RENUNGAN Siwaratri: Malam Paling Gelap hingga Refleksi Kisah Lubdaka Sang Pemburu
RENUNGAN Siwaratri: Hari ini merupakan payogan Sang Hyang Siwa. Malam Paling Gelap hingga Refleksi Kisah Lubdaka Sang Pemburu.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM - Hari ini merupakan payogan Sang Hyang Siwa.
Masyarakat Hindu Bali menyebutnya sebagai Siwaratri.
Siwaratri sering disebut-sebut sebagai malam yang paling gelap.
Saat Siwaratri, umat melaksanakan brata mulai dari puasa, jagra, hingga melaksanakan mona brata.
Pelaksanaan Siwaratri juga kerap dikaitkan dengan kisah seorang pemburu bernama Lubdaka dalam kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tan Akung.
Pinandita Ketut Pasek Swastika pernah menjelaskan, hari raya Siwaratri yang dilaksanakan saat Sasih Kepitu, pada hakikatnya adalah Namasmaranam pada Nama Siwa.
Artinya selalu mengingat dan memuja Siwa dalam upaya melenyapkan segala kegelapan batin.
"Keutamaan Siwaratri diuraikan dalam kitab-kitab Purana yaitu Siwa Purana, Skanda Purana, Garuda Purana dan Padma Purana," paparnya.
Siwaratri dan Kisah Lubdaka
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti menjelaskan makna perayaan Siwaratri kepada Tribun Bali, Senin (11/1/2021) di Denpasar, Bali.
Pendiri dan pembina Pasraman Bhuwana Dharma Shanti ini, menjelaskan Siwaratri terdiri dari dua kata.
Siwa yang berarti Dewa Siwa, dan ratri yang berarti malam.
Secara singkat, Siwaratri dimaknai sebagai malam Siwa, dalam membangkitkan spiritual menuju keseimbangan hidup lahir batin.
“Pada malam Siwaratri, sangat penting bagi umat Hindu khususnya di Bali yang memegang konsep Siwa Sidhanta,” sebutnya.
Ida Rsi yang merupakan mantan jurnalis ini, menceritakan mitologi dan purana Siwaratri dalam ajaran Hindu.
“Jadi disebutkan bahwa Siwaratri adalah hal yang sangat penting, dimana dalam ajaran Hindu di Indonesia mengenal juga tentang Siwaratri yang dituls oleh Empu Tanakung,” katanya.
Ajaran tersebut tidak lain adalah gambaran cerita tentang seorang pemburu dan pembunuh bernama Lubdaka.
Dikisahkan ia melakukan perburuan, tidak mengenal kasih sayang, tidak mengenal tentang ketakutan, dan sebagainya.
“Karena hanya ingin mencari sesuap nasi untuk hidup, lalu ia beburu binatang,” ucap Ida Rsi.
Namun pada suatu ketika, terjadi kesialan, dimana setibanya di sebuah hutan, tidak ada satupun binatang yang ia jumpai. Bahkan kijang dan hewan lainnya tidak ada sama sekali.
Hal ini membuatnya terus berjalan ke tengah hutan yang sangat lebat hingga tiba di suatu tempat yang angker.
Ia tersesat hingga malam menjelang dan Lubdaka tidak mendapatkan apapun.
Dengan rasa lapar dan tidak tahu jalan kembali, maka si Lubdaka mencari tempat yang baik untuk berteduh dan menjaga diri dari sergapan binatang buas.
Sampailah Lubdaka di sebuah telaga atau danau yang cukup luas.
Karena lelah, ia beristirahat di sana sembari naik ke atas pohon agar tidak disergap binatang buas seperti harimau.
Sembari menunggu binatang buruannya, jikalau ada yang lewat.
Matahari terbenam, malam kian gelap dan Lubdaka merasa cukup ketakutan.
“Memang malam ketika sasih kapitu sangat gelap dan pekat,” jelas Ida rsi.
Lubdaka kini berada di atas pohon Maja (Bilwa) yang ada di pinggir telaga tersebut.
Ia takut ketiduran dan jatuh dari atas pohon, lalu dipetiklah daun Maja dan dijatuhkan satu per satu ke bawah.
Ia lakukan itu guna menghilangkan kantuk, dan dilakukan sampai pagi.
Daun satu per satu berjatuhan ke telaga, dan mengarah ke sebuah lingga (simbol Siwa) yang berada di telaga.
Daun-daun tersebut menyentuh lingga, sehingga membuat Dewa Siwa tersentuh hatinya.
Matahari akhirnya muncul, dan Lubdaka turun dari pohon lalu pulang ke rumah.
“Ketakutannya mulai hilang dan keberanian mulai tumbuh,” ujar Ida rsi.
Ia mengatakan pada keluarga, bahwa ia tidak mendapatkan buruan.
Sejatinya, Lubdaka mulai sadar dan mengubah pikirannya yang tadi berburu lalu membunuh menjadi hidup lebih baik.
Hari berlaru, dan Lubdaka sakit keras sehingga akhirnya ia tiada.
Uniknya, setelah prosesi ngaben jenazah atma atau rohnya disambut oleh bala tentara Yama Raja.
Namun bala tentara Dewa Siwa datang, dan mengatakan bahwa akan menjemput Lubdaka dan membawanya kehadapan beliau.
Namun bagi Yama, Lubdaka berdosa karena membunuh semasa hidupnya.
Namun bagi Siwa, Lubdaka sangat berjasa karena menjaga malam suci dengan ketenangan dan tidak berburu serta hati yang baik.
Ida rsi menjelaskan, kisah ini memberikan nilai bahwa hidup memang penuh derita (papa) dan sengsara (samsara).
Sehingga dengan Siwaratri ini, diharapkan umat Hindu dan segenap umat manusia kian sadar, serta tidak lupa (jagra) pada Tuhan, dalam simbolnya sebagai Dewa Siwa.
“Jadi esensi Siwaratri bukan hanya tentang bergadang saja, tetapi memahami diri lebih dalam, introspeksi diri atau mulat sarira,” tegas Ida Rsi.
Makna melek semalaman, saat Siwaratri adalah untuk menyadarkan diri kita sendiri tentang kehidupan di dunia ini.
"Sebab seiring perjalanan waktu, manusia kerap lupa diri, lupa pada kehidupan masyarakat, lupa Tuhan, lupa pada keluarga, dan lupa pada hal yang berhubungan dengan etika, sopan-santun serta lupa dengan keharmonisan hidup,” tegasnya.
Jagra, katanya, adalah menyadarkan manusia bahwa ia adalah mahluk Tuhan paling sempurna.
Dibekali pikiran dan hati nurani, untuk saling menjaga dan mencintai sesama mahluk hidup.
“Sebab hanya manusia yang dapat menolong dirinya sendiri. Tidak egois dan merasa diri sendiri paling benar,” ujar Ida Rsi.
Ia mengingatkan agar umat Hindu sembahyang memohon ampun kepada Tuhan dalam perwujudan Dewa Siwa ketika Siwaratri ini.
“Jangan jagra tapi main ceki (judi), minum arak (miras), dan perbuatan tidak terpuji lainnya,” tegasnya.
Makna Bersayap
Adapun Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda dalam sebuah artikel yang pernah diterbitkan Tribun Bali pada Senin (15/1/2018) menyebut kisah Lubdaka sebenarnya merupakan cerita dengan makna ‘bersayap’.
Pemburu yang dimaksudkan di sini bukanlah pemburu dalam arti sebenarnya, tetapi yang dimaksudkan adalah pemburu Tuhan sejati.
Kata sato (binatang) dalam cerita itu merupakan makna dari kebenaran. Itulah sebenarnya yang terjadi.
Jadi Siwaratri bukanlah sekadar bergadang semalam suntuk. Bukan karena sudah bergadang sampai pagi, berarti saya sudah melakukan Siwaratri.
Walaupun dalam teks dikatakan, ‘Lubdaka pun tanpa sengaja begadang pada malam hari itu,’ itu harus dipahami sebagai sebuah tindakan tanpa pamrih.
Bentuk persembahan pada Siwa, (Lubdaka) naik pohon lalu memetiknya satu persatu, itu merupakan cerminan bahwa dia (Lubdaka) berusaha untuk meningkatkan kualitas kesadaran budhinya menuju tingkat manah lalu ahamkara.
Sebab ketika budhi ini menguasai manah, kemudian manah menguasai indria (ahamkara), itulah kehidupan yang diinginkan.
Sebab, tanpa itu semua, berarti kita gagal melaksanakan misi penebusan dosa, karena tidak ada instrumen yang dipakai untuk mencapai moksa. (*)