Serba serbi
Dharmagita Nyanyian Sakral Umat Hindu untuk Yadnya Hingga Hiburan
Dharmagita berfungsi sebagai salah satu unsur yang dapat membuat sebuah yadnya menjadi satwika yadnya.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Dharmagita berfungsi sebagai salah satu unsur yang dapat membuat sebuah yadnya menjadi satwika yadnya.
Hal ini dapat dipahami melalui pemaknaan hakikat dharmagita sebagai sebuah sastra tembang.
Tembang juga disebut sekar. Sekar juga dapat berarti bunga. Demikian dijelaskan Koordinator Prodi Magister Kajian Budaya FIB Unud, Prof. I Nyoman Suarka.
“Dharmagita adalah suatu nyanyian kebenaran, nyanyian keadilan, yang dinyanyikan dalam pelaksanaan upacara agama Hindu,” jelasnya kepada Tribun Bali, Minggu (8/11/2020).
Dharmagita sangat berperan dalam kegiatan upacara agama, sebagai pencurahan perasaan bakti dan pembimbing konsentrasi pikiran menuju suatu kebenaran.
Hal ini disebabkan, jelas dia, karena dharmagita mengandung ajaran agama, susila, tuntunan hidup, serta pelukisan kebesaran Tuhan dalam berbagai manifestasi-Nya.
Sejalan dengan itu, dharmagita sebagai salah satu budaya Hindu, sangat berperanan penting dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan beragama di kalangan generasi muda Hindu sehingga perlu ditanamkan sejak dini.
Lanjutnya, sebagaimana disebutkan dalam Kakawin Nitisastra bahwa pada zaman Kali (era keributan) tiba, maka tidak ada yang melebihi daripada harta kekayaan (uang).
Orang-orang cenderung berebut harta kekayaan dan kekuasaan, tanpa menghiraukan moral dan etika.
Norma-norma hukum diinjak-injak demi meraup kekayaan dan meraih kekuasaan.
“Orang-orang akan kebingungan, lupa kepada jati diri, lupa kepada saudara, dan tiada peduli kepada lingkungan. Adakah gejala zaman yang disebutkan dalam Kakawin Nitisastra itu mirip seperti era yang dialami masyarakat kita sekarang,” katanya.
Guru besar ini menjelaskan, bunga-bunga dalam dharmagita selalu hadir sehingga dapat membuat hati pembaca, pendengar, dan penikmatnya menjadi berbunga-bunga.
“Dalam hubungan inilah tubuh manusia, dharmagita dan bunga dapat dipahami sebagai sekar. Bunga adalah sekar, dharmagita (tembang) adalah sekar, dan tubuh manusia adalah juga sekar. Ketiganya merupakan yantra, tempat semayam dewa keindahan,” sebutnya.
Dharmagita juga merupakan ungkapan rasa bhakti (sradha) kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa.
Dharmagita diciptakan oleh penyair (pujangga) melalui beberapa tahapan. Pujangga (sang kawi) memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya sebagai dewa keindahan, sebagai asal dan tujuan.
“Dewa itu dipandang menjelma dalam segala keindahan, baik di alam sakala, sekala-niskala, maupun alam niskala,” jelasnya. Guna menemukan dewa keindahan yang menjelma di alam sakala, pujangga (sang kawi) mengembara, mengamati pertempuran, kecantikan wanita, menyusuri pantai, menjelajah gunung, hutan, sungai, dan lain-lain sambil berlaku tapa.
Dewa keindahan yang berada di alam niskala, berhasil ditemukan berkat laku tapa atau samadi pujangga (sang kawi).
Dewa keindahan berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala, yakni di atas padma hati atau jiwa pujangga (sang kawi). Pujangga (sang kawi) berupaya mempersatukan diri dengan dewa tersebut.
Persatuan itu merupakan sarana, yakni dengan persatuan pujangga (sang kawi) “bertunas keindahan” sehingga ia mampu menciptakan dharmagita, sekaligus tujuan yakni dengan menciptakan dharmagita, pujangga (sang kawi) berharap dapat mencapai pembebasan tertinggi.
“Sejalan dengan itu, maka dharmagita merupakan yoga sastra dan yoga keindahan,” ujar pria yang akrab disapa Suarka ini.
Dalam rangka yoga itu, dharmagita merupakan yantra, sebagai candi tempat semayam dewa keindahan dan objek samadi bagi para pemuja dewa keindahan serta sebagai silunglung, bekal kematian. Dharmagita, kata dia, berfungsi membentuk dan menumbuhkan budi pekerti luhur (budi kaparamartan).
Dalam Geguritan Purwasanghara, dijelaskan bahwa untuk dapat mengarungi samudra zaman Kali (era keributan) yang penuh badai itu, dapat ditempuh melalui kesusilaan budi, yakni keseimbangan antara akal budi dan kepekaan hati nurani.
Dalam menyikapi berbagai situasi dan problema kehidupan, baik sebagai individu maupun masyarakat sosial, penggunaan akal budi harus diimbangi dengan kepekaan hati nurani.
Salah satu cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah dengan membaca, menghayati, dan kemudian mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam dharmagita.
“Mengapa dharmagita, Karena dharmagita merupakan nyanyian suci keagamaan yang diciptakan berdasarkan rasa. Di dalam rasa terjadi sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik. Dalam proses sublimasi emosi itu, emosi individual ditransformasikan menjadi rasa, yakni pengalaman estetik nonindividual, universal, mengatasai ruang dan waktu,” sebutnya.
Di situ, pengalaman estetik 6 menjadi identik dengan pengalaman religius.
Dengan demikian, dharmagita merupakan perpaduan antara nilai seni (estetik) dan nilai moral. Dharmagita pun, berfungsi sebagai hiburan.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, dharmagita adalah nyanyian suci keagamaan.
Dengan melihat hakikat dharmagita sebagai sebuah nyanyian, maka unsur estetika (keindahan) merupakan hal esensial dalam dharmagita. Unsur estetika, secara intrinsik berfungsi sebagai pembangkit nilai estetika bagi dharmagita itu sendiri.
Secara ekstrinsik akan memberikan efek estetis bagi penikmat dharmagita.
Efek estetis menyebabkan penikmat merasa terhibur oleh kandungan estetis dharmagita. Aspek estetis akan menyantuh budi.
“Karena itu, apabila pengucapan dharmagita dilakukan dengan benar dan tepat akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci (budi). Budi nurani suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Pikiran (manah) yang kuat mengendalikan nafsu keinginan (indria). Nafsu keinginan (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan kita berpegang pada dharma (kebenaran),” jelasnya.
Perbuatan yang berpegang pada dharma akan menghasilkan pahala mulia berupa ananda, yakni kehidupan bahagia lahir dan batin. Suarka menjelaskan, ada beberapa jenis teks yang digolongkan ke dalam dharmagita. Di antaranya, sloka dan sruti.
Dalam tradisi Bali, umumnya sloka dibedakan dengan sruti. Sloka biasanya terdiri atas empat baris dalam satu padartha, dengan jumlah suku kata yang sama pada setiap baris.
Sebaliknya, sruti mempunyai jumlah baris dan jumlah suku kata tidak tetap dalam satu padartha.
Kemudian ada palawakya, dengan jenis teks menggunakan bahasa Jawa Kuna dan berbetuk prosa.
Dalam membaca dan melagukan palawakya, sangat tergantung kepada tabuh bhasa (intonasi) serta ketepatan onek-onekan (pengejaan dan pemenggalan kata-kata).
Lalu Kakawin (sekar ageng), yang merupakan syair Jawa Kuna digubah berdasarkan aturan metrum India.
“Kakawin diikat aturan guru-laghu (matra), jumlah baris dan jumlah suku kata (wretta) dalam setiap bait (pada). Guru adalah suku kata panjang (dilagukan panjang/berat). Laghu adalah suku kata pendek (dilagukan pendek/ringan). Kedudukan guru-laghu dalam kakawin dapat dianalogikan dengan kedudukan guru-murid atau orang tua (leluhur) dengan anak-anak (keturunan),” imbuhnya.
Kidung (sekar madia), juga bagian dharmagita ditinjau dari metrum yang digunakan, dapat dibedakan atas kidung yang menggunakan metrum macapat dan kidung yang menggunakan metrum tengahan.
“Pada prinsipnya syair kidung juga diikat jumlah suku kata dan bunyi akhir (rima), tetapi dalam sistem penulisan teks kidung dalam lontar-lontar kerap kali tidak menggunakan tanda batas larik (baris) yang biasanya ditandai dengan tanda carik tunggal seperti pada teks kakawin maupun geguritan, dan satu bait kidung biasanya ditandai dengan tanda pamada (carik agung),” sebutnya.
Pola metrum tengahan, biasanya disusun dengan komposisi terdiri atas kawitan (panjang dan pendek), pangawak (panjang dan pendek). Ada pula geguritan (sekar alit/sekar macapat), sekar alit (macapat) diikat oleh aturan padalingsa yang terdiri atas guru wilangan. Yakni jumlah suku kata dalam satu baris (satu gatra).
Kemudian guru gatra, jumlah baris dalam satu bait. Lalu guru dingdong, suara akhir pada setiap baris (a, i, u, e, o).
Dharmagita merupakan jenis sastra, yakni sastra tembang (gita). Dalam eksistensinya sebagai sastra tembang, dharmagita memiliki konvensi, baik konvensi sastra, konvensi bahasa, ataupun konvensi budaya sesuai dengan genrenya, yaitu sloka, palawakya, kakawin, kidung, dan geguritan.
“Sebagai sastra tembang, dharmagita menggunakan bahasa sebagai media,” jelasnya.
Sejalan dengan kedudukannya sebagai karya sastra tembang itu, maka bahasa dalam dharmagita menunjukkan ciri-ciri, antara lain khas yakni retorik, stilistik, bersifat khusus dan dianggap menyimpang dari bahasa sehari-hari.
“Kekhususan atau keistimewaan bahasa dalam sastra itu, memang merupakan faktor yang ditonjolkan sejak dulu.
Hal itu berkaitan dengan eksistensi sastra sebagai seni yang meliputi retorika dan gramatika,” katanya.
Sebagai retorika, pemakaian bahasa dalam karya sastra dianggap pemakaian bahasa yang baik dan menjadi teladan. Sebagai gramatika, bahasa karya sastra dianggap sebagai bentuk pemakaian bahasa yang tepat.
Hal ini berkaitan dengan kedudukan sastrawan atau pujangga sebagai orang teladan yang memakai bahasa secara baik dan optimal sehingga diteladani oleh orang beradab.
Penyair memiliki kekuatan persuasif yang diwujudkan melalui kemampuan untuk mengajar, memberi nikmat, dan menggerakkan. Bahasa dalam dharmagita merupakan sistem semiotik tingkat kedua, atau dalam bahasa Bali dinamakan basa makulit.
Karya sastra menggunakan bahasa sebagai media dan bahasa itu merupakan sistem semiotik tingkat pertama.
Bahasa sebelum digunakan penyair, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik.
Setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensional disetujui penuturnya. Yang harus diterima masyarakat penuturnya, dan yang mengikat mereka.
“Singkatnya, bahasa telah memiliki arti (meaning). Ketika bahasa itu digunakan dalam karya sastra, arti bahasa diberi arti melalui konvensi sastra,” katanya.
Karena itu, arti bahasa dalam sastra adalah arti dari arti (meaning of meaning) atau disebut makna (significance). Jenis-jenis bahasa yang digunakan dalam dharmagita, meliputi bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Tengahan, dan bahasa Bali. (*)