Serba serbi

Berlangsung Tiap Malam sampai Sasih Kesanga Berakhir, Rejang Sutri di Desa Batuan Pantang Ditiadakan

Kisah unik nan mistis, juga dimiliki Desa Pakraman Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali.

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Pura Puseh Pura Desa Batuan dan Jro Mangku Suda 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Kisah unik nan mistis, juga dimiliki Desa Pakraman Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali.

Ada satu tarian yang dianggap warga setempat sebagai tarian sakral, dan harus ditarikan oleh warga setempat.

Namanya adalah tarian Rejang Sutri.  

Desa Pakraman Batuan, menggelar tarian ini pada Soma Kliwon Klurut, rahina Kajeng Kliwon Enyitan Sasih Kalima.

Pementasan ini pun, berlangsung setiap malam di wantilan Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan sampai berakhirnya Sasih Kesanga.

Baca juga: Jadwal Belajar dari Rumah TVRI, Selasa 17 November 2020, Kelas 4-6 SD: Pancasila

Baca juga: Pemain Muda Bali Untied Diva Yogi Lolos Garuda Select III, Ini Pesan Teco 

Baca juga: Ditambah Penilaian Indikator Perlindungan Relawan Covid-19, Patrina Awards 2020 Segera Digelar 

Atau saat hari suci Nyepi.

Tradisi yang diwarisi turun-temurun ini, pantang jika ditiadakan karena dipercaya bisa membahayakan.

“Bahkan bisa nyawa taruhannya,” jelas Jro Mangku Suda, kepada Tribun Bali, Senin (16/11/2020). Pemangku yang ngayah di Pura Puseh Pura Desa Desa Pakraman Batuan ini, menjelaskan dalam kondisi pandemi pun tarian ini harus tetap dilaksanakan.

Tentunya disesuaikan dengan protokol kesehatan, agar tidak terjadi klaster baru. Bahkan beliau menjelaskan, kerap ada kejadian gaib dan mistis berkaitan dengan tarian ini.

Baca juga: Jadwal Belajar dari Rumah di TVRI Selasa 17 November 2020, PKN: Tari Tibak, Padi Reborn, Godbless

Baca juga: Suka di Tempat Sunyi dan Bangga dengan Kekayaan, Ini Kehidupan Lahir Selasa Paing Medangkungan

Baca juga: Penumpang Pesawat Kehilangan Uang Rp 50 Juta di Bagasi, Penerbangan dari Makassar ke Jambi

“Konon anak muda di sini, melihat ada api terbang lalu videonya dikirim ke saya. Mungkin saja itu rencang dari Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling, yang mengecek apakah tradisi tarian Rejang Sutri dilakukan atau tidak di Batuan,” sebutnya.  

Pernah juga, kata pemangku, ada angin kencang saat tarian sedang berlangsung yang dimungkinkan sebagai kedatangan ida bhatara untuk menonton langsung tarian sakral ini.

Sepenggal kisah sejarah, yang didengar pemangku turun-temurun dan telah tertulis dalam Babad Dalem Sukawati.

Menjelaskan bahwa dahulu Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling aslinya berasal dari Batuan.

Baca juga: 22 Warga Tebongkang Masih Tunggu Hasil Tes Swab, Total Positif Kini 44 Orang

Baca juga: BREAKING NEWS: Gede Mertayasa Tewas Ditikam dengan Badik, Diduga Dendam Lama

Namun masyarakat zaman kini, kebanyakan mengetahui bahwa Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling berasal dari Nusa Penida.

“Dahulu di sini namanya Baturan bukan Batuan. Lalu ada krama di sini bernama I Gede Mecaling,” jelasnya memulai kisah. Ia mengatakan, bahwa I Gede Mecaling ini menekuni aji pangiwa dan kerap melakukan hal yang salah. Sampai akhirnya ia bertarung dengan Dewa Babi, dan kalah lalu pergi ke Nusa Penida.

Hal ini diamini Bendesa Adat Batuan, I Made Djabur BA. 

 Ia menjelaskan, terkait sejarah Rejang Sutri yang tertuang dalam Babad Dalem Sukawati.

Diceritakan pada zaman, abad ke-17 sekitar tahun 1658, ada Kerajaan Timbul yang kini bernama Sukawati.

Berkuasalah Ida Sri Aji Maha Sirikan, yang bergelar I Dewa Agung Anom.

Namun sebelum ia menduduki tahta kerajaan, yang diberikan Raja Mengwi. Terlebih dahulu ia meninjau wilayah.

Dalam peninjauan tersebut terdengarlah, masih ada pengikut Balian Batur bernama I Gede Mecaling yang tinggal di Tegalinggah, Banjar Jungut.

I Gede Mecaling terkenal suka mengusik ketentraman masyarakat, sehingga bermaksud diusir dari Batuan.

Sri Aji Maha Sirikan, kemudian memerintahkan I Dewa Babi untuk mengusir Gede Mecaling.

Pada dasarnya, Dewa Babi ini masih sanak saudara dengan I Gede Mecaling, yang juga bernama Dewa Renggan.

“Singkat cerita, terjadi adu kesaktian antara Dewa Babi dengan Gede Mecaling,” katanya.

Dengan perjanjian, barang siapa yang kalah harus bersedia diusir dan pergi dari daerah Batuan

Adu kesaktian tersebut menggunakan sarana 2 babi guling.

Ada yang diikat dengan tali kulit pohon pisang (upas) dan benang.

I Gede Mecaling kemudian memilih babi guling yang diikat upas.

Sedangkan Dewa Babi memilih babi guling yang diikat tali benang.

Tali pengikat yang terbakar maka dinyatakan kalah.

Atas dukungan para bhatara-bhatari, dan sesuhunan akhirnya tali pengikat yang terbakar adalah milik I Gede Mecaling sehingga ia dinyatakan kalah.

Atas perjanjian yang telah disepakati sebelumnya, I Gede Mecaling keluar dari Desa Batuan dan terus berjalan sampai ke wilayah Nusa Penida.

Namun ia pergi dengan rasa dendam dan penuh emosi. 

I Gede Mecaling lalu mengeluarkan pastu, bahwa setiap mulai sasih kalima ia akan kembali datang ke Desa Batuan bersama rencang-rencangnya untuk membuat keonaran.

Pastu inilah yang membuat cemas masyarakat Desa Batuan kala itu.

"Masyarakat Batuan, lalu menangkal atau mengantisipasi ancaman I Gede Mecaling lewat kesenian," ujarnya.

Krama desa lanang (pria) setiap sore berkumpul menggelar gocekan. Gocekan ini, jelas dia, adalah adu ayam kecil-kecil dan harus diadakan sesuai bhisama di sana.

Jadi bukan judi, karena diyakini rencang-rencangnya Gede Mecaling klangen dan terhibur dengan aksi adu ayam itu, sehingga melupakan emosinya untuk berbuat onar. 

Sementara krama istri (perempuan), menghilangkan rasa cemasnya dengan menari. Yaitu adalah mereka menari Rejang Sutri.

Membuat semua masyarakat, menari dengan gembira dan perasaan tenang serta senang.

Para perempuan akhirnya menari mengikuti irama, dengan gerak tari halus, lemah lembut layaknya rejang pada umumnya.

Sampai saat ini, masyarakat Desa Batuan yakin ketika tari Rejang Sutri dipentaskan, maka I Gede Mecaling yang hendak datang meresahkan masyarakat akan mengurungkan niatnya tersebut.

Karena sudah terpesona dengan adanya tarian ini. Kemudian yang dipuja saat menari, yakni Sang Hyang Dedari.

Sehingga setiap perempuan yang menari Rejang Sutri, ketika dilihat oleh rencang-rencangnya I Gede Mecaling seperti bidadari yang menari.

Ini juga yang membuat dendam I Gede Mecaling luluh.

Zaman dahulu, kata dia, pementasan Rejang Sutri digelar sampai subuh.

Karena diyakini, rencang-rencangnya I Gede Mecaling akan pergi saat ayam berkokok pertanda hari telah pagi.

Sejak saat itulah, Gocekan dan Rejang Sutri digelar setiap hari selama sasih gering.

Seiring perkembangan zaman, meski telah mengalami perkembangan, pementasan tetap digelar sesuai pakem dan sama sekali tidak berani ditiadakan.

“Yang membedakan hanya kedatangan krama untuk ngayah Gocekan maupun Rejang Sutri. Untuk mempertahankan tradisi ini, krama ngayah dilakukan dengan sistem giliran. Per hari, biasanya sekitar 50 krama istri," jelasnya. Penari pun bisa dari PKK, remaja, ataupun anak-anak.

Pada rerainan tertentu, seperti Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem dan lainnya Rejang Sutri digelar lebih meriah.

Yakni para krama istri berhias.

Biasanya, anak-anak perempuan tertarik ikut ngayah Rejang Sutri saat mepayas.

Sehingga sebagai hadiah sekaligus motivasi, Desa Adat Batuan memberikan alat tulis berupa buku, pensil dan pulpen.

Tradisi ini mesineb atau berakhir, ditandai dengan pementasan terakhir setiap Ngembak Geni atau sehari setelah Hari Suci Nyepi.

I Made Djabur juga menjelaskan, Rejang Sutri ini diyakini sebagai penetralisasi sasih gering yang ditandai dengan berjangkitnya berbagai macam penyakit.

"Meskipun sekarang musim Covid-19, tradisi sakral Rejang Sutri tetap dilaksanakan. Kami di Desa Adat Batuan tidak berani meniadakan. Dengan catatan, protokol kesehatan tetap dijalankan, di antaranya wajib masker, jaga jarak, dan cuci tangan. Waktu menari jaga jarak. Kami tetap ikuti imbauan pemerintah terkait prokes,"tegasnya.  (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved