Serba Serbi

Ini Penjelasan Terkait Ngaben dan Penyebab Kematian Menurut Ida Pedanda Gde Keniten

 “Utpeti adalah proses penciptaan, stiti adalah pemeliharaan, dan pralina adalah proses peleburan atau kematian,” jelasnya kepada Tribun Bali, Minggu

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Pedanda Gde Keniten dari Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN – Bali yang memiliki nilai adat budaya adiluhung, memang tidak akan habis jika dibicarakan.

Agama Hindu yang melekat dengan adat dan budaya, menjadikan Bali sebagai Pulau Dewata yang unik di dunia.

Adanya aturan-aturan, dan sarana-prasarana upakara di dalam upacara yadnya telah dilakukan secara turun-temurun.

Bahkan berbagai wilayah pun, memiliki keunikannya tersendiri.

Baca juga: Siswa Kurang Mampu di Badung Diberikan Beasiswa, Mulai SD hingga Perguruan Tinggi

Baca juga: Pieter Tanuri Serahkan Jersey Bali United kepada Menpora RI

Baca juga: Budi Handoko Tiba-tiba Potong Jalur ke Kanan, Kecelakaan Lalu Lintas Kembali Makan Korban di Tabanan

Walau demikian, inti dari yadnya suci di Bali adalah kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

Seperti yang diceritakan, oleh Ida Pedanda Gde Keniten, dari Gria Gede Jumpung, Banjar Lebah, Timpag, Kerambitan, Tabanan.

Beliau menjelaskan, bahwa di bumi ini ada 3 kekuatan besar yang mengaturnya dari zaman ke zaman.

Diantaranya, utpeti, stiti, dan pralina.

 “Utpeti adalah proses penciptaan, stiti adalah pemeliharaan, dan pralina adalah proses peleburan atau kematian,” jelasnya kepada Tribun Bali, Minggu (15/11/2020).

Dalam utpeti, jelas Ida pedanda, semuanya telah melalui proses upacara dan upakara baik dari dalam kandungan hingga lahir ke dunia.

Demikian juga stiti, ketika manusia hidup dan bertumbuh hingga menikah dan dewasa lalu memiliki keturunan.

Kehidupan pun berlanjut, hingga pralina atau kematian sebagai kodrat manusia dan alam semesta.

“Tidak mungkin bisa menghindar dari kematian, semua orang pasti meninggal,” tegas beliau.

Ida pedanda, melanjutkan ketika manusia meninggal ini pun dilihat prosesnya.

Apakah seseorang itu meninggal dalam kondisi yang benar, atau salah pati atau bahkan ngulah pati.

Baca juga: Satgas Covid-19 Desa Adat Sesetan Gelar Persembahyangan Bersama, Memohon Pandemi Segera Berakhir

Baca juga: Sedang Berlangsung, Ini Link Live Streaming MotoGP Valencia 2020

Baca juga: Profil Nathalie Holscher yang Menikah dengan Sule Hari Ini

Salah pati, semisal kematian yang tidak terduga seperti dipatuk ular, kecelakaan, diserang harimau dan sebagainya.

Sedangkan ngulah pati adalah karena kehendak sendiri, semisal bunuh diri atau mengambil jalan pintas.

Sedangkan kematian karena usia yang sudah tua atau sakit disebut mati yang wajar.

 “Nah apabila kematian yang wajar, haruslah dilakukan prosesi ngaben. Kalau salah pati, memang tidak patut langsung diaben harus dipendem (dikubur), begitu juga ngulah pati harus dipendem,” sebut beliau.

Itupun, kembali ada aturannya sesuai dengan ajaran Hindu di Bali.

Apabila, seseorang meninggal karena salah pati maka setelah dipendem selama 3 tahun baru bisa diaben.

Sementara ngulah pati, setelah dipendem selama 5 tahun baru bisa diaben.

“Antara salah pati dan ngulah pati ini, sepanjang melewati proses penebusan, maka bisa mengubah status yang meninggal salah pati atau ngulah pati menjadi kematian yang dianggap benar, dan diperbolehkan diaben,” jelas beliau.

Sedangkan apabila, seseorang meninggal secara wajar maka seyogyanya langsung melakukan prosesi ngaben.

 Ida pedanda menjelaskan, bisa dipendem hanya saja dengan aturan di desa kala patra masing-masing.

Beliau menegaskan, apabila kematian wajar dan keluarganya tidak bisa melakukan upacara ngaben. Baik itu karena suatu kendala, semisal kendala finansial, maka diperbolehkan, jenazahnya untuk dipendem.

Kemudian sesuai aturan, prosesi itu jika menggunakan tirta pangentas maka dalam kurun waktu 7 bulan minimal dan 3 tahun maksimal, harus sudah diaben.

Jika tanpa tirta pangentas, maka layon atau jenazah itu dalam setahun sudah harus diangkat dari kuburan dan diaben.

 Ini telah dilakukan sesuai adat tradisi turun temurun dari warisan nenek moyang di Bali.

Sebab segala hal di Bali, ada aturan yang mengikatnya.

Ida pedanda melihat saat ini ada yang disebut makingsan di gni. Makingsan di gni, biasa dilakukan apabila tidak ada hari baik untuk ngaben. Atau karena alasan lainnya, semisal masalah finansial.

Makingsan di gni ini statusnya sama dengan mapendem, tapi melalui proses dibakar mayatnya,” jelas beliau.

Hanya saja, pembakaran mayat di dalam  proses makingsan di gni tidak sama dengan proses pembakaran saat ngaben. Sehingga tidak dibenarkan, jika sampai membakar mayat dua kali.

Maksudnya pembakaran pertama saat makingsan di gni, dan pembakaran kedua saat ngaben.

“Untuk pengabenan di Tabanan, ada namanya ngaben alit. Begitu layon turun langsung dibakar  di setra, dan proses selanjutnya sesuai proses pengabenan. Dihanyutkan ke laut, matebus, hingga melinggih di saren gede.

“Pranawa juga ada, sebelum diaben maka pada H-1 ada prosesi mabersih alias ngaskara. Selesai ngaskara di penataran, lalu munggah di saren gede dan menghaturkan saji. Mencari toya penembak, lalu pralina dan nyenceg ke setra,” kata Ida pedanda.

Kemudian hari pengabenan berjalan, dan selesai dibakar baru sulinggih melantunkan puja. Setelah itu nganyut ke laut.

“Kalau langsung ngelanus atau ngasti dan nyekah mamukur ketika hari H juga bisa. Namun jika tidak maka bisa hari ke-12, 27, 35, dan 42 hari mencari duasa atau hari baik untuk melaksanakan upacara nyekah,” sebut beliau.

 Beliau menjelaskan, contoh kasus di luar pulau Bali semisal Jawa yang tidak diperkenankan membiarkan mayat berlama-lama dari waktu saat meninggalnya.

Sehingga di sana, begitu meninggal mayat atau layon harus langsung dikremasi.

“Namun kalau di Bali kan semua memakai duasa,” jelas beliau.

Sementara jika di luar pulau Bali, bisa dengan meminta izin ke pura Prajapati lalu jenazah dibakar dan abunya disimpan. Baru kemudian mencari duasa kapan bisa ngaben.

“Setelah itu, abu yang tadinya sudah dibakar, baru bisa dikeluarkan setelah diberikan tirta pangentas dan tirta purwa, serta tirta lainnya. Dan dilanjutkan dengan prosesi ngereka ulang, nguyeg pada hari duasa yang ditentukan, lalu memasukan ke klungah nyuh gading dan setelah itu sulinggih mapuja,” tutur beliau.

Pengabenan pun, kata beliau, memiliki tiga tempat. Pertama mapendem atau dikubur yang tempatnya di setra.

Kemudian ketika sudah diaben, maka tempatnya di saren gede atau saren sari.

“Setelah melewati prosesi nyekah, maka tempatnya di rong tiga atau pamerajan masing-masing,” sebut beliau.

Kalau posisi datar, maka tempatnya adalah mulai dari setra, saren gede, dan merajan.

 Semuanya ini menunjukkan, kekuatan tiga alam diantaranya Bhur saat mapendem, Bwah saat ngaben, dan Swah saat nyekah. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved