Subak Diprediksi Lenyap Tahun 2030, Konversi Lahan Sawah Rata-rata 2.800 Ha Setahun
Windia menilai, jika lahan subak lenyap maka dipastikan tidak akan ada wisatawan yang bakal datang ke Bali.
Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: I Putu Darmendra
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia menuturkan, subak diprediksi bakal lenyap pada 2030 mendatang. Hal itu berdasarkan riset yang dilakukan Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, I Made Geria.
"Jadi dalam 10 tahun, kalau tidak ada usaha strategis dari pemerintah, subak di Bali akan lenyap," kata Windia dalam diskusi bertajuk "Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia Apa Kabar?" di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Minggu (15/11/2020).
Riset ini dilakukan dengan analisa dinamik pada saat Geria mendapatkan gelar doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor (IPB). Satu di antara masalah yang dihadapi subak yakni adanya alih fungsi lahan yang semakin tak terbendung.
Windia menilai, jika lahan subak lenyap maka dipastikan tidak akan ada wisatawan yang bakal datang ke Bali. Menurutnya, hal ini juga sudah ditegaskan oleh beberapa pakar lainnya, seperti Emil Salim dan Nyoman Sutawan.
"Jika subak hilang maka kebudayaan Bali juga bakal hancur sehingga tidak ada lagi orang yang akan datang ke Bali," ungkap Windia dalam diskusi yang diprakarsai Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian dengan BEM Fakultas Hukum Unud itu.
Windia menuturkan, alih fungsi lahan subak terus terjadi dan setiap tahun lahan sawah di Bali berkurang rata-rata sebanyak 2.800 hektare. Padahal, keberadaan luas laham sawah di Bali sampai saat ini hanya mencapai 69.000 hektare.
Maraknya alih fungsi lahan sawah juga menyebabkan masalah lain, seperti saluran air irigasi yang tersendat. Hal ini bisa terjadi lantaran alih fungsi lahan juga menutup saluran irigasi subak sehingga air tidak bisa mengalir ke hilir.
Akhirnya beberapa masyarakat di kawasan hilir, seperti Desa Bongan, Tabanan dan Kesiman, Denpasar protes karena tidak ada air yang mengalir ke wilayahnya. Kata Windia, di Bali sebenarnya sudah ada Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 tahun 2019 tentang Subak.
Hanya saja regulasi itu seperti macan ompong karena tidak mengatur mengenai adanya alih fungsi lahan sehingga dirinya mengusulkan agar Perda Subak segera direvisi.
Windia menyebut bahwa Perda Nomor 9 tahun 2012 tentang Subak lebih jelek dari pada Perda Subak sebelumnya pada tahun 1972. "Jeleknya apa, sedahan agung tidak disinggung. Harusnya ada sedahan agung tapi sudah tidak ada. Apa gunanya, melindungi subak," tegasnya.
Dengan tidak adanya pengaturan mengenai sedahan agung dalam Perda tersebut, subak seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Pasalnya ketika terjadi permasalahan seperti sampah, kekurangan pupuk, irigasi hancur dan sebagainya, seharusnya subak melaporkannya satu pintu kepada sedahan agung.
"Itu tidak ada lagi dalam Perda 9 (tahun 2012). Makanya saya katakan di mana-mana Perda 9 tahun 2012 tidak ada apa-apanya dan itu lebih jelek dari perda Nomor 2 tahun 1972," sebutnya.
Akademisi Fakultas Hukum Unud, Anak Agung Gede Oka Parwata juga memprediksi bahwa subak bakal lenyap pada beberapa tahun mendatang. Ia bahkan menyebut subak bisa saja tinggal nama pada 2025 jika alih fungsi lahan kian tak terbendung.
Ia menceritakan, salah satu subak yang kini lahannya mulai habis yakni Subak Muwa yang berada di wilayah Ubud, Gianyar. Tak hanya Subak Muwa, beberapa subak lain di kawasan itu seperti Subak Padang Tegal, Subak Suka Wayah dan Subak Juwuk Manis juga mengalami hal yang sama.
Maraknya alih fungsi lahan subak di beberapa subak tersebut karena berada di kawasan pariwisata. "Sudah tidak ada sawah lagi, yang ada hanya pura subak," tuturnya.