KISAH Angkot Indonesia Ngaspal di Jerman, Stikernya Khas Sopir Truk Karya Hajar asal Probolinggo
Bertuliskan : "New Fear the Me Anak is Three”, meski yang dimaksud adalah: "nyopir" demi anak istri.
TRIBUN-BALI.COM, KOELN - Kerinduan WNI yang tinggal di Jerman, khususnya di wilayah Kota Koeln, akan situasi di Indonesia sedikit terobati.
Khususnya kerinduan terhadap angkutan kota khas Indonesia.
Warna-warni mencolok, dan tulisan-tulisan yang tertera dalam stiker yang menempel di bodi mobil, khas Indonesia.
Sebuah angkutan kota (angkot) yang didominasi warna-warni yang mencolok khas Indonesia, kini melaju di jalanan Kota Koeln, Jerman.
Ada berbagai tulisan-tulisan nyentrik yang ditempel di badan angkot.
Satu di antaranya bertuliskan : "New Fear the Me Anak is Three”, meski yang dimaksud adalah: "nyopir" demi anak istri.
"Juragan" angkot di Jerman ini adalah Hajar Asyura, yang sedang menyelesaikan tugas akhirnya di sekolah tinggi seni, Kuenshochschule fuer Medien, Koeln.
Angkot hasil modifikasinya ini adalah bagian dari tugas akhir pendidikan pemuda asal Probolinggo, Jawa Timur itu.
Dalam memodifikasi angkotnya, ia mendapat inspirasi ketika dulu kuliah di Bandung.
"Dan di Bandung angkutan kotanya itu sangat berwarna-warni, hal itu membuat saya sangat terkesan, karena dulu saya juga sering naik angkutan kota, ketika masih kuliah di Bandung. Akhirnya saya membuat angkutan kota, dengan format dan warna-warni yang sama,” ujarnya.
Dimensi Sosial dan Ekonomi
Ide awal untuk membuat proyek ini sebagai tugas akhirnya berawal dari pengalaman yang Hajar rasakan sendiri saat menjejakkan kaki di Jerman tahun 2017. Ia mengaku terkesan dengan sistem transportasi di Jerman, yang menurutnya sangat efektif:
”Dengan adanya bus, trem dan kereta membuat saya bercermin kembali dengan sistem transportasi yang ada di Indonesia, yang sangat didominasi oleh angkutan kota untuk pergi ke mana-mana."
"Angkutan kota adalah solusi untuk mobilitas masyarakat, dan di sisi lain angkutan kota memiliki banyak masalah tersendiri, baik dari sisi transportasinya dan masalah sosialnya,” papar Hajar.
Dimensi sosial yang ia maksud di antaranya adalah bagaimana lewat angkot interaksi sosial terbangun. Di angkot, manusia saling saling berinteraksi atau bisa mengenal satu sama lain.
Dimensi lainnya adalah bagaimana angkot menjadi cerminan sosial dan ekonomi masyarakat. Ongkos yang murah, sopir yang dikejar setoran sehingga menjejalkan sebanyak mungkin penumpang, menjadi bagian dari dimensi tersebut.
"Ada latar belakang bahwa para sopir tersebut melakukan penjejalan penumpang sebagai cerminan ekonomi yang lemah, sering kali bahkan sopir tidak memiliki SIM, dan akhirnya angkutan kota ini menjadi solusi bertahan hidup,” tandasnya.
Sebagaimana angkot di perkotaan Indonesia, stiker-stiker bertuliskan kalimat-kalimat jenaka ala angkot atau truk ditempelkan Hajar di badan mobil.
"Itu bagian dari estetika, bagaimana kata-kata ala sopir angkutan truk dan sopir angkutan kota yang sangat norak ditempatkan di tubuh angkot. Meski ianggap norak tapi tetap saja membuat kita tertawa terpingkal-pingkal,” ujar Hajar sambil tersenyum.
Menurut Hajar, tulisan di badan angkot itu menjadi cerminan ketangguhan orang-orang kelas menengah bawah di Indonesia dalam menghadapi persoalan hidup.
"Itu sangat menghibur, namun di balik hal tersebut kita bisa melihat bahwa ini adalah karakter orang Indonesia yang menyikapi kesusahan dalam hidup dengan komedi.”
Beberapa kalimat yang dipinjamnya dari sopir truk atau angkot di antaranya: "Pulang malu, ga pulang rindu" atau "Cinta tak mengenal warna kulit, tapi cinta mengenal warna duit”. Ada lagi: "WARNING: Sabar yeee, orang keren mesti di depan":
Keamanan Berkendara
Hajar mengkonstruksi ulang interior mobil VW yang dibelinya dengan mengganti kursi-kursi penumpang dan eksteriornya dengan cat warna-warni dan stiker.
Sejatinya, Hajar ingin angkot hasil modifikasinya juga bisa menjadi sarana transportasi di Jerman. Namun dalam prosesnya, terkendala regulasi.
Setelah selesai "Kursinya saya ganti, saya membuat kursi sendiri yang baru dan berbentuk seperti kursi angkutan kota yang saling berhadapan."
"Sayangnya, hal ini tidak boleh dilakukan, karena tidak sesuai dengan regulasi keamanan berkendara di Jerman. Kalau di Jerman, orang harus memakai sabuk pengaman. Sementara kalau berhadapan, tidak bisa menggunakan sabuk pengaman, akhirnya hal itu bermasalah,” paparnya sedih.
Kesedihannya terhapus oleh antusiame para pengunjung pameran dan warga Indonesia di Jerman yang penasaran ‘mencicipi' angkot.
Salah satu yang jadi penggemar angkot dadakan adalah Diana, yang sudah puluhan tahun menetap di Kota Koeln, Jerman.
Menurutnya keberadaan angkot di Jerman ini mengingatkan masa kecilnya ketika dulu pernah di Indonesia.
"Bagus sekali, angkot ini bisa memungkinkan orang bepergian dari lokasi A ke B, dan ada iklan-iklan juga di dalamnya, satu per satu ditempel. Ada perasaan bahagia ketika diperbolehkan berkendara meski sebentar saja dengan angkot ini," ungkap Diana yang sibuk berfoto-foto dan naik turun angkot ini.
Di beberapa kota, angkot sudah sulit ditemui, berganti dengan sistem transportasi lainnya, mulai dari sistem kereta bawah tanah hingga ojek online. Relevansi dari eksistensi angkot itu pun menjadi perhatian Hajar.
"Saya ingin mengajak masyarakat untuk berdiskusi, apakah angkutan kota ini masih relevan di zaman kita yang sudah ada berbagai macam ojek daring, dan pemerintah sendiri, terutama di kota besar seperti Jakarta, yang mendorong pembangunan sistem transportasi yang lebih modern dan lebih efektif."
"Namun itu hanya terjadi di kota besar, sementara di kota-kota lain di Indonesia masih sangat dibutuhkan. Masih ada pertanyaan jika angkutan kota ditiadakan, apa yang akan terjadi pada sopirnya, apakah mereka dididik untuk mempelajari sistem transportasi baru atau bantuan lainnya dalam menyelaraskan modernitas?" pungkas Hajar saat menutup pembicaraan.
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul https://www.kompas.com/global/read/2021/09/05/135007170/kisah-angkot-indonesia-mengaspal-di-jerman-lengkap-dengan-stiker-khas?page=all#page2