Ngopi Santai

Makan Are Gau Bersama Jakob Oetama

Jakob Oetama dan Frans Seda bersahabat karib. Persahabatan yang unik. Satu berwatak NTT (Flores) yang keras, bicara lugas, blak-blakkan.

Penulis: DionDBPutra | Editor: Eviera Paramita Sandi
Dokumentasi Pribadi / Dion DB Putra
Foto kenangan bersama Jakob Oetama, Frans Seda, August Parengkuan di Lekebai, Sikka, Flores, 27 Oktober 2005. 

"Tapi entahlah, apakah anak- anak sekarang masih suka makan atau tidak. Saya tidak tahu," lanjut Frans Seda.

Ulat bulu hidup dalam bambu, umumnya jenis bambu aur. Dalam satu rumpun bambu, lazimnya ada batang muda yang kurang subur. Buku-bukunya rapat. Ruasnya bengkok.

Di situlah hidup ulat (kepompong) warna putih sebesar jari kelingking anak-anak, panjang 3-5 cm. Masak lalu dimakan. Bisa ditemani sambal. Digoreng atau lawar pun enak. Saat masuk mulut lalu dikunyah akan terdengar bunyi kriuk..kriuk.

"Apa sih khasiatnya Pak Frans?" tanya Wakil Pemimpin Umum Kompas, St Sularto saat itu. "Oh...khasiatnya luar biasa. Makanan bergizi tinggi. Makanya saya sehat dan kuat sampai sekarang," kata Frans Seda yang saat itu berusia 79 tahun.

Semasa hidup, Frans Seda memang cinta mati makanan tradisional dari kampung halamannya Flores. Kecintaan Frans Seda terlihat jelas saat makan siang di Waiara maupun dalam acara syukuran ulang tahunnya ke-79 di rumahnya di Maumere pada Kamis (27/10/2005) malam.

Di meja makan tersaji are gau (ketupat), are merah (nasi dari beras merah), koro/horo ipu dan mbarase (sambal dengan bahan utama ikan kecil) yang mudah diperoleh di perairan Paga-Maulo'o Flores, singkong rebus, ae mage (kuah asam-ikan) serta kura mbo (udang dan ikan dari sungai/kali).

Frans Seda selalu meminta Jakob Oetama mencicipi makanan khas Flores.

"Pak Jakob, cobalah ini. Namanya are gau. Rasanya lain, tidak sama dengan ketupat di Jawa," kata Frans Seda menunjuk are gau saat makan siang di Waiara.

Tokoh kelahiran Borobudur, Jawa Tengah, 27 September 1931 pun enggan menolak. "Memang enak ya.." kata Jakob perlahan. Kami yang lain juga tak ketinggalan makan are gau bersama beliau siang itu.

Makan siang yang sungguh nikmat. Waktu satu jam terasa berlalu amat lekas. Pertanyaan Jakob Oetama menyadarkan kami. "Acara kita selanjutnya apa?"

"Oh, kita ke kampung dulu. Nanti terkutuk kalau saya tidak bakar lilin di kubur orangtua," kata Frans Seda.

Dengan tiga mobil Kijang, kami meninggalkan Waiara lima belas menit jelang pukul 14.00 Wita. Kami menuju Lekebai, 40 km arah barat Maumere.

Di sinilah Frans Seda lahir dan menghabiskan masa kanak-kanaknya. Dibesarkan orangtua dengan cinta, dikasihi saudara dan keluarganya.

Turun dari mobil di Lekebai, Frans Seda mengajak rombongan Jakob Oetama masuk ke pelataran rumah di kompleks yang cukup luas.

Di sana terdiri dari beberapa rumah, termasuk bangunan rumah adat asli yang menurut Frans Seda tersimpan pusaka warisan nenek moyang secara turun-temurun.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved