanggal 5 Mei 2008 yang ditujukan kepada BP Migas.

Padahal saat itu PT TPPI mengalami kesulitan keuangan dan telah berhenti berproduksi dan PT TPPI memiliki utang kepada PT Pertamina (Persero).

Honggo kemudian mengirimkan surat permohonan kepada Djoko selaku agar TPPI dapat membeli minyak mentah/kondensat sebagai bahan baku langsung dari BP Migas untuk produksi BBM guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Atas permohonan itu, Djoko menyetujuinya.

Raden Priyono kemudian menunjuk PT TPPI sebagai penjual Kondensat bagian negara tapi penunjukan itu menyalahi prosedur.

Penunjukan langsung PT TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melibatkan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah/Kondensat Bagian Negara sehingga tidak pernah dilakukan kajian dan analisa selain itu penunjukan PT. TPPI sebagai penjual kondensat bagian negara tidak melalui lelang terbatas, PT TPPI tidak terdaftar di BP Migas, PT TPPI tidak pernah mengirim formulir atau penawaran, dan PT TPPI tidak menyerahkan jaminan berupa Open Credit/Irrevocable LC.

Priyono dan Djoko kemudian menyerahkan kondensat bagian negara kepada PT TPPI dari kilang Senipah, kilang Bontang Return Condensate (BRC) dan kilang Arun tanpa dibuatkan kontrak kerja sama dan tanpa jaminan pembayaran.

Akibat penyerahan kondesat itu, Honggo tidak mengolah kondensat bagian negara itu di kilang TPPI.

PT TPPI mengolah kondensat bagian negara yang seharusnya menjadi Produk Migas 88, kerosene dan solar yang dibutuhkan PT Pertamina, menjadi produk-produk olahan kondensat yang tidak dibutuhkan PT Pertamina.

Akibatnya, semua produk olahannya tidak dijual ke PT Pertamina (Persero) tetapi dijual ke pihak lain.

Jumlah keseluruhan penyerahan kondensat bagian negara kepada Honggo sejak 23 Mei 2009 sampai 2 Desember 2011 sebanyak 33.089.400 barel dengan nilai AS$2.716.859.655.

Menanggapi eksekusi dan perampasan oleh Kejaksaan Agung, pihak TubanPetro angkat bicara.

Direktur Utama TubanPetro Sukriyanto meyakini kinerja anak usaha PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro), yakni PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) diyakini akan semakin baik di masa depan seiring kemampuan produksi yang terus bertambah.

Paling baru, TPPI menerima pengelolaan dan pengoperasian kilang elpiji PT Tuban LPG Indonesia (TLI) dari Negara.

Aset kilang TLI kini diserahkan ke negara cq Menteri Keuangan oleh Kejaksaan Agung.

Sukriyano meyakini proses pelimpahan aset kilang TLI ke negara dapat mendukung rencana untuk mengurangi defisit neraca perdagangan dari sektor bahan bakar minyak dan produk petrokimia.

Ia menyampaikan, pabrik elpiji TLI mampu memproduksi LPG (Liquified Petroleum Gas) sebanyak 20 ton per jam.

Alhasil dalam sehari mampu memproduksi elpiji sebanyak 480 ton. Sehingga produksi dalam setahun dapat mencapai 175.200 ton.

Kilang TLI ini mendapat pasokan bahan baku dari gas buang hasil proses produksi TPPI yang kemudian diproses menjadi elpiji.

“Jika tidak ada pabrik elpiji, maka kapasitas produksi yang saya sebutkan tadi, hanya akan terbuang ke udara.

Sementara jika diintegrasikan, dapat diubah menjadi elpiji, hasilnya dapat dijual di dalam negeri sehingga mengurangi impor dan TPPI mendapat sumber pemasukan baru yang dapat mendorong kinerja keuangan menjadi lebih baik,” ujar Sukriyanto.

Sukriyanto menambahkan, saat ini TubanPetro sebagai perpanjangan tangan Pertamina berkomitmen untuk melaksanakan penugasan pemerintah untuk melakukan peningkatan kapasitas produksi PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) melalui Revamp Platformer dan Revamp Aromatik yang akan selesai tepat waktu.

Revamp platforming bertujuan meningkatkan kapasitas pengelolaan unit platforming dari 50 ribu barrel perhari menuju 55 ribu barrel per hari.

Sedangkan Revamp Aromatik adalah untuk memproduksi 780 ribu ton per tahun paraxylene dari kapasitas saat ini sebesar 600 ribu ton.

Hal ini dilakukan untuk menaikkan pendapatan perusahaan dan memenuhi kebutuhan domestik paraxylene serta menurunkan impor.

Pengintegrasian kilang aromatik dengan olefin dan downstream-nya di komplek TPPI akan meningkatkan efisiensi produksi serta daya saing.

Hal ini merupakan langkah strategis yang akan dilakukan Pertamina, menyusul masuknya Pertamina sebagai pemegang saham TubanPetro pada akhir tahun lalu.

Semua langkah strategi tersebut ditujukan untuk meningkatkan produktivitas, profitabilitas dan sustainabilitas perusahaan.

Pertamina melalui TubanPetro telah menyuntikkan modal ke TPPI sebesar US$ 70 juta di mana US$ 35 juta digunakan untuk sebagian pembiayaan proyek revamping.

Menurut Sukriyanto, pengembangan-2 yang akan dilakukan adalah dalam rangka meningkatkan performance group dan mendukung roadmap pengembangan petrokimia Pertamina yang terintegrasi dengan bisnis migas Pertamina yang ada selama ini, sehingga dimungkinkan untuk segera direalisasikan dalam waktu dekat.

Berbagai optimalisasi yang saat ini tengah dilakukan, menjadi bukti bahwa kebijakan restrukturisasi terhadap TubanPetro merupakan langkah tepat.

Kini, TubanPetro konsisten melakukan perluasan kapasitas produksi di anak usaha. Perusahaan optimistis bahwa bisnis petrokimia ke depan akan tetap cerah.

Apalagi di tengah Covid-19 berbagai produk-produk alat kesehatan yang notabene memerlukan berbagai bahan baku dari petrokimia, dari sisi permintaan terus tumbuh.

Seperti kebutuhan untuk produk APD, kantong infus, obat-obatan, hingga masker medis.

“Saat ini proyek penugasan untuk memperbesar kapasitas produksi paraxylene di TPPI terus berjalan. Untuk kapasitas produksi di anak usaha, tidak ada pengurangan sama sekali,” tegas Sukriyanto.

Sukriyanto melanjutkan, saat ini juga telah dilakukan peningkatan kapasitas produksi polypropylene salah satu anak usaha TubanPetro, yakni PT Polytama Propindo (Polytama).

Pabrik Polytama yang sebelumnya memproduksi 240 ribu metrik ton per tahun, kini dapat memproduksi 300 ribu metrik ton per tahun.

Ke depan, akan dibangun pula pabrik penghasil polypropylene kedua yang menggandakan kapasitas produksi saat ini, mengingat permintaan domestik atas polypropylene yang masih sangat tinggi.

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati sebelumnya menyampaikan, dua proyek di TPPI terus berjalan yakni revamping untuk aromatik dan pembangunan unit produksi olefin.

Dua proyek tersebut akan dituntaskan di akhir 2022 sesuai janji kepada Presiden Jokowi. (Tribun Network/igm/wly)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved