Kabar Duka

Profil Dokter Anak Agung Ayu Bulantrisna Djelantik, Meninggal Dunia karena Kanker Pankreas

Sosok dan Profil Anak Agung Ayu Bulantrisna Jelantik. Maestro Tari Legong dan Penari Bali Istana Presiden Bung Karno ini meninggal dunia karena Kanker

|
Dokumentasi Panitia PKB 2019
Ilustrasi Tari Legong 

TRIBUN-BALI.COM – DR.dr. Anak Agung Ayu Bulantrisna Jelantik meninggal dunia Rabu 24 Februari 2021 Pukul 00.30 di RS Siloam Semanggi, Jakarta.

Maestro Tari Legong dan Penari Bali Istana Presiden Bung Karno ini meninggal dunia karena sakit Kanker Pankreas.

Anak Agung Ayu Bulantrisna Jelantik berpulang pada usia 74 tahun.

Sosok dan Profil Anak Agung Ayu Bulantrisna Jelantik

Kabar duka ini Tribun Bali terima melalui grup WhatsApp, ucapan duka cita pun mengalir.

Almarhum yang merupakan seorang dokter THT ini lahir di Deventer Belanda pada 8 September 1947.

Baca juga: BREAKING NEWS: Kabar Duka, I Gede Ardika Meninggal Dunia, Menbudpar Era Megawati Soekarno Putri

(Ilustrasi) Penampilan Tari Palegongan Klasik
(Ilustrasi) Penampilan Tari Palegongan Klasik (Dokumentasi Panitia PKB 2019)

Disebutkan dalam pesan tersebut, Bulan Trisna Jelantik adalah cucu Raja Karangasem, merupakan putri tertua dari Dr.dr Anak Agung Made Jelantik (Dokter PBB).

Mengutip dari Kompas.com, semasa hidupnya, Ayu Bulantrisna Djelantik tak lelah mengabdikan diri melestarikan tari tradisional asal Bali, tari Legong meski usianya tidak lagi muda.

Ia yang seorang dokter dan doctor, memilih mempertahankan sebuah tradisi dengan konsisten melestarikan seni tari Legong.

"Dua tahun lalu ketika saya mengajar tari, usia saya sekitar 70 tahun, dan saya mengajari orang-orang yang usianya 30-45 tahun, usianya dua kali di bawah saya, tetapi saya lebih fit dari mereka. Seumur hidup banyak bergerak itu sangat penting, karena manusia cenderung duduk nonton TV, duduk di kantor, duduk di mobil, jangan," kata wanita yang akrab disapa Biang dalam tayangan Kompas.com, 15 Mei 2021.

Bagi Biang, menari tidak hanya soal tampil di depan umum dan mendapat apresiasi dari penonton.

Ada nilai-nilai suci yang terkandung di dalamnya.

"Ini seperti doa, jadi tidak asal bergerak," ujarnya.

Tantangan lain adalah tentang regenerasi.

Menurut Biang, untuk menarik minat kaum muda, perlu pendekatan relevan dengan zaman agar generasi peminat tari Legong tidak terputus, seperti pemanfaatan teknologi dan melakukan beberapa penyesuaian zaman.

Menurut Biang, hingga kini, guru-guru dan para pelatih juga masih harus terus berlatih serta berkreasi dan memproduksi tari.

"Kita berusaha bagaimana tarian klasik ini tetap disenangi anak muda," ujar Biang.

Terpaksa persingkat durasi

Biang menceritakan, pementasan tari Legong biasanya dilaksanakan sekitar 30 menit.

Ia pernah terpaksa mempersingkat durasi pementasan tari Legong.

Ketika itu, ia diminta tampil di Istana Merdeka oleh Presiden pertama RI, Soekarno.

Akhirnya, tari Legong yang dipentaskan dengan konsep cerita itu dipersingkat dari 35 menit menjadi 6 menit.

"Saat saya menari di Istana Merdeka umur saya 12 tahun, waktu itu saya merasakan perbedaan Presiden Soekarno dengan presiden setelahnya," ujar Biang.

Menurut Biang, Presiden Soekarno merupakan pemimpin yang sangat peduli dengan kesenian tradisional Indonesia.

"Presiden Soekarno sangat memperhatikan seniman. Beliau meng-wongke, memanusiakan manusia," kata Biang.

Pernah ditolak masuk Taj Mahal

Sebagai penari, Biang secara tak langsung menjadi penyampai diplomasi antarnegara.

Setiap harinya, ia memperkenalkan budaya Indonesia, tari Legong, ke negara lain.

Negara pertama yang ia kunjungi adalah Pakistan.

"Hampir tiap hari ke 2-3 negara," ujar Biang.

Ada pengalaman menarik ketika Biang dan kelompok tarinya diundang untuk pentas di Delhi International Art Festival, India.

Saat itu, ia dan kelompok tarinya ingin mengunjungi Taj Mahal.

Mereka ingin berfoto di depan Taj Mahal, dan sudah membawa atribut lengkap dengan bunga-bunganya.

"Eh kita dilarang masuk. Mereka takut syirik, mereka kira kita mau bawa bunga itu untuk sembahyang atau untuk pemujaan," kata Biang tertawa.

Akhirnya, pemandu mereka memiliki ide agar kelompok tari Biang bisa masuk Taj Mahal.

"Dia bilang, ini ketua rombongannya cucu Raja Karangasem, kerajaan di Bali Timur, eh langsung dibolehin masuk dan malah jadi tamu agung. Akhirnya mereka menganggap saya Madam Maharani," ujar Biang.

Ayu Bulantrisna Djelantik memang terlahir dari keluarga bangsawan Bali.

Ia merupakan cucu langsung dari Anak Agung Anglurah Djelantik, yang tidak lain adalah raja terakhir dari Kerajaan Karangasem. (*)

Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bulantrisna Djelantik, Maestro Tari Legong yang Pernah Ditolak Masuk Taj Mahal"

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved