Susi Pudjiastuti Sentil Lagi Soal Ekspor Benih Lobster : Lucu, Masa Laut Isinya Cuma Bibit Lobster?
Susi menyebutkan, kebijakan ekspor benih lobster merupakan hal yang aneh, karena hanya Indonesia saja yang mengizinkan ekspor benih lobster.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti kembali bicara terkait kebijakan ekspor benih lobster yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan penggantinya, Edhy Prabowo.
Susi Pudjiastuti mengaku geli karena salah satu alasan diizinkannya ekspor benih lobster adalah banyak nelayan yang mengantungkan hidupnya menjadi pencari benih.
Menurutnya, sumber daya laut bukan hanya benih lobster saja.
"Sekarang diwacanakan, pengambil bibit nanti ambil apa kalau tidak ambil bibit? Ya lucu, ya masa di laut itu isinya cuma bibit lobster? Adanya bibit karena ada emak lobster. Lobster besar inilah yang ditangkap, jangan bibitnya," kata Susi dalam diskusi daring, Kamis (23/7/2020).
Susi menyebutkan, kebijakan ekspor benih lobster merupakan hal yang aneh, karena hanya Indonesia saja yang mengizinkan ekspor benih lobster.
Beberapa negara seperti Australia, Filipina, Kuba, hingga Sri Lanka tidak mengambil benih lobster untuk diekspor.
Bahkan Australia telah melarang penangkapan lobster dengan jenis kelamin betina agar keberlanjutannya terjaga.
Itulah mengapa dia menganggap lucu bila alasannya karena nelayan tidak punya pekerjaan lain.
"Kalau tidak bisa menangkap bibit, (nelayan) tidak bisa menangkap yang lain? Oh, bisa. Itu ribuan jenis ikan ada di laut. Tangkap (lobster) yang ukuran 200 gram, atau paling tidak 100 gram," tutur Susi.
Susi justru merasa khawatir bila bibit lobster diambil, nelayan kecil justru tak lagi mendapat uang dari menangkap lobster ukuran konsumsi.
Menurutnya lagi, menangkap lobster kerap dilakukan nelayan kecil karena penangkapannya yang mudah.
Tak perlu memakai kapal besar, lobster bisa ditangkap hanya dengan bekal jermal ataupun ban dalam mobil.
Harga lobster ukuran konsumsi biasanya mencapai ratusan ribu tergantung dari jenis dan ukuran.
"Kita pakai akal sehat saja. Kenapa kita mesti menghidupi Vietnam? Lucu buat saya. Saya percaya negara wajib melindungi SDA untuk kemaslahatan masyarakat. Indonesia akan jadi negara besar kalau lautnya bisa dikelola dengan baik," pungkas Susi.
Sebelumnya, Menteri KP Edhy Prabowo menyebut keputusannya mengizinkan ekspor benih bening lobster alias benur sudah berdasarkan nilai historis kemanusiaan sekaligus berdasarkan ilmiah.
Alasan lainnya adalah untuk kesejahteraan nelayan yang selama ini hidupnya bergantung pada benih.
"Kalau ditanya berdasarkan apa kami memutuskan? Nilai historis kemanusiaan karena rakyat butuh makan. Tapi berdasarkan ilmiah, juga ada. Kalau ditanya dulu penelitian seperti apa? Dulu tidak ada. ini ada Dirjen-dirjennya, belum berubah orang-orangnya," kata Edhy beberapa waktu lalu.
Alasan Edhy Prabowo
Adapun sebelumnya Menteri Kelautan dan Perikanan ( KKP), Edhy Prabowo, menyebut dibukanya kembali ekspor benih lobster dilakukan semata demi menyejahterakan rakyat.
"Kita libatkan masyarakat untuk bisa budidaya (lobster). Muaranya menyejahterakan," kata Menteri Edhy dalam keterangan tertulisnya seperti dikutip Minggu (5/7/2020).
Kebijakan yang kembali menginzinkan ekspor benih lobster tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020.
Regulasi ini mengatur pengelolaan hasil perikanan seperti lobster (Panulirus spp.), kepiting (Scylla spp.), dan rajunfan (Portunus spp.).
Aturan ini sekaligus merevisi aturan larangan ekspor benih lobster yang dibuat di era Susi yakni Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016.
Edhy menegaskan, kebijakan pembukaan ekspor benur dilakukan untuk nelayan yang menggantungkan hidup dari menangkap benih lobster.
Selain itu, kebijakan tersebut juga ditujukan untuk membangkitkan geliat pembudidayaan lobster di berbagai daerah.
Pemerintah juga terus meningkatkan akses permodalan lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor perikanan.
Edhy menginginkan publik dapat melihat kebijakan itu secara utuh dengan mengingat arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan meliputi perlindungan dan pemberdayaan serta peningkatan pendapatan nelayan.
"Yang paling penting, izin itu dibuat untuk kesejahteraan, manfaat atau tidak ke masyarakat," ujar Edhy.
Edhy menegaskan, tidak menutupi apapun dalam kebijakan ekspor benih lobster.
Sebelum melegalkan ekspor benih lobster, KKP telah melakukan kajian mendalam lewat konsultasi publik.
"Ekspor ini tidak hanya melibatkan korporasi tapi juga nelayan. Karena penangkap benihnya kan nelayan. Terdapat 13.000 nelayan yang menggantungkan hidup dari mencari benih lobster," kata Edhy.
Susi Mohon Kepada Jokowi
Susi Pudjiastuti juga sempat memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tegas memberantas pelaku illegal fishing dan kebijakan yang merugikan masyarakat.
Kebijakan yang Susi maksud adalah kebijakan yang mengizinkan kapal ikan asing masuk ke wilayah Indonesia, legasilasi alat-alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti cantrang, pukat hela (trawl), dan pukat cincin (purseiners).
"Saya mohon kepada Pak Presiden dari lubuk hati yang paling dalam, dengan segala kerendahan hati, Pak Presiden bisa mengatakan tidak untuk IUUF, untuk mencegah kapal-kapal asing masuk, untuk mencegah kembalinya alat-alat tangkap tidak ramah lingkungan," kata Susi dalam acara webinar, Jumat (12/6/2020) seperti dikutip dari Kontan.
IUUF adalah singkatan dari illegal, unreported, and unregulated fishing, alias penangkapan ikan ilegal, tak dilaporkan, dan tidak diatur.
Susi mengaku sangat khawatir dengan kondisi laut saat ini. Menurutnya, hanya Jokowi yang bisa mencegah hal buruk kembali terjadi di laut Indonesia karena kepemimpinan ada di bawahnya.
"Hanya satu pikir saya bisa menyelesaikan kekhawatiran ini. Karena Pak Presiden mempunyai semua kewenangan, ultimate power, dan ultimate kebijakan ada di Bapak. Gerakkan seluruh pembantu Bapak," ujar Susi.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berencana menerbitkan revisi soal perizinan delapan alat tangkap baru termasuk cantrang.
Delapan alat tangkap ini merupakan alat penangkap ikan (API) yang belum diatur atau dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 86 Tahun 2016.
Kedelapan alat tangkap ikan baru itu berdasarkan hasil kajian sebagai tindak lanjut Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.717/MEN-KP/11/2019 tentang Kajian terhadap Peraturan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Alat tangkap yang masuk dalam daftar legal adalah pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis.
KKP juga merevisi peraturan perikanan tangkap, yang kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross ton (GT) kembali beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22%.
Kartel Besar di Laut
Selain itu Susi Pudjiastuti juga sempat mengungkap soal kartel di sektor kelautan dan perikanan saat dia menjabat sebagai menteri.
Susi Pudjiastuti mengatakan sempat membereskan administrasi kapal ikan dalam negeri bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk bisa ditarik pajaknya.
Saat disisir, dari sekitar 5.000 kapal terdaftar berukuran 100 gross ton (GT) ke atas, kapal-kapal itu didominasi oleh 8 perusahaan dengan arus uang yang mengalir ke 4 perusahaan besar.
"Kepemilikan paling besar didominasi hanya 8 company. Kalau kita lihat arus uangnya mengalir ke cuma 3-4 perusahaan atau negara. Di sini ada kartel besar yang menguasai sumber daya laut kita," kata Susi dalam webinar.
Susi bilang, kapal-kapal ini bahkan enggan membayar pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan nilai yang semestinya.
Hal itu terlihat saat pihaknya bertanya kepada pemilik kapal tentang jumlah kepemilikan kapal yang beroperasi di perairan Indonesia.
"Ditanya, 'Bapak punya kapal berapa?".
Dia jawab mungkin 2. Bagaimana bisa punya kapal ratusan gross ton yang panjangnya 20 meter, (jumlah) kapalnya saja tidak ingat?" seloroh Susi.
Hal itu membuat Susi dan Sri Mulyani geram.
Susi bahkan mengaku ingin melemparnya dengan sepatu hak tinggi (high heels) karena merugikan negara.
"Sampai Bu Sri Mulyani bilang, "Wah ini saya ingin lempar saja pakai sepatu,".
Saya bilang "Iya, saya juga mau, Bu. Saya mau lempar saja pakai sepatu saya yang high heels," seloroh Susi sambil tertawa.
Adapun dengan mendata ulang armada kapal di Indonesia, penerimaan negara sempat naik dari yang semula hanya Rp 300 miliar menjadi Rp 1,8 triliun di Pelabuhan Muara Baru.
Namun, kata Susi, seharusnya penerimaan negara bisa lebih dari itu bila pengusaha jujur melaporkan hasil tangkapannya.
"Harusnya pajak yang bisa dipetik Bu Sri Mulyani bisa sampai Rp 25 triliun dari muara baru saja, kalau kita benar mendata hasil tangkapannya," pungkas Susi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Susi Pudjiastuti soal Ekspor Benih Lobster: Kita Pakai Akal Sehat Saja, Kenapa Mesti Menghidupi Vietnam?" dan "Apa Alasan Edhy Prabowo Cabut Larangan Ekspor Benih Lobster Era Susi?" serta Kontan dengan judul Susi Pudjiastuti: Saya mohon Pak Presiden dari lubuk hati paling dalam