Berita Bali
Undang Leak, Begini Cara Dewa Mangku Dalang Samerana Saat Mendalangi Calon Arang
Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana menjadi dalang wayang calon arang memang unik dan berliku
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana menjadi dalang wayang calon arang memang unik dan berliku.
Berbagai pengalamannya menjadi semangat untuk kian menapaki spiritualitas menjadi dalang wayang.
Apalagi memang menjadi dalang adalah warisan turun-temurun di keluarganya dan telah ada sejak 15 keturunan.
Pernah suatu saat ia menjadi dalang di wilayah Klungkung dengan situasi dan kondisi yang sangat tidak mendukung.
Baca juga: Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Ngewayang Calon Arang, Jelaskan Ritual Pemanggilan Leak
Membuatnya hampir celaka karena posisi ngewayang yang salah dan tidak sesuai dharma pewayangan.
“Jadi harusnya menghadap ke timur atau utara, namun ini malah menghadap ke barat ke perempatan,” sebutnya kepada Tribun Bali dalam program Bali Sekala-Niskala.
Bahkan lokasi saat itu juga membelakangi pura, namun apa daya karena sudah dipasang dan tidak bisa diubah.
Maka Dewa Mangku Dalang Samerana tetap menjalankan kewajibannya sebagai dalang wayang calon arang.
Peluh dingin mengucur di sekujur tubuhnya, namun ia hanya memohon kepada Tuhan melalui manifestasi beliau (bhatara-bhatari) agar dilindungi dari segala marabahaya.
Mendalangi wayang calon arang, khususnya di Bali, memang bukan perkara mudah.
Seseorang yang menekuni ini harus paham sastra, tattwa, filsafat, dan memiliki hati serta pemikiran yang jernih.
Tidak boleh sombong, menantang berlebihan, atau jumawa dengan kemampuan diri sendiri. Sebab semua ada aturannya dan aturan itu tidak boleh dilanggar.
“Memang demikianlah risiko seorang dalang wayang calon arang,” sebutnya.
Walau mengaku tak melihat secara langsung bentuk leak, namun ia kerap merasakan kehadirannya.
Baca juga: Terkendala Suara, Begini Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Menjadi Dalang
Leak dalam kamus Bali-Indonesia berarti jadi-jadian dengan menggunakan ilmu hitam. Namun ada pengertian lain dari leak atau liak, yang berarti linggih aksara.
Yang maknanya lebih luas dan kompleks, dibandingkan arti leak sebagai penekun ilmu hitam saja.
Dalam mengundang leak pun, kata dia, sejatinya harus ada beberapa bebantenan wajib seperti banten pengaradan desti.
“Sebenarnya jangan dipikir leak itu hanya jelek saja, semua sudah sesuai sastra. Ada namanya Dasaksara atau dasa aksara (10 aksara).
Dasaksara diturunkan menjadi Pancaksara (5 aksara), lalu menjadi Dwiaksara, Rwabinedha, dan aksara tunggal Ongkara,” jelasnya.
Kemudian dasar mempelajari ilmu leak ini adalah Dasaksara itu. Pada dasarnya mempelajari ilmu leak adalah bertujuan mencapai surga bahkan moksa.
Namun memang kerap ada yang menyalahgunakannya untuk berbuat tidak baik. Sehingga di Bali dikenal istilah pangiwa dan panengen.
“Kanan-kiri tentu sama-sama memiliki fungsi untuk keseimbangan dunia ini,” tegasnya.
Sesuai ajaran Tri Kona, yakni ada kelahiran, kehidupan, dan kematian.
“Kalau tidak ada leak, atau ibarat saja peleburan. Maka semua akan terus hidup, tentu itu tidak seimbang,” ucapnya.
Baca juga: Memedi Hingga Leak, Ini Beberapa Mahluk Menakutkan di Bali yang Masih Banyak Dipercaya
Kehidupan dan kematian sama-sama penting, demi keseimbangan bhuana agung dan bhuana alit di bumi ini.
Maka dari itulah, ilmu leak atau liak ini seharusnya dilestarikan, khususnya yang bertujuan baik.
“Sama halnya, ilmu leak ini memberikan balian pekerjaan menyembuhkan,” katanya.
Lanjutnya, walau ia belum pernah melihat dan hanya merasakan kehadiran leak saja. Biasanya ada beberapa pertanda yang bisa dirasakan.
Yakni adanya angin tiba-tiba di suatu tempat. Terkadang pula ada bau anyir, busuk, dan bau harum atau bau yang berbeda dan khas.
“Sebab kalau melihat langsung rasanya agak sulit. Kadang mendengar suara ada kaki, batu, dan suara yang besar berjalan atau lompat,” sebutnya.
Mengundang leak dalam pementasan wayang calon arang adalah suatu kewajiban, khususnya bagi dalang wayang calon arang.
“Mengundang leak itu bagian dari pementasan, kalau tidak mengundang ya dalangnya juga dibilang penakut,” jelasnya.
Prosesi mengundang leak menjadi salah satu prosesi paling menegangkan, namun paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Khususnya masyarakat yang hadir di pura tempat diselenggarakannya wayang calon arang itu.
Sebelum mengundang leak, tentu saja ada prosesi yang dilakukan oleh Dewa Mangku Dalang Samerana.
Pertama-tama ia menghaturkan sembah bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beserta segala manifestasi beliau yang ada di pura kahyangan tiga, prajapati, dan sebagainya.
Setelah itu, ia mengundang leak dengan sedikit ajakan yang menantang.
“Sira sane dados leak, mangda ngerebut dalange niki,” ucapnya ketika memanggil.
Sisanya adalah ajakan bahwa dengan memangsa dalang, maka kekuatan dan kesaktian leak itu akan terus meningkat.
Apalagi selama ini memang diketahui banyak ada tingkatan leak. Ada yang bisa berubah menjadi monyet, bahkan garuda emas dan sebagainya. Tergantung tingkat kesaktiannya.
“Pernah tanpa sengaja, ketika hujan gerimis dan malam purnama, saya sedang di perjalanan.
Lalu saya melihat ada seperti sosok bayangan kain putih yang terbang. Sekelebatan kain itu namanya ilmu leak kereb akasa, berupa kain sutra terbang,” sebutnya.
Baca juga: Leak di Bali Ternyata Juga Punya Aturan dan Etika, Berikut Penjelasannya
Namun jangan salah, karena ia menyebutkan untuk mempelajari ilmu leak tidaklah mudah.
Perlu kesungguhan diri dan anugerah dari bhatara-bhatari prajapati untuk seseorang bisa ngeleak.
Leak dibagi menjadi beberapa sumber, ada yang dari keturunan, ada dari belajar, ada pula yang membeli ilmunya, ada yang mendapat anugerah.
“Semisal lahir Wrahaspati Kliwon atau lahir Kajeng Kliwon, atau rambutnya gempel.
Ketika nangkil ke prajapati akan mudah mendapatkan anugerah karena itu memang dari kelahirannya mendukung,” ucapnya.
Jalurnya lebih cepat ketimbang kelahiran biasa. Ditanya mengenai kejadian sebelum ngewayang calon arang.
Ia mengaku bahwa anaknya kerap menangis tanpa sebab beberapa hari sebelum pentas.
“Terkadang kelir pas ngewayang itu terkena angin linus yang besar, dan bergoyang tiba-tiba,” ucapnya.
Pernah pula ngewayang di di kuburan dan damar wayang jatuh, namun tidak sampai pecah.
Dasar dari semuanya adalah Tri Kaya Parisudha yakni berbuat, berkata, dan berpikir yang baik.
Bahkan untuk mengundang leak pun ada batasnya, kalau mengundangnya kelewatan juga berat jadinya.
Pasalnya, dalang menjaga sendirian suatu wilayah itu, termasuk masyarakatnya, khususnya warga yang berada di pura menonton dan sekitarnya.
(*)