Profil Ki Seno, Dalang Kondang Yogyakarta yang Meninggal di Usia 48 Tahun
Ki Seno meninggal di umur 48 tahun, berikut ini profil lengkap hingga perjalanan kariernya
Diberitakan Kompas.com, berikut ini perjalanan karier Ki Seno.
Dikutip dari salah satu videonya di channel Dalang Seno, dia memiliki "darah" dalang.
Ayah, kakek, hingga kakek buyutnya juga merupakan dalang.
Ayahnya seorang dalang bernama Ki Suparman.
Dalam videonya itu, dia menceritakan pada waktu kecil, ia sering ikut ayahnya mendalang.
Namun saat itu masih belum tertarik menjadi dalang.
Suatu ketika, pada waktu SMP, ia diajak menonton Ki Mantep Sudarsono mendalang di Sasoho Hinggil Dwi Abad Yogyakarta.
"Dari situ saya melihat kepiawaian Pak Mantep mengolah wayang luar biasa. Sepulang pentas wayang itu saya terpacu, terpecut hati saya. Beliau pun bisa kenapa kita tidak bisa," katanya.
Dari kejadian itu, Ki Seno kemudian semangat belajar mendalang.
Jurusan Pedalangan
Dia menyukai gaya Ki Mantep dan berusaha mempelajarinya dengan datang ke setiap pentasnya di Jogja.
Meski acaranya berbayar, dia berusaha menyisihkan uang agar bisa datang.
Ki Seno kemudian mulai bisa memainkan wayang.
Dia juga memutuskan untuk belajar di Sekolah Menegah Karawitan Indonesia jurusan pedalangan.
Ketika menginjak kelas 2, ayahnya jatuh sakit.
Pada waktu itu pamannya, Ki Supardi, menasehatinya, jika bukan Ki Seno yang melanjutkan perjuangan ayahnya, lalu siapa lagi.
Hal itu melecut semangatnya untuk mulai mendalang.
Baca juga: Profil Rocky Gerung Sosok yang Rajin Kritik Pemerintahan Jokowi, Beber Alasannya Ini
Baca juga: Profil Chandra Suharto, Konglomerat Blue Bird, Ayah Indra Priawan Mertua Nikita Willy
Akan tetapi dia memiliki syarat, dia tak mau ayahnya melihat ketika dia mendalang.
Dua hal yang melatarbelakangi syarat tersebut, pertama karena malu dan kedua takut dimarahi apabila salah dalam mendalang.
Ki Seno pertama kali menjadi dalang di Mrican.
Saat malam pamannya mendalang, siangnya giliran Ki Seno.
Pada awalnya berjalan lancar, tapi ketika Ki Seno menengok ke belakang melihat ayahnya memainkan salah satu alat musik, dia grogi dan pecah konsentrasinya.
Ayahnya lalu keluar.
Malam harinya dia diajak ke Pekalongan.
Selepas ayahnya mendalang di sana, uangnya digunakan untuk membeli jajan.
Padahal jajanan yang dibeli adalah pantangan bagi ayahnya.
Ayahnya pun senang, lantaran sudah ada penerus.
Hal itu yang membuat apa pun permintaan Ki Seno dikabulkan.
Mencari Uang Sendiri
Tidak berapa lama kemudian, ayahnya meninggal.
Ki Seno pun berusaha mencari uang sendiri dengan berbagai cara.
Serabutan pun dilakoninya.
Perjuangannya menjadi seperti saat ini tidak mudah.
Menurutnya dirinya bisa sampai seperti saat ini tidak lepas dari bimbingan senior-seniornya, terutama Ki Mantep.
Lantaran sering diajak manggung, meski belum punya nama.
Meskipun dia adalah dalang, dia tidak pernah menolak ajakan kolaborasi dengan pegiat seni lainnya.
Menurutnya sangat menyenangkan dan berkesan ketika bisa berkolaborasi dengan tokoh-tokoh seni terkenal lainnya.
Pada akhirnya dia telah menjelajah berbagai negara karena kemampuannya mendalang.
Korea, Argentina, Belanda, dan Belgia merupakan sejumlah negara yang pernah dikunjunginya.
Salah satu pengalaman mendalangnya yang berkesan adalah saat dia mengikuti Festival Wayang Dunia di Buenos Aires.
KBRI Argentina yang mengundangnya.
"Harusnya saya pentas satu kali. Tapi karena luar biasa animo penonton sampai saya pentas tiga kali," ujarnya.
Tak cukup sampai di situ, penonton masih menginginkan satu pentas lagi, tapi tidak bisa dilakukan Ki Seno karena harus segera bertolak ke Indonesia.
"Saya sampai menangis melihat penonton. Karena di negara yang tidak tahu wayang yang wayangnya hanya muppet boneka itu, kita pentas dengan wayang kulit itu, penontonnya kayak antre tiket film box office. Luar biasa," ungkapnya.
Digemari Millenial
Dalam bidang wayang, Ki Seno telah sukses menggaet kalangan anak muda untuk menikmati wayang.
Dikutip Kompas.com, 13 Agustus 2019, dia menceritakan, kesuksesan menggaet anak muda yang rela duduk berjam-jam adalah karena dia mendalang dengan bahasa yang sederhana.
“Kami membuat (mementaskan) wayang itu diterima semua kalangan. Wayang identik dengan sastra atau bahasa yang sulit itu kita permudah saja," ujarnya.
Ki Seno mengatakan cerita wayang maupun tuntunan dalam cerita dibuat simpel.
Intinya semua dipermudah saja.
Saat pementasan, dirinya mengikuti keinginan penonton untuk lakon yang dimainkan.
Meski sebenarnya sudah sering dimainkan, ia tidak mempermasalahkan yang terpenting kepuasan penonton.
"Satu lagi menonjolkan tokoh Bagong yang disenangi anak muda itu. Dia saya buat paling ndugal, ketika berhadapan kepada raja paling terhormat. Kalau sudah bagong marah diunek-unekke (dimarahi). Gleleng ning sembodo (Nakal tetapi bisa membuktikan), anak muda kan seperti itu kan. Jiwanya masih jiwa panas," ucapnya.
Ki Seno mengaku menggunakan sarana media sosial untuk menyiarkan pementasannya cukup efektif mengenalkan wayang kepada anak muda.
“Anak sekarang SD saja sudah pegang HP, buka-nya konten YouTube atau nonton film atau apa. Kita coba lewat situ (YouTube) ternyata dan ini luar biasa. Semalam itu minimal 10 ribu penonton. Untuk pertunjukan tradisional lho Mas, itu luar biasa. Tembus 20 ribu (penonton) di Magelang kemarin,” imbuhnya.
Kini, dalang kondang itu telah pergi menghadap ilahi.
Karya Ki Seno akan selalu dikenang untuk selamanya.
Selamat jalan Ki Seno.
(Kompas.com/Penulis Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono/Nur Fitriatus Shalihah)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Wafat di Usia 48 Tahun, Ini Profil Dalang Ki Seno Nugroho