Upaya Penangkalan Radikalisme di 32 Provinsi, BNPT Lakukan Survei Nasional, Ini Hasilnya
Dalam kegiatan Rapat Koordinasi Nasional FKPT yang merupakan perpanjangan tangan dari BNPT, Tim Penetiti BNPT menyampaikan hasil survei
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, Zaenal Nur Arifin
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Dalam kegiatan Rapat Koordinasi Nasional Forum Koordinasi Pencegahan Pencegahan Terorisme (FKPT) yang merupakan perpanjangan tangan dari BNPT, Tim Peneliti BNPT menyampaikan hasil Survei Nasional BNPT 2020.
Rakornas ini berlangsung mulai tanggal 15 hingga 17 Desember 2020 digelar di The Westin Resort Nusa Dua, Kuta Selatan, Badung, Bali.
Survei Nasional tersebut mengupayakan penguatan kebhinekaan dan literasi digital dalam upaya menangkal radikalisme di 32 Provinsi di seluruh Indonesia.
Pengaruh kebhinekaan sebagai pemahaman dan bentuk sikap masyarakat menjadi fokus penelitian tahun 2020 mengingat hasil survei penelitian di tahun 2019 menemukan dimensi pendidikan kebhinekaan pada anak memilliki skor rendah dibanding dimensi lainnya.
Baca juga: Ini Jadwal Belajar dari Rumah 17 Desember 2020 di TVRI , Akan Ada Tayangan Buku Cerita
Baca juga: 4 Shio Ini Kurang Beruntung Hari Ini 17 Desember 2020, Mereka Berpotensi Terlibat dalam Konflik
Baca juga: Ini 5 Shio yang Memperoleh Keberuntungan Hari Ini 17 Desember 2020, Apa Shiomu Termasuk?
Sementara itu, dampak persebaran literasi digital serta pengaruhnya sebagai penangkal potensi radikalisme juga menjadi perhatian utama penelitian, mengingat pertumbuhan pengguna internet atau warga internet (warganet) yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
"Penelitian yang bertujuan untuk memetakan potensi radikalisme dan menemukan daya tangkal yang efektif untuk menangkal paparan paham radikalisme di tengah masyarakat, dihimpun dari wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner terstruktur kepada 13.700 responder terhimpun dari 32 Provinsi," ujar Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli Amar, Rabu (16/12/2020), dalam konferensi pers Hasil Survei Nasional BNPT 2020 di Nusa Dua.
Hasil Survei Nasional BNPT tahun ini didapatkan bahwa indeks potensi radikalisme mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Menurutnya, trend ini jangan membuat BNPT, Pemerintah, dan semua elemen menjadi lengah dalam menangkal radikalisme di masyarakat.
Lalu indeks potensi radikalisme cenderung lebih tinggi di kalangan perempuan, masyarakat urban, generasi muda (gen Z dan milenial) serta masyarakat yang aktif mencari dan menyebar konten keagamaan di internet dan media sosial.
"Artinya terjadi feminisasi radikalisme, urbanisasi radikalisme, radikalisasi generasi muda dan radikalisasi netizen," ungkapnya.
Kebhinekaan menjadi daya tangkal efektif dalam mereduksi potensi radikalisme di masyarakat.
Sedangkan literasi digital belum mampu menjadi daya tangkal efektif dan belum mampu mendorong peningkatan pemahaman dan sikap terhadap kebhinekaan yang ada di masyarakat.
"Warganet cukup rentan terhadap paparan radikalisme, menimbang intensitas pencarian atau menerima konten keagamaan di internet yang cukup sering namun diiringi dengan kecenderungan preferensi ceramah keagamaan dengan durasi singkat sehingga ilmu yang disampaikan rentan tidak terima secara menyeluruh dan utuh," tambah Komjen Boy Rafli.
Jenderal bintang tiga ini menyampaikan mengenai proses radikalisasi kecenderungannya menurun, jika dilihat dan kita sepadankan dengan global indeks terorism itu Indonesia diurutan ke-37.
Untuk di Asean kita lebih bagus dari Filipina dan Thailand, urutan ke-37 itu semakin rendah berarti kita itu Negara yang semakin kurang dampaknya dari kejahatan terorisme ini.
"Artinya dampaknya itu dampak buruk terhadap masyarakat, dampak buruk terhadap rasa ketakutan masyarakat, dampak buruk terhadap ekonomi dan lain sebagainya. Jadi kita berada di urutan ke-37 itu adalah riset global indeks terorism," paparnya.
Namun demikian kita harus melihat bahwa penetrasi dari jaringan internasional dalam proses radikalisasi itu pada dunia digital atau dunia maya ini tidak bisa dihindarkan, karena mereka lihat pangsa pasarnya seperti generasi milenial dan generasi z penggunanya sangat tinggi.
Mereka tahu dan karena memang yang mereka sasar ini adalah anak-anak muda, jadi bukan lagi yang tua-tua.
Kalau yang tua itu mungkin bagi kalangan jaringan teroris global ini masalah, tapi masa depan mereka ada pada generasi muda.
"Makanya proses radikalisasi ini begitu cukup masif terjadi di dunia maya dan itulah yang nomor satu digunakan oleh jaringan teroris global. Ada dua kutub jaringan teroris global yang sangat dominan mempengaruhi politik keamanan global yaitu Al-Qaeda dan ISIS," jelas mantan Kapolda Papua tahun 2017 ini.
Menurutnya, kedua organisasi teroris internasional ini sangat besar sekali pengaruhnya di dalam mempengaruhi cara berpikir mindset generasi muda.
Mereka berharap dengan penetrasi dunia digital akan semakin banyak pendukung mereka, pengusung ideologi terorism yang karakteristiknya mengedepankan kekerasan, intoleran dan menghalalkan segala cara.
Mereka ingin memiliki pengikut yang masif di dunia, kalau kita lihat apa yang mereka capai setidak-tidaknya dalam waktu kurun 5 tahun ini bayangkan dari belahan dunia dari sekitar 120 negara mau berangkat untuk mengikuti seruannya ISIS.
"Kalau UN (United Nation) mencatat antara 35 ribu sampai 40 ribu seluruh warga di dunia ini terprovokasi dan kemudian berangkat untuk ikut-ikutan. Mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok ini yaitu ikut dalam tanda petik perjuangan mereka dengan seolah-olah sedang berjuang atas nama agama," jelasnya.
Dan Indonesia cukup terdampak karena setidak-tidaknya tercatat keberangkatan itu diantara kisaran 1.250 sekian yang ini juga masih permasalahan keberadaan mereka hari ini, yang masih harus dilakukan langkah-langkah lebih lanjut karena yang tertangkap sedang menghadapi proses hukum oleh otoritas setempat dan yang wanita dan anak-anak sedang berada di kamp pengungsian.
"Jadi itu dampak proses radikalisasi yang terjadi dan dilakukan. Tentu angka keberangkatan itu tidak bisa dibilang kecil apabila kita juga menggabungkan dampak yang terjadi di dalam negeri. Karena di dalam negeri ini kan artinya aktivitas teror ditingkat domestik itu adalah alternatif opsi yang mereka tawarkan ketika mereka tidak bisa berangkat ke luar negeri," imbuh Komjen Boy Rafli.
Oleh karena itu, beberapa jaringan teroris di dalam negeri yang pernah terkuak dan kemudian dinyatakan sebagai organisasi terlarang, seperti Jemaah Al-Islamiyah dan Jemaah Ansharut Daulah, sebelumnya ada Jamaah Ansharut Tauhid atau (JAT).
Mereka berlomba-lomba berbai'at kesana jadi kiblatnya ke arah sana, ini adalah dampak dari proses radikalisasi.
Mereka tidak pernah bertemu langsung atau face to face tapi karena proses desiminasi melalui dunia maya ini, ini adalah bukti bahwa sangat efektif apa yang mereka sebarluaskan pada dunia maya itu.
"Kita masih menghadapi pergerakan kelompok jaringan teroris di tingkat lokal, di tingkat domestik. Artinya hari ini mereka masih menjadi bagian yang diburu oleh aparat penegak hukum. Contohnya masih ada tersisa di Poso katakanlah sekitar 11 orang, yang mana mereka menyatakan terang-terangan mengunggah dalam dunia maya bahwa mereka adalah berbai'at ke ISIS," tutur Komjen Boy Rafli.
Tentu kita prihatin terhadap warga negara yang disorientasi jadi warga negara yang tidak bisa memahami jati diri bangsanya, ini keprihatinan yang sebenarnya tidak boleh terjadi.
Itulah tantangan kita bahwa dengan hilangnya pemahaman mereka terhadap ke-indonesiaan, membuat mereka harus larut dalam kondisi seperti itu.
Kelompok jaringan teror terus perang opini di dunia maya untuk meyakinkan kepada audiens di seluruh dunia ini bahwa mereka layak untuk diikuti.
"Tantangan kita adalah bagaimana terus berupaya agar jangan sampai semakin banyak korban dari generasi milenial dan generasi z tadi. Demikian juga menyasar kepada kaum perempuan agar tidak menjadi pergerakan dari kaum itu," ungkapnya.
Jadi kita harus berorientasi terhadap penyelamatan generasi muda, kaum Ibu dan anak-anak Indonesia harus kita cegah jangan sampai semakin meluas karena masifnya pola rekrutmen dengan dunia maya ini terus dilakukan.
Kita tidak boleh mengatakan karena radikalisasi diindikasikan kita rendah, tetapi proses perjalanan yang mereka lakukan ini diyakini tidak akan pernah berhenti.
"Jadi virus radikalisme yang mereka tebar melalui dunia maya itu akan terjadi. Makanya literasi digital itu menjadi sebuah solusi salah satunya," tambahnya.
Hasil dari Survei Nasional 2020 tersebut akan menjadi pertimbangan perencanaan selanjutnya untuk melaksanakan upaya pencegahan radikalisme dan terorisme dengan pemberdayaan masyarakat yang Iebih optimal di tahun 2021 mendatang.(*).