Wawancara Tokoh
Bincang dengan Kepala PPATK Dian Ediana Rae, Dian: Kita Instingnya Praduga Bersalah
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menegaskan tugas pokok dan fungsi lembaganya
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menegaskan tugas pokok dan fungsi lembaganya mengawasi setiap transaksi yang terindikasi mencurigakan, apalagi sampai menimbulkan isu nasional.
Menyoal dana sumbangan Rp 2 triliun dari keluarga Akidi Tio, PPATK masih terus bekerja memastikan uang tersebut seperti dijanjikan anak bungsu mendiang, Heriyanti.
"Memang harus diakui bahwa pengawasan kita secara domestik sementara sampai hari ini data menunjukkan bahwa transaksi itu belum ada. Itu yang sudah kita monitor langsung karena PPATK punya akses melihat sistem keuangan Indonesia," ucap Dian dalam bincang-bincang khusus kepada Tribun Network, Selasa 3 Agustus 2021.
Menurutnya, apabila uang sumbangan itu ternyata benar-benar ada, PPATK juga akan memiliki tugas berat memastikan dari mana sumber uang tersebut berdasarkan aspek klarifikasi Enhanced Due Diligence (EDD).
Baca juga: Sesumbar Sumbang Rp 2 Triliun, Ternyata Saldo Keluarga Akidi Tio Tak Cukup
"Jadi kita meneliti beberapa hal tugas berat PPATK memastikan dari mana uang Rp 2 Triliun itu. Jadi kalau jelas profilnya artinya bisnisnya besar due diligence juga clear tetapi kalau nanti tidak bisa diklarifikasi uang berasal dari sumber-sumber tidak halal akan menjadi hal serius bagi PPATK," ucap Doktor Hukum Keuangan tersebut.
Berikut wawancara khusus Tribun Network bersama Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae:
Manakala ada seseorang ingin melakukan transfer uang ke orang lain dengan dana gede sekali peran PPATK di mana?
Berdasarkan UU nomor 8 tahun 2010 dan UU nomor 9 tahun 2013 memang PPATK secara eksplisit dinyatakan sebagai lembaga intelijen keuangan.
Jadi tugas utama kita adalah melakukan analisis dari setiap transaksi keuangan yang dianggap mencurigakan. Itu adalah suatu kewajiban pokok PPATK.
Kalau saya mencoba mengaitkan langsung apa yang terjadi dengan kasus sumbangan Rp 2 triliun.
PPATK harus turun tangan karena ada tiga hal.
Pertama, transaksi keuangan dalam jumlah besar seperti ini setelah kita hubungkan profile pemberi atau kita sebut profiling ini ada inkonsistensi.
Kedua, ada kriteria mencurigakan.
Ketiga, penerima seandainya departemen sosial, misalnya lembaga secara tupoksi dapat menerima sumbangan katakanlah Satgas Covid-19 atau BNPB mungkin tidak menimbulkan persoalan.
Tetapi begitu yang menerima sumbangan lembaga kategori Politically Exposed Persons (PEPs) itu adalah kriteria pejabat dari pusat sampai daerah dan dari berbagai level yang memang merupakan person yang kita anggap sensitif.
Dan perlu kita klarifikasi seandainya ada transaksi seperti ini.
Untuk memastikan, karena menjanjikan sesuatu ke masyarakat dan dilakukan sumbangan melalui pejabat negara tentunya ini bukan sesuatu yang bisa dianggap main-main.
Ini hal serius, perlu dipastikan PPATK.
Tugas berat PPATK memastikan dari mana uang Rp 2 triliun itu.
Seandainya tidak terjadi ini menjadi suatu pencederaan, mengganggu integritas sistem keuangan. Sistem keuangan tidak boleh dipakai untuk main-main apalagi dilakukan sebuah kejahatan.
Kita melakukan penelitian terus berlanjut sampai nanti kita menghasilkan hasil analisis pemeriksaan PPATK yang ujung kita akan serahkan suratnya ke Kapolri.
Sampai hari ini data menunjukkan, transaksi itu belum ada.
Itu yang sudah kita monitor langsung karena PPATK punya akses melihat sistem keuangan Indonesia.
Kalau ada transfer sebesar ini (Rp 2 triliun) sudah menjadi kewajiban bank untuk melaporkan kepada PPATK ada transaksi keuangan yang mencurigakan yang harus dianalisis.
Transaksi jumlah besar masuk kategori yang harus due diligence, klarifikasi yang biasa.
Tapi kalau sampai Rp 2 triliun maka perlu dilakukan Enhanced Due Diligence (EDD).
Jadi pemeriksaannya harus diperlebar segala aspek perlu diteliti oleh bank kemudian PPATK melakukan langkah-langkah yang diperlukan.
Jika transaksi Rp 2 triliun ini terjadi, apakah penerima uang itu belum bisa mencairkan baik sebagian atau seluruhnya?
Kalau tidak ada isu uang itu mungkin mudah saja ditransfer secara internasional karena segala sesuatu dilakukan secara elektronik.
Tetapi kalau ada isu katakanlah uang besar itu ada di negara tertentu kemudian ada isu dengan Know Your Customer (KYC) principle, itu jadi persoalan.
Uang itu akan tertanggung di sana untuk diselesaikan dulu.
Misalnya uang ini dari mana asalnya, apakah tidak terkait kejahatan, kemudian akan digunakan untuk apa.
Jadi akan ada proses dilakukan di sana.
Tetapi ada masalah sama sekali akan mudah saja uang itu ditransfer berapapun dengan menggunakan sistem elektronik.
Apakah pernah transaksi bukan direct investment, baik di dalam maupun luar negeri yang jumlahnya capai Rp 2 triliun, pernah terdeteksi oleh PPATK?
Itu yang saya maksud di awal kenapa ini jadi isu karena ini jumlah sumbangan besar.
Kalau transaksi bisnis biasa sangat mungkin ada.
Tentu harus diidentifikasi dulu.
Kalau terkait transaksi jual beli dan lain sebagainya sesuatu hal yang normal.
Yang menjadi tidak normal ketika di-profiling orang dengan jumlah uang dan pejabat menjadi penerima.
Itu yang menjadi isu utama buat PPATK.
Kalau sumbangan-sumbangan itu sudah biasa, apalagi orang-orang kita ini kan tipikal generous.
Giving index kita juga selalu tinggi, Indonesia selalu ada di rangking 10.
Masyarakat kita selalu suka sekali memberikan bantuan.
Saya itu suatu hal yang harus kita apresiasi.
Baca juga: Heryanti Masih Sempat Menelepon Si Cantik Soal Akan Cairnya Sumbangan Rp 2 Triliun Itu
Makanya kalau ada kasus seperti ini harus kita tangani dan amati betul.
Misalnya kalau yang menyumbang 10 konglomerat terbesar Indonesia nyumbang sejumlah uang.
Tidak akan jadi isu karena orang tahu profiling mereka sudah pas.
Duit mereka banyak dan keuntungan korporasi juga besar.
Masyarakat juga tidak akan mempersoalkan.
Dalam regulasi di negeri kita apakah mungkin seorang pejabat negara menerima sumbangan Rp 2 triliun?
Saya kira jelas tidak karena pertama ini yang saya sebut tadi PEPs tidak boleh menerima yang dikategorikan gratifikasi.
Kalau pejabat menerima sudah pasti tidak boleh.
Yang kedua kalau secara kelembagaan itu juga tidak boleh karena bukan tupoksinya. Jadi memang harus sesuai.
Kalau departemen sosial menerima sumbangan BNPB, dan satgas Covid-19 mungkin tidak menjadi isu.
Apakah PPATK punya tupoksi untuk berkoordinasi dengan lembaga keuangan yang ada di luar negeri terkait yang seperti ini?
PPATK punya instrumen yang namanya IFTI (International funds transfer instruction) data.
Jadi kami bisa mendeteksi keluar masuk uang dari Indonesia ke luar negeri dan sebaliknya dalam jumlah berapa pun, tidak usah Rp 2 triliun.
Seandainya kita butuh bantuan lembaga keuangan negara lain.
Kita memiliki jaringan hampir 163 negara yang terkait lembaga intelijen keuangan dan saya juga ada di dalamnya.
Sebagai kepala PPATK, respons Bapak mendengar ada transaksi Rp 2 triliun?
Sebagai lembaga intelijen keuangan instingnya bukan praduga tak bersalah.
Kita instingnya praduga bersalah.
Kita bersikap hati-hati, sambil melihat ke factor-faktor mencurigakan.
Memastikan, segala sesuatu berjalan dengan peraturan perundang-undangan.
Begitu saya dengar angka Rp 2 triliun dan ketidaksesuaian dengan profil serta terkait pejabat negara, itu sudah otomatis kita harus turun.
Kalau tidak turun malah menurut undang-undang saya bersalah.
Masyarakat juga perlu memeroleh informasi sejelas-jelasnya mengenai aspek yang terkait perkembangan.
Kita sangat cepat begitu berita masuk kita langsung masuk juga melakukan analisa.
Apakah PPATK sudah menelurusi uang keluarga Akidi Tio yang disebut berada di Bank Singapura?
Masalah koordinasi saya tidak berasumsi ini kebijakan polisi sebagai suatu lemabaga atau kebijakan Kapolri sehingga mereka perlu berkoordinasi dengan kita.
Yang kedua memang pada hakikatnya PPATK bisa langsung masuk tanpa ada perintah siapa pun.
Kita ini lembaga independen dengan kewenangan perundang-undangan, kalau ada yang perlu diklarifikasi tentu saja PPATK secara langsung menganalisis.
Nanti pada ujungnya kita serahkan ke Kapolri untuk dilakukan langkah diperlukan, misalnya terkait dengan persoalan hukum nantinya.
Baca juga: Anak Akidi Tio Tersangka, Padahal Kenalannya Bilang Uang 2 Triliun Itu Ada dan Yakin Akan Cair
Hasil penelusuran PPATK apakah Akidi Tio termasuk deretan konglomerat di Indonesia?
Coba saja tanya kepada kita semua.
Apakah Akidi Tio pernah masuk jajaran 10 besar majalah Forbes. Apakah pernah tercatat pembayar pajak terbesar.
Itu kan sebenarnya mudah saja kita mencari kesimpulan.
Ini yang kita anggap sampai hari ini ada ketidaksesuaian profil antar penyumbang dengan kondisi keuangannya.
Hal ini memang perlu kita tuntaskan sehingga mendapatkan jawaban clear.
(tribun network/reynas abdila)