Ngopi Santai
Nyepi 2021, Internet, dan Pentingnya “Puasa” Medsos
Hidup nyata adalah hidup offline, bukan online. Seberapa banyak like di dunia maya tak ada artinya bila kita mendapat banyak dislike di dunia nyata.
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Untuk perayaan Nyepi 1943 Saka di Bali yang jatuh pada Minggu 14 Maret 2021, Pemprov Provinsi Bali memutuskan membolehkan menyalakan jaringan internet Wifi. Yang dimatikan hanyalah jaringan data seluler dan Internet Protokol Television (IPTV).
Tetap dihidupkannya jaringan internet Wifi selama hari raya Nyepi 2021 disebabkan oleh situasi pandemi Covid-19, dimana informasi tentang warga masyarakat Bali terkait Covid-19 harus tetap terpantau.
Namun, Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Dewa Made Indra menjelaskan bahwa walaupun Wifi tetap bisa diakses, Pemprov Bali melarang adanya siaran maupun relay siaran apapun selama Catur Brata Penyepian masih berlangsung.
Nyepi sendiri akan dimulai Minggu 14 Maret 2021 pukul 06.00 Wita hingga Senin 15 Maret 2021 pukul 06.00 Wita.
Secara esensi, menjalankan Catur Brata Penyepian mengandung maksud untuk melatih pengendalian diri dengan berpantang terhadap empat hal, sehingga waktu selama Nyepi bisa lebih difokuskan untuk meningkatkan aktivitas rohani.
Dalam kaitan dengan internet, sudah jamak diketahui bahwa berasyik ria dengan dunia maya itu sudah menjadi “candu” baru bagi masyarakat modern.
Oleh karena itu, meskipun internet masih bisa diakses melalui Wifi selama Nyepi 2021, hendaknya hal itu tidak membuat masyarakat tergoda untuk bermain internet di luar dari tujuan tetap dihidupkannya jaringan Wifi selama Nyepi.
Ini agar perayaan Nyepi tidak lewat begitu saja, menjadi kurang bermakna.
***
Godaan dunia maya memang demikian menggiurkan di era kejayaan teknologi digital dewasa ini.
Bahkan keasyikan berinternet lewat kecanggihan gadget yang fitur-fiturnya makin kaya dan memudahkan penggunanya untuk terus ketagihan nge-net, kini memunculkan problem kejiwaan baru.
Tidaklah salah kalau kemudian seorang profesor Sains Komputer dari Georgetown University Amerika Serikat (AS), yakni Cal Newport, sampai mengatakan bahwa “kunci untuk hidup dengan baik (living well) di tengah dunia dengan teknologi tinggi adalah justru jangan membuang banyak waktu dengan menggunakan teknologi”.
Intinya, menurut Cal Newport, jika Anda ingin hidup lebih bahagia di tengah lalu lintas komunikasi digital yang kian gaduh saat ini, salah-satu cara adalah mulailah kurangi main hape dan perbanyak silaturahmi (bahasa gaulnya: kopi darat/kopdar).
Beberapa waktu silam, Cal Newport berhasil meyakinkan 1600 orang untuk mengikuti riset yang menantang darinya, yang disebutnya bisa benar-benar mengubah hidup mereka.
Apa riset yang menantang itu?
Untuk kepentingan risetnya, Cal meminta 1600 orang itu untuk “puasa” selama 30 hari dari menggunakan piranti teknologi, terutama ponsel. Tentu saja tantangan itu disodorkan asalkan “puasa ponsel” itu tak membuat mereka dipecat dari pekerjaan, bercerai atau mengakibatkan kejadian fatal lainnya.
Singkat cerita, orang-orang itu diminta untuk mengucapkan selamat tinggal terutama pada Facebook, Instagram, YouTube dan Twitter selama sebulan.
Namun, untuk hal-hal yang sangat primer dan keharusan, mereka masih boleh menggunakan ponsel tetapi disertai batasan-batasan. Aturannya antara lain begini: boleh cek email tapi hanya di jam-jam yang ditentukan. Juga boleh lihat layar ponsel, namun hanya terbatas pada jam-jam tertentu yang dibolehkan.
Apa yang terjadi kemudian?
Ternyata, tak seorangpun yang mengikuti tantangan Cal itu sampai jadi edan atau stres gara-gara “puasa internet” itu.
Demikian sebagaimana ditulis oleh Eric Barker dalam artikelnya This Is The Most Powerful Way to Make Your Life Fantastic, yang mengutip hasil riset Cal Newport.
Memang, tulis Eric, awalnya transisi itu berat bagi kebanyakan dari mereka yang mengikuti tantangan Cal Newport. Tapi setelah itu, bagi sebagian terbesar mereka, batasan-batasan tersebut justru akhirnya benar-benar mengubah kehidupannya jadi lebih baik.
Mereka jadi lebih happy, dan lebih produktif. Mereka juga lebih bisa menghabiskan waktu berkualitas (quality time) bersama anak-anak atau keluarganya.
Seorang ayah (yang mengikuti riset tantangan dari Cal Newport) mengungkapkan, awalnya memang seperti aneh dirinya menjadi satu-satunya orangtua yang tidak pegang ponsel di tengah para orangtua lain yang asyik dengan ponselnya masing-masing, saat menemani anaknya bersama kawan-kawannya bermain di taman.
Tapi kemudian ia menjadi terbiasa dan bahkan nyaman. Sindrom “gelisah karena tak bawa ponsel” bisa diatasinya.
Riset menunjukkan, 70 persen kebahagiaan berasal dari relationship atau hubungan.
Berkebalikan dari keyakinan umum bahwa kebahagiaan itu tergantung pada kepemilikan harta berlimpah, para peneliti telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup.
Faktor-faktornya antara lain jumlah teman, kedekatan pertemanannya, kedekatan dalam keluarga, dan kedekatan hubungan dengan rekan kerja serta tetangga. Semua faktor itu mempengaruhi 70 persen kebahagiaan seseorang (personal happiness).
Lantas apa faktor yang sesungguhnya bisa dikendalikan, namun dalam kenyataan faktor itu justru merampas waktu berkualitas dalam relationship anda?
Menurut temuan, jawabannya adalah: ponsel, internet, dan pertemanan semu (pseudo relationship) di media sosial alias medsos !
Teknologi tidaklah jahat, bahkan membantu manusia dalam banyak hal. Hanya saja, kita memang perlu menemukan keseimbangan. Dan karena itu dibutuhkan tips dan bahkan sebuah fiolosofi, yakni filosofi mengapa harus memiliki keseimbangan.
Dalam istilah Eric Barker (yang juga penulis buku best seller Barking Up The Wrong Tree) dibutuhkan semacam etos untuk bisa mendorong niat “berpuasa internet”.
Nah, Cal Newport menyebut "puasa internet" itu sebagai digital minimalism.
Kosa kata itu pula yang jadi judul buku terbarunya: Digital Minimalism: Choosing a Focused Life in a Noisy World. (Minimalisme Digital: Memilih Kehidupan Yang Fokus dalam Dunia Yang Berisik)
Dalam bukunya itu, Cal Newport tidak bilang agar “buang saja ponselmu” untuk mengendalikan dorongan “berponsel dan berinternet ria” yang sudah kebablasan. Itu jelas mustahil.
Apalagi Cal sendiri adalah profesor sains komputer di Georgetown University dan meraih gelar doktor dalam bidang itu dari perguruan tinggi teknologi terkemuka dunia, yaitu Massachusets Institute of Technology (MIT).
Cal menjelaskan dalam bukunya bagaimana kita bisa mendapatkan (manfaat) terbaik dari teknologi, sehingga teknologi tidak justru merampas yang terbaik dari diri kita.
Tak seperti buku-buku tips & tricks tentang bagaimana mengatasi dampak negatif teknologi yang sebagian besar berisi “daftar caci maki terhadap kemudaratan pelototi ponsel”, Cal justru menulis sebaliknya.
Dia menawarkan apa yang disebutnya sebagai “rencana pertempuran” (battle plan), ya semacam program “diet internet” yang terstruktur dan sistematis guna membangun kehidupan lebih baik di tengah derasnya kemunculan teknologi baru. Terutama teknologi yang berbasis digital.
Ada beberapa poin “rencana pertempuran” yang diresepkan Cal Newport dalam bukunya itu. Berikut tiga diantaranya:
1) Ketahui apa value (nilai) hidup Anda, dan dimana posisi gadget (baca: teknologi) berdasarkan value hidup anda.
Pahami bahwa perangkat teknologi adalah netral. Ia bukan hal buruk, juga bukan hal baik. Ia hanyalah perangkat, sehingga anda sebagai penggunanya-lah yang menentukan teknologi itu akan jadi baik atau buruk.
Berangkat dari value itu, anda bisa menetapkan tujuan (goal) sekaligus rules (aturan) dalam penggunaan perangkat teknologi bagi diri anda. Dari situ akan muncul prioritas-prioritas: kapan harus menggunakannya dan kapan mesti meletakkannya.
Adanya prioritas itu juga membuat bisa dibedakan apakah anda sedang bergadget (berinternet) karena tuntutan kepentingan yang tak terhindarkan (misalnya pekerjaan) dan butuh berapa lama untuk itu; ataukah anda pegang gadget untuk hal-hal yang sekunder bahkan tersier.
Aturan dan prioritas yang anda tetapkan ini akan membuat anda menjadi tahu bahwa anda telah melanggar batas atau tidak dalam memakai gadget, sehingga hilangnya waktu berharga dengan sia-sia karena bergadget-ria bisa dihindari.
Untuk diketahui, selain insinyur teknik, ahli psikologi perilaku dan ahli desain juga dilibatkan dalam merancang gadget beserta fitur-fiturnya, sehingga gadget menjadi nyaman dan familiar digunakan bahkan membuat ketagihan. Itulah yang disebut gamification effect atau efek seperti keasyikan main game saat sedang gunakan gadget.
Fenomena keasyikan bergadget-ria terjadi dimana-mana dewasa ini, dan kata Cal, mulai menimbulkan masalah yang cukup serius terkait kejiwaan. Yakni gangguan mental yang disebut FOMO (Fear of Missing Out). FOMO adalah perasaan takut atau cemas ketinggalan informasi dan dianggap kurang update (kudet) atau kurang gaul.
WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) telah memasukkan kekhawatiran dicap kudet sebagai jenis baru gangguan kejiwaan. FOMO masuk kategori gangguan kecemasan (anxiety disorder).
Karena itu, Cal menyodorkan jurus berikutnya agar tidak mengalami gangguan kecemasan FOMO. Apa itu?
2) Baliklah FOMO
Dikatakan Cal, istilah FOMO hanya ada dalam pergaulan di dunia maya (virtual), yang hakikatnya adalah semu.
Karena semu, pergaulan di dunia maya jelas tak sepenuhnya mewakili secara hakiki dunia nyata, meskipun –absurdnya—dunia maya kini sedang berubah menjadi (seperti) dunia nyata (contohnya: sentimen di dunia maya bisa pengaruhi pilihan politik di dunia nyata).
Padahal, kata Cal, hakikat kehidupan itu ya di dunia nyata. Relasi yang bermakna (meaningful ) itu ada di dunia nyata.
Hidup nyata adalah hidup offline, bukan online. Seberapa banyak like yang didapat di dunia maya tidak ada artinya bila kita mendapat banyak dislike di dunia nyata.
Jadi, adalah aneh seseorang cemas tertinggal informasi dari dunia maya (takut dianggap kurang update/kudet), tapi tidak merasa khawatir makin tidak memiliki waktu untuk menjalin relasi di dunia nyata secara face-to-face akibat waktunya dihabiskan untuk nge-gadget.
“Gangguan FOMO itu hanya muncul karena kebanyakan orang kini super-connected, tiada waktu tanpa berinternetan. Coba kalau Anda mengurangi porsi waktu bergadget Anda, maka dengan sendirinya FOMO itu akan hilang,” demikian ungkap Cal, yang juga penulis buku laris Don’t Follow Your Passion.
Dengan kata lain, baliklah FOMO. Perbanyaklah porsi waktu Anda tanpa koneksi internet, maka dengan sendirinya gangguan mental FOMO akan terkikis.
Sebagai tambahan, FOMO di era wifi ada di mana-mana ini memunculkan fenomena psikologis lanjutan, yakni merebaknya perasaan kesepian di tengah keramaian lalu-lintas komunikasi dunia maya.
Survei menunjukkan, dalam waktu sekitar 20 tahun terakhir, tingkat (perasaan) kesepian di kalangan warga di negara-negara maju melonjak dua kali lipat.
Kesepian adalah sebuah kondisi batin yang menekan dan menyakitkan karena merasa sendirian, terputus dan terisolir. Kesepian itu masuk kategori depresi. Dan depresi adalah salah-satu pemicu bunuh diri.
Dalam bukunya Back to Human, Dan Schawbel mengatakan:
“Gadget menciptakan ilusi bahwa seseorang telah memiliki pergaulan yang luas hanya karena dia banyak memiliki teman (friend) di grup WA, join banyak akun grup di FB dan telegram. Padahal ingat bahwa teman di medsos itu tidak otomatis teman yang benar-benar nyata,” kata Schawbel seperti dikutip CBS News edisi 13 November 2018.
Kemudian, dalam bukunya Digital Minimalism, Cal Newport menganjurkan tips ketiga di bawah ini.
3) Beranilah mencoba sesekali tanpa smartphone.
Hiduplah secara analog, atau setidaknya lucuti fitur-fitur dan aplikasi dalam gadget Anda sehingga tinggal untuk menelepon (suara) dan kirim pesan saja. Bisa juga diterapkan ide menggunakan lagi hape jadul, yang fasilitasnya cuma untuk menelepon dan SMS.
Yakinlah bahwa jika orang benar-benar merasa penting untuk berkomunikasi dengan Anda, dia akan tetap berusaha menghubungi Anda meskipun tidak ada sambungan internet. Apakah dia akan menelepon Anda langsung atau setidaknya meng-SMS.
Dengan fitur dan aplikasi hape yang terlucuti, maka sekali waktu dalam sekian hari, Anda tidak terganggu oleh notifikasi atau bunyi-bunyi alert, yang biasanya menggoda Anda untuk tidak bisa lepas mantengin gadget. Toh Anda tak terputus dari komunikasi, karena masih ada hape jadul itu.
Dengan tahu “batas atas” dan “batas bawah” Anda dalam berhubungan dengan gadget, Anda bisa ambil titik tengah sebagai screen time (waktu lihat ponsel) yang wajar bagi Anda.(*)