Proses UU Cipta Kerja Dinilai Ugal-ugalan, Pakar: Kesalahan Rumusan Tak Bisa Diperbaiki Sembarangan
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, kelalaian penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembentukannya yang ugal-ugalan.
TRIBUN-BALI.COM - Meski telah sah diterapkan, masyarakat Indonesia masih menyoroti UU Cipta Kerja atau yang disebut sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Sejak awal, UU Cipta Kerja telah memantik penolakan dari berbagai daerah.
Kini, masyarakat kembali menyoroti kesalahan rumusan dalam aturan sapu jagat tersebut.
Seperti dikutip dari Kompas.com, pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, kelalaian penulisan dalam UU Cipta Kerja makin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya yang ugal-ugalan.
Dia mengatakan, makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu.
"Seakan-akan mengerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya. Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara," tuturnya.
Baca juga: UU Cipta Kerja Salah Ketik, Istana Hukum Pejabat Kemensetneg, Begini Kata Dewa Gede Palguna
Sejumlah pakar hukum mejuga nyebut kesalahan rumusan atau pengetikan pada UU Cipta Kerja tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Kesalahan rumusan itu misalnya terjadi pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.
Pasal 6 mengatur, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.
Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.
Pasal 5 hanya menyebutkan, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.
Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.
Oleh karena itu, menurut Yusril, pemerintah dan DPR dapat melakukan rapat guna memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut.
"Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," ujar Yusril.
Yusril mengatakan, setelah naskah UU Cipta Kerja diperbaiki, pemerintah harus mengumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan rujukan resmi.