Serba Serbi

Tumpek Krulut Bertepatan dengan Purnama Kalima, Apa Persembahan yang Dihaturkan?

Sabtu (31/10/2020) merupakan hari raya Tumpek Krulut juga bertepatan dengan Purnama Kelima

Tribun Bali/I Putu Supartika
Ilustrasi persembahyangan. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Sabtu (31/10/2020) merupakan hari raya Tumpek Krulut juga bertepatan dengan Purnama Kelima.

Tumpek Krulut dirayakan setiap 210 hari atau enam bulan sekali tepatnya Saniscara (Sabtu) Kliwon Wuku Krulut.

Menurut Dosen Bahasa Bali Universitas Udayana yang juga pegiat lontar, I Putu Eka Guna Yasa, kata krulut dalam Tumpek Krulut berasal dari kata lulut yang artinya kasih sayang.

"Tumpek Krulut ini merupakan hari raya untuk pemujaan gambelan, atau lebih tepatnya memuja Bhatara Iswara," kata Guna.

Baca juga: Ramalan Zodiak Karier 31 Oktober 2020, Gemini Mampu Atasi Kesulitan, Scorpio Tingkatkan Kemampuan

Baca juga: Ramalan Shio 31 Oktober, Shio Babi Fokuslah Pada Hal-hal Positif, Shio Kambing Dengarkan Intuisimu

Baca juga: Hubungan Pakistan dan India Kembali Tegang, Ini Pemicunya

Kasih sayang tersebut diwujudkan dalam bentuk keindahan suara gambelan.

Namun, jika Tumpek Krulut ini dikaitkan dengan hari valentine-nya Bali, Guna kurang setuju.

Walaupun generasi muda sekarang haus merayakan valentine, tapi menurut Guna, jangan sampai mengaitkan hari suci dengan valentine.

"Valentine ya tetap tanggal 14 Februari, jangan mengaitkan hari suci dengan valentine," imbuhnya.

Kalau untuk melakukan pemujaan kepada gamelan, tetap itu saja maknanya.

"Jangan sampai nanti merayakan Tumpek Krulut orang Bali malah nukar jaja iwel, seperti menukar coklat saat valentine," katanya.

Sementara itu, Purnama jatuh saat bulan penuh atau sukla paksa.

Dalam lontar Sundarigama dikatakan bahwa Purnama merupakan payogan Sang Hyang Candra.

Terkait purnama ini disebutkan:

Mwah hana pareresiknira sang hyang rwa bhineda, makadi sang hyang surya candra, yatika nengken purnama mwang tilem, ring purnama sang hyang ulan mayoga, yan ring tilem sang hyang surya mayoga.

Artinya:

Ada lagi hari penyucian diri bagi Dewa Matahari dan Dewa Bulan yang juga disebut Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu saat tilem dan purnama.

Saat purnama adalah payogan Sang Hyang Wulan (Candra), sedangkan saat tilem Sang Hyang Surya yang beryoga.

Saat purnama juga merupakan hari penyucian diri lahir batin.

Oleh karena itu semua orang wajib melakukan penyucian diri secara lahir batin dengan mempersembahkan sesajen berupa canang wangi-wangi, canang yasa kepada para dewa, dan pemujaan dilakukan di Sanggah dan Parahyangan, yang kemudian dilanjutkan dengan memohon air suci.

Dimana dalam lontar Sundarigama disebutkan:

Samana ika sang purohita, tkeng janma pada sakawanganya, wnang mahening ajnana, aturakna wangi-wangi, canang nyasa maring sarwa dewa, pamalakunya, ring sanggat parhyangan, laju matirta gocara, puspa wangi.

Selain itu, Purnama juga merupakan hari baik untuk melakukan dana punia.

Menurut Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Kertha Bhuana, dari Gria Batur Giri Murti, Glogor, Denpasar, kadang ada orang yang melihat peristiwa bagus atau baik untuk melakukan sedekah.

Misalnya saja mereka melakukan sedekah saat purnama.

“Saat purnama orang sedang senang-senangnya karena melihat bulan purnama. Kan senang melihat bulan bulat bersih, sehingga sangat baik bersedekah pada orang lain saat sedang senang,” kata Ida Rsi.

Memberikan bantuan pada orang yang memerlukan dan orang yang kurang senang pada saat purnama atau pada saat si pemberi itu senang menurut Ida Rsi sangat tepat.

Waktunya tepat dan memberikan sesuatu yang bermanfaat.

Sementara itu, jangan lupa juga melakukan ‘sedekah’ atau persembahan kepada Bhuta Kala dengan segehan.

Sedangkan yang ke atas melakukan persembahan kepada Tuhan dengan kembang.

“Sehingga seimbang persembahan kita. Ke patala ada, dan ka akasa juga ada,” kata Ida Rsi.

Ida mencontohkan saat usai perang Bharata Yudha, seorang raja melakukan upacara aswameda.

Walaupun raja melakukan itu, tetapi pendeta yang keluarganya miskin melakukan dengan memungut gandum, memasaknya, lalu dipersembahkan kepada leluhur.

Mengenai sedekah, disebutkan dalam Sarasamuscaya, 170 berbunyi:

Amatsaryam budrih prahurdanam dharma ca samyamam,

wasthitena nityam hi tyage tyasadyate subham.

Nihan tang dana ling sang Pandita, ikang si haywa kimburu,

Ikang si jenek ri kagawayaning dharmasadhana,

apan yan langgeng ika, nitya katemwaning hayu,

pada lawan phalaning tyagadana.

Artinya:

Yang disebut dana (sedekah) kata sang pandita, ialah sifat tidak dengki (iri hati), dan yang tahan berbuat kebajikan (dharma) sebab jika terus menerus begitu, senantiasa keselamatan akan diperolehnya, sama pahalanya dengan amal yang berlimpah-limpah.

Akan tetapi, menurut Ida bersedekah itu tidak usah memandang pahala, ada atau tidak yang penting laksanakan.

“Seperti yang dikatakan dalam Bhagawad Gita, tetap memberikan persembahan, lakukan kewajiban jangan mengharapkan phala. Ada atau tidak phala laksanakan saja,” tambah Ida Rsi.

Dalam petikan Bhagawad Gita, XVII. 25 disebutkan:

Tat ity anabhisanshaya

Phalam yajna-tapah-kriyah,

Dana-kriyas ca vividhah

Kriyante moksa-kansibhih

Yang artinya: dengan ucapak “Tat” dan tanpa mengharap-harap pahalan atas penyelenggaraan ucapan yajna, tapabrata dan juga dana punia yang berbagai macam jenisnya, dilaksanakan oleh mereka yang mengharapkan moksa. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved