Vaksinasi

KPK Sarankan Pemerintah Hentikan Program Vaksinasi Berbayar

Lembaga antirasuah itu tidak mendukung program tersebut karena berisiko tinggi menimbulkan korupsi.

Editor: DionDBPutra
Tribunnews.com/ Ilham Rian Pratama
Ketua KPK Firli Bahuri 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyarankan pemerintah untuk tidak melanjutkan rencana program vaksinasi Covid-19 berbayar atau Gotong Royong untuk individu melalui Kimia Farma.

Lembaga antirasuah itu tidak mendukung program tersebut karena berisiko tinggi menimbulkan korupsi.

Hal itu disampaikan oleh Ketua KPK Firli Bahuri dalam rapat koordinasi pelaksanaan Vaksinasi Mandiri dan Vaksinasi Gotong, Senin 12 Juli 2021 lalu.

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 di Kota Denpasar Sebanyak 516.450 untuk Dosis Pertama, 215.358 untuk Dosis Kedua 

Baca juga: Kimia Farma Tunda Pelaksanaan Vaksinasi Berbayar di Bali, Kadinkes Ngaku Kaget

Rapat itu dihadiri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan; Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin; Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir. Kemudian Jaksa Agung ST Burhanuddin hingga Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Muhammad Yusuf Ateh.

”KPK tidak mendukung pola vaksin GR [Gotong Royong] melalui Kimia Farma karena efektivitasnya rendah sementara tata kelolanya berisiko,” kata Firli dalam keterangan tertulis, Rabu 14 Juli 2021.

Dalam rapat itu Firli menyampaikan mengenai sejumlah pertimbangan, latar belakang, landasan hukum, potensi fraud, serta saran tindak lanjut.

Ia membahas materi potensi fraud mulai dari proses perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi program.

"Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi program. Saya tentu tidak memiliki kapasitas untuk membuat keputusan. Tapi saya ingin tidak ada korupsi," ujar jenderal polisi bintang tiga itu.

Firli menyebut ada sejumlah poin yang disampaikannya dalam rapat. Khususnya terkait langkah-langkah strategis menyikapi potensi fraud.

Hal itu bila kemudian vaksin mandiri dilaksanakan berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya.

Terdapat enam catatan terkait saran tindak lanjut yang diberikan KPK. Pertama, KPK memahami permasalahan implementasi vaksinasi saat ini sekaligus mendukung upaya percepatan vaksinasi.

Kedua, penjualan vaksin Covid-19 ke individu melalui Kimia Farma berisiko tinggi baik dari sisi medis maupun kontrol vaksin, tingkat efektivitas rendah, dan jangkauan Kimia Farma terbatas. Belum lagi kemungkinan munculnya reseller.

Kemudian, perluasan penggunaan vaksin Gotong Royong ke individu tidak boleh menggunakan vaksin hibah baik bilateral maupun skema Covax. KPK meminta transparansi data alokasi dan penggunaan vaksin Gotong Royong.

Keempat, sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 tahun 2020, Menteri Kesehatan diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin, serta mekanisme vaksinasi.

Kelima, perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan monitoring pelaksanaan vaksin Gotong Royong secara transparan, akuntabel, dan menghindari praktik fraud.

"Data menjadi kata kunci. Untuk itu Kemenkes harus menyiapkan data calon peserta vaksin GR sebelum dilakukan vaksinasi," katanya.

Atas sejumlah pertimbangan itu, Firli menyebut bahwa KPK tidak mendukung pola vaksinasi Gotong Royong melalui Kimia Farma. Selain itu, KPK juga mendorong transparansi logistik dan distribusi vaksin yang lebih besar.

”Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemenkes harus memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha, atau asosiasi," ujarnya.

Pemerintah sebelumnya membuka vaksin mandiri berbayar dengan nama Vaksinasi Gotong Royong. Harga per dosis dipatok sebesar Rp321 ribu, ditambah biaya layanan Rp117 ribu.

Vaksin tersebut dijual di jaringan klinik Kimia Farma. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021.

Rencana vaksinasi berbayar ini dimulai Senin 12 Juli 2021, namun ditunda karena muncul berbagai kritik.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengklaim keputusan menggelar vaksinasi berbayar dilakukan setelah pemerintah mendengar banyak masukan dari masyarakat.

Nadia menyebut pihaknya bersama Kementerian BUMN dan Bio Farma tengah menyusun petunjuk teknis untuk pelaksanaan vaksinasi berbayar di jaringan klinik Kimia Farma.(tribun network/ham/dod)

Pemerintah Larang Salat Idul Adha di Daerah PPKM Darurat
• Salat 50 Persen Kapasitas di Zona Hijau
• Takbiran 10 Persen untuk Daerah Zona Hijau

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) akan melarang pelaksanaan salat Idul Adha di daerah yang masih dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di daerah Jawa-Bali.

Stafsus Menteri Agama Bidang Kerukunan Umat Beragama Ishfah Abidal Aziz mengatakan larangan pelaksanaan salat Idul Adha juga akan berlaku di daerah non PPKM Jawa-Bali yang masuk ke dalam zona merah dan oranye.

"Tentang pelaksanaan salat Idul Adha yang dilaksanakan di masjid, musala ataupun di lapangan atau di tempat-tempat ibadah Islam yang dikelola di kantor atau tempat-tempat lain untuk daerah yang masuk pada PPKM darurat, maka ditiadakan penyelenggaraannya atau daerah yang masuk daerah zona merah atau oranye," kata Ishfah dalam diskusi daring, Rabu (14/7).

Namun, kata Ishfah, daerah yang masuk ke dalam zona hijau atau kuning diperbolehkan melaksanakan salat Idul Adha dengan ketentuan maksimal 50 persen dari jumlah kapasitas.

"Daerah yang masuk ke dalam daerah zona hijau dan kuning atau daerah yang dinyatakan aman oleh pemerintah setempat maupun satuan tugas penanganan Covid-19, maka diperbolehkan melaksanakan salat Idul Adha dengan ketentuan maksimal 50 persen dari jumlah kapasitas yang ada," ujarnya.

Ia menuturkan pelaksanaan salat Idul Adha itu pun harus tetap mematuhi protokol kesehatan yang ketat dan disiplin.

"Itu pun harus memenuhi ketentuan dan aturan bagaimana protokol kesehatan dilaksanakan secara ketat dan disiplin. Itu yang pokok dalam pelaksanaan salat Idul Adha," ujarnya.

Menurutnya, pengaturan ini diatur dalam Surat Edaran Menteri Agama nomor 15 Tahun 2021 tentang Penerapan Protokol Kesehatan dalam Penyelenggaraan Salat Hari Raya Idul Adha dan Pelaksanaan Kurban Tahun 1442 H/2021 M.

Nantinya, aturan tersebut akan lebih rinci dalam ketentuan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 16 tahun 2021. Namun, ketentuan ini masih tengah digodok oleh Kementerian Agama.

Senada, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa Asrorun Ni'am Sholeh meminta seluruh umat Islam menaati aturan penyelenggaraan salat hari raya Idul Adha dan pelaksanaan kurban tahun 1442 H/2021 M yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ni'am memahami sebagian masyarakat ingin taat perintah Allah SWT terkait perintah salat hari raya Idul Adha. Namun, ia mengingatkan pentingnya keselamatan diri di tengah darurat Covid-19.

"Pelaksanaan ibadah salat Idul Adha juga demikian. Jangan sampai karena pengen taat kepada Allah SWT dengan menjalankan secara sempurna tetapi tidak memperhatikan aspek keselamatan diri dan juga orang lain. Jadi perlu ada keberimbangan," kata Ni'am dalam diskusi daring, Rabu (14/7).

Ia mengingatkan pentingnya umat Islam untuk memahami arti Jalbu al-Mashalih. Artinya, setiap umat harus meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan (kerusakan).

"Untuk mendatangkan kemaslahatan yang lebih optimal juga mencegah terjadinya ke kemafsadatan. Jangan sampai pengen takbiran pengen syiar, kemudian dilakukan secara sembrono tidak menjaga protokol kesehatan akhirnya terpapar Covid. Ini juga tidak diperkenankan," ujarnya.

Ishfah juga mengatakan, larangan berlaku bagi takbiran keliling dan arak-arakan menyambut Idul Adha.

"Pelaksanaan takbir keliling yang dilaksanakan diselenggarakan dengan berjalan kaki ataupun menggunakan kendaraan berarak-arakan itu mutlak tidak diperbolehkan," katanya.

Ia menuturkan pelarangan ini bertujuan untuk mencegah adanya kerumunan yang berujung pelanggaran protokol kesehatan. "Karena ini akan memancing munculnya kerumunan di masyarakat," ujar dia.

Namun, kata Ishfah, pemerintah memberikan kelonggaran untuk tetap bisa melaksanakan takbiran di masjid ataupun musala. Namun, hanya daerah-daerah yang berada di zona hijau saja.

Ia mengatakan, pelaksanaan takbiran di masjid dan musala untuk daerah yang dianggap zona aman oleh pemerintah setempat dianggap dan satgas penanganan Covid-19 setempat, hanya 10 persen dari kapasitas maksimal.

“Kalau masjid musala itu kapasitas 100 maka yang dapat melaksanakan takbiran maksimal sejumlah 10 orang," jelasnya. (Tribun Network/Vincentius Jyestha/Igman Ibrahim/sam)

Berita lain terkait vaksinasi Covid-19

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved