Serba Serbi
Angkernya Jembatan Balitex, Kisah Ratu Gede Mas Mecaling di Kesiman
Jembatan di Bali pun, memiliki kisahnya tersendiri dan cerita yang dipercaya oleh masyarakat dari mulut ke mulut turun temurun.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Jembatan di Bali pun memiliki kisahnya tersendiri, dan cerita yang dipercaya oleh masyarakat dari mulut ke mulut turun temurun.
Satu diantaranya adalah jembatan penghubung di Denpasar, yang kerap disebut Jembatan Balitex.
Jembatan ini berdiri di atas aliran sungai ayung yang bermuara di pantai.
Dahulu jembatan ini adalah jembatan bambu, namun saat ini merupakan jembatan dengan jalan raya besar.
Baca juga: Pantangan Dalam Persetubuhan Pada Sistem Perkawinan Hindu Agar Anak Suputra
Baca juga: Kisah Cok Ace tentang Ratu Gede Gombrang, Sesuhunan Celuluk di Ubud yang Pernah Dibawa Orang Kanada
Baca juga: Kisah Kesaktian Ratu Gede Mas Mecaling Dalem Ped, Dianugerahi Ajian Kanda Sanga hingga Panca Taksu
Berdasarkan kisah masyarakat, yang dipercaya oleh masyarakat Desa Adat Kesiman.
Jembatan ini memang memiliki kisah angkernya tersendiri.
Jika secara kasat mata, jembatan ini hanya terlihat jalan lurus dengan belokan tidak terlalu tajam.
Namun kerap terjadi kecelakaan, yang mengakibatkan korban luka-luka hingga meninggal dunia.
Sejak saat itu, banyak yang lewat jembatan ini membunyikan klakson.
Tanda meminta izin agar selamat melewati jembatan ini.
“Kalau dari kisah orang tua zaman dahulu, angkernya jembatan itu karena ada kaitan dengan sungai di bawahnya,” jelas I Wayan Turun, warga Banjar Kedaton, Desa Adat Kesiman, Denpasar, Rabu (23/12/2020).
Sungai yang cukup lebar, dengan air berwarna cokelat di bawah jembatan itu adalah Sungai Ayung.
Sungai ini pun memang dikenal cukup memiliki sisi mistis di setiap alirannya.
Lanjutnya, zaman dahulu I Gede Mecaling yang kini dikenal dengan nama Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling kerap datang dari Nusa Penida ke Kesiman.
“Konon beliau datang menggunakan perahu, dari Nusa Penida langsung masuk ke sungai dan tiba di Kesiman. Makanya di bawah sungai sekarang ada batu perahu,” sebutnya.
Batu ini cukup besar, sebagai tanda perjalanan Ratu Gede Mas Mecaling.
Ratu Gede Mas Mecaling datang ke Kesiman dengan membawa 15 bhuta kala yang mengiringinya.
Setelah itu, di Pura Maling Kiuh, Ratu Gede Mas Mecaling sangkep atau rapat untuk mencari tetadahan (korban/tumbal) di Kesiman.
“Makanya pada zaman dahulu, ketika jalanan tidak seramai sekarang. Jika ada yang memanggil dari luar meminta ayam, tetapi wajahnya tidak terlihat jangan disapa balik,” katanya.
Bunyi panggilan gaib itu ‘idih siape sik’ yang berarti minta ayam satu.
Konon jika seseorang mengubris panggilan entah dari siapa itu, maka malapetaka akan terjadi.
Bahkan yang terburuk adalah orang yang membalas panggilan itu bisa meninggal dunia.
Kemudian ada aturan lain, ketika jam 12 siang tepat, tidak boleh berjalan di jalan raya.
Karena Ratu Gede Mas Mecaling sedang keluar dan berjalan bersama bhuta kala.
“Demikian kepercayaan di Desa Adat Kesiman yang diceritakan dari dahulu,” katanya.
Satu diantara bhuta kala pengiring Ratu Gede Mas Mecaling adalah I Kala Baung, yang menguasai pinggir pantai.
Agar tidak terjadi malapetaka, maka setiap kedatangan Ratu Gede Mas Mecaling dihaturkan hidangan berupa bebantenan di pantai Biaung oleh Mangku Dalem Wresana.
Setelah itu, pada sasih kesanga Desa Adat Kesiman yang menghaturkan hidangan atau bebantenan di Padang Galak.
Sebelum akhirnya Ratu Gede Mas Mecaling kembali ke Dalem Ped, Nusa Penida, lewat laut. (*).