Gerhana Bulan

Mitos Gerhana Bulan di Berbagai Negara di Dunia

Saat terjadi gerhana total, bulan purnama bergerak ke dalam bayangan Bumi yang dipantulkan matahari, dan untuk sementara waktu menjadi gelap.

Editor: DionDBPutra
TRIBUN BALI/RIZAL FANANY
Cahaya bulan purnama terlihat redup saat memasuki fase Gerhana Bulan Total di langit Kota Denpasar, Bali, Rabu 26 Mei 2021. 

TRIBUN-BALI.COM - Jutaan orang di berbagai belahan dunia telah melihat Gerhana Bulan Total yakni peristiwa yang populer disebut Blood Moon pada Rabu 26 Mei 2021.

Saat terjadi gerhana total, bulan purnama bergerak ke dalam bayangan Bumi yang dipantulkan matahari, dan untuk sementara waktu menjadi gelap.

Beberapa sinar matahari yang masih mencapai Bulan dibiaskan oleh atmosfer Bumi.

Hasilnya Bulan diterangi cahaya merah tua yang pucat, warnanya tergantung pada kondisi atmosfer.

Baca juga: Tiga Fenomena Alam yang Menyertai Gerhana Bulan Total

Baca juga: Gerhana Bulan Darah Pada Buda Paing, Jero Bayu Gendeng Minta Waspadai Pertanda Ini

Blood Moon memperlihatkan beberapa cara menarik yang digunakan masyarakat modern untuk menciptakan cerita tentang fenomena langit yang langka tersebut.

Sejak lama gerhana bulan menarik perhatian semua bangsa di dunia, dan menginspirasi beberapa mitos dan legenda yang tersohor. Banyak di antaranya menggambarkan fenomena astrologi ini sebagai pertanda.

Setiap bangsa punya cara pandangnya sendiri melihat fenomena langit ini.

Berikut mitos terkait Gerhana Bulan Total di sejumlah tempat menurut The independent.

Bangsa Inca kuno

Penampakan Gerhana Bulan Total (Super Blood Moon) diambil dari Kawasan Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018). Fenomena langka gerhana bulan total yang terakihir kali terjadi 152 tahun lalu terlihat tidak sempurna dari wilayah Jakarta dikarenakan awan mendung. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Penampakan Gerhana Bulan Total (Super Blood Moon) diambil dari Kawasan Planetarium, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu (31/1/2018). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

Blood Moon dilukiskan kedatangannya untuk maksud jahat. Orang Inca kuno mengartikan warna merah tua sebagai jaguar menyerang dan memakan Bulan.

Mereka percaya bahwa jaguar mungkin akan mengalihkan perhatiannya ke Bumi. Jadi ketika itu, orang-orang akan berteriak, mengguncang tombak mereka, dan membuat anjing mereka menggonggong dan melolong.

Suara-suara itu diharapkan cukup untuk mengusir jaguar tersebut dari Bumi.

Bangsa Mesopotamia kuno

Di Mesopotamia kuno, gerhana bulan dianggap sebagai serangan langsung terhadap raja.

Mengingat kemampuan mereka untuk memprediksi gerhana dengan akurasinya, orang Mesopotamia kuno saat itu akan menempatkan raja palsu hingga periode Blood Moon berlalu.

Raja palsu ini merupakan orang yang dianggap dapat dikorbankan. Jadi sampai fenomena itu lewat, dia akan menyamar sebagai raja.

Sementara raja yang sebenarnya akan bersembunyi dan menunggu gerhana berlalu.

Dikisahkan bahwa Raja Palsu akan menghilang tanpa jejak, baru kemudian raja sebenarnya dipekerjakan kembali.

Rakyat Hindu

Beberapa cerita rakyat Hindu menafsirkan Blood Moon terjadi setelah setan bernama Rahu, meminum ramuan keabadian.

Dewa kembar, Matahari dan Bulan segera memenggal kepala Rahu.

Akan tetapi karena dia telah mengonsumsi obat mujarab, kepala Rahu tetap abadi.

Untuk membalas dendam, kepala Rahu mengejar Matahari dan Bulan untuk melahap mereka.

Jika dia menangkap mereka, kita mengalami gerhana (Rahu menelan bulan), yang kemudian akan muncul kembali dari lehernya yang terpenggal.

Bangsa India

Bagi banyak orang di India, gerhana bulan membawa nasib buruk. Makanan dan air ditutup dan ritual pembersihan dilakukan.

Wanita hamil juga disarankan tidak makan atau melakukan pekerjaan rumah tangga, untuk melindungi janin mereka.

Suku Asli Amerika

Tapi tidak semua mitos gerhana diliputi oleh kejahatan seperti itu.

Suku Asli Amerika Hupa dan Luiseno dari California percaya Blood Moon menandakan bulan sedang terluka atau sakit.

Setelah gerhana, bulan membutuhkan penyembuhan. Maka suku Luiseno, misalnya, akan menyanyikan lagu-lagu penyembuhan saat bulan mulai meredup.

Suku di Afrika

Kisah yang lebih menggembirakan adalah legenda orang Batammaliba di Togo dan Benin di Afrika.

Secara tradisional, mereka memandang gerhana bulan sebagai konflik antara matahari dan bulan.

Masyarakat dipercaya memiliki kemampuan untuk “mendorong keduanya untuk berbaikan.” Oleh karena itu, periode ini harus digunakan masyarakat di bumi untuk menyelesaikan perseteruan lama antar-sesamanya.

Praktik ini masih ada hingga sekarang.

Ajaran Islam

Dalam Islam, gerhana diartikan tanpa tahyul. Islam melihat fenomena Matahari dan Bulan ini melambangkan rasa hormat yang dalam kepada Tuhan.

Jadi selama gerhana, doa-doa khusus diucapkan termasuk salat-al-khusuf, "doa di saat gerhana bulan". Keduanya meminta ampunan Tuhan, dan menegaskan kembali keagungan Tuhan.

Berita lainnya terkait Gerhana Bulan

Artikel ini telah tayang di Kompas.com berjudul Blood Moon: Mitos Gerhana Bulan dari Seluruh Dunia


Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved