Pura di Bali
Pura Maospahit, Saksi Bisu Jejak-jejak Keberadaan Majapahit di Bali
Saksi bisu kedatangan Majapahit ke Bali, terlihat jelas di cagar budaya Pura Maospahit, Jalan Sutomo, Banjar Grenceng, Pamecutan Kaja, Denpasar Utara
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
“Nah di jaba sisi, terdiri dari dua relief, yakni patung garuda sebagai manifestasi Wisnu dan sebelah kirinya patung Bima sebagai manifestasi Brahma,” jelasnya.
Diantara kedua relief yang menjulang ini, ada Panca Korsika yakni relief Dewa Sangkara, Indra, Yama, Kuwera, dan Baruna.
Masuk ke jaba tengah, terdiri dari tajuk pemasuan.
“Masuk ke kiri agung atau candi kurung, masuk ke halaman utamaning mandala ada gedong Candi Raras Maospahit dan Candi Raras Majapahit, serta beberapa manifestasi Tuhan yang berstana di sana,” sebut Jro mangku.
Jika Panca Mandala, pada zaman dahulu menjaga dari segala arah mata angin. Sedangkan Panca Korsika adalah pembersihan, bagi orang atau umat yang akan masuk ke pura ini.
Pada Candi Raras Maospahit, dan Candi Raras Majapahit ini berisi patung teracota yang terbuat dari tanah liat dan memegang senjata dan perisai. Seakan menjadi penjaga pintu masuk.
Temboknya pun terbuat dari bata merah yang dibajar zaman dahulu setelah tahun 1958 direstorasi, dan tahun 1990 juga kembali direstorasi kuri agungnya.
Untuk bhatara-bhatari yang malinggih di pura, adalah manifestasi Siwa Budha.
Dewa Siwa memberikan kadiatmikan atau kekuatan dan ilmu pengetahuan, sedangkan Budha merupakan lambang kasih sayang. Sedangkan relief penjaga di depan, filosofinya sebagai penjaga.
Sebab manifestasi Wisnu dalam lambang garuda yang membawa tirta amerta sanjiwani atau air kehidupan.
Kemudian di kiri, adalah relief Bhatara Bayu sebagai manifestasi Brahma untuk kehidupan di dunia.
Sehingga Pura Dang Kahyangan Jagat ini, yang diemong oleh Puri Pamecutan dan Puri Satria. Memang terkenal sangat keramat dan penuh nilai sejarah kuno.
“Orang ke sini memohon keselamatan, rezeki, pengobatan, dan bahkan memohon anak,” ucapnya.
Luasnya nilai sejarah, apalagi di era Majapahit membuat pura ini didatangi tidak hanya umat Hindu. Tetapi didatangi hingga warga dari berbagai belahan nusantara.
“Cukup membawa pejati, kalau tidak punya bisa bawa canang, atau dupa saja. Intinya ikhlas saja,” sebutnya.