Berita Denpasar
Tradisi Ngerebong di Kesiman Denpasar Digelar 1 Jam Lebih Awal, Puluhan Orang Kerauhan
Tradisi ngerebong di Pura Pura Petilan Pengerebongan, Kesiman, Denpasar, Bali, berjalan lancar, Minggu 2 Mei 2021.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tradisi ngerebong di Pura Pura Petilan Pengerebongan, Kesiman, Denpasar, Bali, berjalan lancar, Minggu 2 Mei 2021.
Prosesi digelar satu jam lebih awal daripada biasanya, yakni pukul 15.00 Wita dan berakhir pukul 17.00 Wita.
Biasanya prosesi ini baru dimulai pukul 16.00 Wita dan berakhir sekitar pukul 19.00 Wita.
Prosesi ini digelar setiap enam bulan sekali, tepatnya pada Redite Pon Medangsia.
Traidis ini kembali digelar setelah dua kali tak digelar karena pandemi Covid-19.
Baca juga: Ngerebong Digelar Hari Ini 2 Mei 2021 dengan Terapkan Prokes di Pura Petilan Pengerebongan Denpasar
Pelaksanaannya pun digelar seperti biasa, di mana tapakan dan para pepatih berputar mengelilingi wantilan madya mandala sebanyak tiga kali berlawanan arah jarum jam.
Dalam pelaksanaannya peserta menggunakan masker dan dengan peserta yang dibatasi.
Puluhan orang baik lelaki maupun perempuan berteriak, histeris, menangis.
Gamelan terdengar bertalu-talu dan ketika ketukan gamelan semakin cepat teriakan histeris semakin keras terdengar.
Para pengabih yang berjumlah dua orang atau lebih memegang punggung mereka yang kerauhan.
Di samping mereka seorang pengayah (orang yang membantu) membawa keris dan pengayah lain membawa sarung keris.
Baca juga: Pasca Ngubeng 2 Kali Banyak Pemangku yang Kerauhan, Tradisi Ngerebong Digelar Kembali dengan Prokes
Ketika putaran sampai di depan pintu masuk utama mandala mereka yang kerauhan utamanya yang lelaki akan berteriak lalu meminta keris.
Setelah keris diserahkan, mereka akan menusuk bagian dada maupun leher mereka sekuat-kuatnya.
Bendesa Desa Adat Kesiman, I Ketut Wisna mengatakan, sebelumnya dalam proses ngubeng, beberapa pemangku mengalami kerauhan.
Pemangku ini kerauhan baik di rumahnya sendiri maupun saat keluar dari pura Pangrebongan.
Dengan kejadian tersebut, prajuru Desa Adat Kesiman langsung melakukan rapat.
“Dari hasil rapat tersebut memutuskan bahwa pangrebongan akan dilaksanakan seperti biasa namun dengan memperhatikan protokol kesehatan ketat,” katanya.
Wisna menambahkan, sebelum prosesi upacara dimulai biasanya dilakukan patirtan dengan membawa langsung pratima ke Pura Musen.
Namun saat ini hanya dilakukan nuur tirta oleh pemangku tanpa membawa pratima.
Setelah itu tirta akan dipercikkan ke pratima yang ditempatkan di Pura Petilan Pengerebongan.
Untuk proses persembahyangan telah digelar sejak pukul 08.00 Wita secara bergiliran.
Setelah itu, baru akan dilakukan Ngerebong dengan rangkaian Ngurek dan Ngider Bhuana.
“Sekarang prosesinya dikhususkan setelah sembahyang agar tidak berkerumun. Jadi, yang sudah selesai sembahyang bisa berkumpul di wantilan sambil menonton ngerebongnya,” katanya.
Budayawan yang juga tetua Desa Adat Kesiman, I Gede Anom Ranuara mengatakan Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah center upacara tempat upacara besar di Kesiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Di mana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” katanya.
Ekspansi tersebut dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan.
Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa kaul untuk dapat kesusksesan.
Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle.
Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditakklukkan.
“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” jelasnya.
Saat itu konon ada sabta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari.
Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.
“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum ada adu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” katanya.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman.
Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.
Tahun 1937 pengerebongan kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun.
Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni ngerebong.
Tahun 2018 kemarin tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda. (*)
Berita lainnya di Berita Denpasar