Serba Serbi

Memaknai Hari Raya Saraswati: Menghormati Ilmu Pengetahuan hingga Mitos Tidak Boleh Membaca

Memaknai Hari Raya Saraswati: Menghormati Ilmu Pengetahuan hingga Mitos Tidak Boleh Membaca

Penulis: Putu Supartika | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Rizal Fanany
Ilustrasi - Memaknai Hari Raya Saraswati: Menghormati Ilmu Pengetahuan hingga Mitos Tidak Boleh Membaca 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Rahajeng rahina Saraswati.

Hari ini, Sabtu 28 Agustus 2021 umat Hindu di Bali kembali merayakan Hari Raya Saraswati.

Hari raya ini diperingati setiap enam bulan sekali (210 hari) tepatnya pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung.

Hari Raya Saraswati dipercaya sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan sekaligus sebagai penghormatan terhadap Dewi Pengetahuan yaitu Dewi Saraswati.

Hal ihwal tentang pelaksanaan Hari Raya Saraswati juga termuat dalam Lontar Sundarigama.

Menurut Dosen Unud, Putu Eka Guna Yasa, Lontar Sundarigama ini merupakan pedoman pelaksanaan upacara di Bali baik berdasarkan sasih maupun wuku.

Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:

Watugunung, Saniscara, Umanis, puja walin Betara Saraswati widi-widanania, nistania, suci peras daksina, penek ajuman sesayut saraswati, banten saraswati, segara gunung, perangkat putih kuning, tansah wangi-wangi, daksina, pengadegan abesik, kembang payas sekar cana, canang yasa, sadulurania sehananing pustaka, makelingganing aksara pina hayu, puja walinin, saha aturaken puspa wangi, astawakne tirta pakuluh ring Sang Hyang Surya samana tan wenang angereka, aksara, amaca, anulis, tuwi makidung muang kekawin, tuwi arerasan saluwiring tatuwa aksara suksema, kewalia amuja-muja walinin betara Saraswati juga wenang, apan sang pinuja sira amdalaning sarwa dewa, kewala meneng juga sira ayoga.

Artinya: 

Pada Saniscara Umanis, merupakan hari pemujaan untuk Dewi Saraswati. Dalam pemujaan ini, upakaranya yaitu suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cana dan kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan atau rantasan putih kuning, serta buah-buahan beserta runtutannya, Sang Hyang pustaka atau ontar-lontar keagamaan, tempat menuliskan aksara ditata dengan sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa wangi.

Hal inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu yaitu gerak, kata-kata dan pikiran.

Dalam melakukan pemujaan dengan banten tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan kidung kekawin, dan yang wajar yaitu melakukan yoga.

Sehingga saat perayaan Saraswati ini hendaknya melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan bayu, sabda, idep.

Tak hanya itu, terpenting juga bisa memaknai hakikat atau intisari dari pengetahuan itu sendiri.

Dengan demikian, Hari Raya Saraswati juga memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan mampu menerangi kehidupan.

Seperti diketahui, Dewi Saraswati dilambangkan sebagai seorang gadis yang sangat cantik bertangan empat, membawa genitri, keropak, rebab, dan bersama angsa serta burung merak.

Penggambaran tersebut memiliki makna yang sangat penting.

“Kalau di India, Saraswati dirayakan sekali setahun, dengan nama Maha Saraswati Puja yang dilakukan setahun sekali,” jelas Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, kepada Tribun Bali, Jumat 29 Januari 2021. 

“Saraswati itu dilambangkan seorang gadis yang sangat cantik, dengan tangan empat kemudian membawa genitri, membawa keropak, membawa rebab, dan berada pada angsa serta burung merak,” sebut beliau. 

Menurut Ida Rsi, wanita cantik dipersonifikasikan sebagai ilmu pengetahuan sehingga dikejar banyak orang.

Genitri yang dipegang Sang Dewi bermakna ilmu pengetahuan yang tidak ada ujungnya.

“Makanya ada konsep belajar sampai tua,” ujar Ida Rsi yang juga pensiunan dosen Unhi ini.

Angsa adalah simbol dari binatang, yang bisa menyeleksi. 

Sebab kehidupan angsa sangat bersih dan artinya adalah kebijaksanaan, maka ilmu pengetahuan akan menjadi racun tanpa kebijaksanaan.

“Ada Merak adalah burung yang sangat indah, sebagai simbol pengetahuan yang sangat indah,” kata beliau.

Misalnya pengetahuan dinyanyikan sebagai puisi, yang menjadikan hidup kita bahagia dan indah.

Tidak Boleh Membaca?

Di Bali, banyak mitos yang berkembang bahwa saat Saraswati tidak boleh membaca atau belajar.

Benarkah demikian?

“Itu salah, malah seharusnya belajar karena ilmu pengetahuan sedang turun,” kata Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti.

Menurut Ida Rsi, etikanya sebelum belajar haruslah menghaturkan bakti terlebih dahulu kepada Tuhan, melalui bebantenan dan sembahyang di merajan masing-masing.

Sehari setelah saraswati atau besoknya adalah Banyupinaruh. Filosofinya, pada saat menerima ilmu pengetahuan ketika Saraswati berarti bahwa pengetahuan terus mengalir. 

Sehingga, dengan ilmu pengetahuan yang sudah didapat, saat banyupinaruh umat menyucikan pikiran serta menyucikan perilakunya sendiri.

Setelah itu, Buda Kliwon Sinta disebut dengan Pagerwesi. 

“Pagar dari besi artinya pagar yang kokoh, di sana kita memagari diri kita. Kemudian memagari diri kita jangan sampai pengetahuan disalahgunakan,” ujar Ida Rsi.

"Oleh sebab itu, Saraswati sangat penting buat kehidupan. Dan Saraswati harus diketahui oleh semua masyarakat baik tua atau muda serta anak-anak dan sebagainya. Jangan menganggap Saraswati hanya hari raya bagi murid-murid saja,”  imbuhnya. (sup/ser)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved