Berita Bali
Hukum Karma Hingga Anak Cucu, Ini Penjelasannya Dalam Hindu Bali
Hukum Karma Hingga Anak Cucu, Ini Penjelasannya Dalam Hindu Bali, Simak Artikel Selengkapnya
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Hukum Karma Hingga Anak Cucu, Ini Penjelasannya Dalam Hindu Bali.
Umat Hindu sejak lama mengenal hukum karma atau yang disebut karmaphala.
Karma adalah bahasa Sansekerta, yang berasal dari urat kata 'kr' berarti membuat atau perbuatan.
Ini sesuai dengan hukum sebab-akibat, atau causality. Maka perlu disadari oleh semua orang, segala sebab akan membawa akibat.
Baca juga: PHDI Bali Minta Masyarakat Tak Menghujat Sulinggih Meski Terbukti Bersalah, Sudiana: Karma Berjalan
Segala sebab yang membawa akibat ini adalah berupa perbuatan yang membawa akibat hasil perbuatan.
Segala karma (perbuatan) akan mengakibatkan karmaphala. Hukum rantai sebab dan akibat dari perbuatan inilah yang disebut hukum karma.
Dijelaskan dalam Slokantara 68, sebuah kutipan 'Karmaphala ngaran Ika, phalaning gawe hala haju'.
Terjemahannya, karmaphala artinya akibat (pahala), dari buruk (suatu) perbuatan (karma).
Sehingga sejak lama dipercaya, bahwa reinkarnasi manusia adalah untuk membayar karma.
Bahkan masyarakat percaya, jika perbuatannya buruk maka reinkarnasinya juga tidak terlalu baik.
Beruntunglah yang reinkarnasi sebagai manusia, makhluk yang paling sempurna. Bisa membedakan baik dan buruk.
Sehingga mampu memperbaiki karma. Berbeda dengan hewan dan tumbuhan yang memiliki keterbatasan.
Pengaruh karma ini pula yang menentukan corak serta nilai dari watak manusia.
Sehingga watak manusia beraneka ragam adanya. Tentunya karma baik menciptakan watak yang baik, dan karma buruk menciptakan watak yang buruk.
Baca juga: Makna Nitya Karma dan Naimitika Karma, Waktu Sembahyang bagi Umat Hindu di Bali
Segala macam karma yang dilakukan makhluk, terutama manusia akan tercatat selalu dalam alam pikirannya (Citta).
Yang kemudian akan menjadi watak, dan berpengaruh pula terhadap atma (rohnya).
Uniknya, hukum karma ini memengaruhi seseorang tidak saja untuk sesuatu yang akan diterimanya sendiri. Tetapi pula akan diwarisi anak cucunya kelak serta keturunannya.
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Agastya Parwa 382, 4. Kutipannya, 'Sarwesam anyatha rupam jnanam; anyatprawarttate matur jnana nubhawena; praja wai wa cubhacubha.
Terjemahannya, semua makhluk berbeda-beda rupa dan wataknya, karena watak dan keadaan hidup ibunya (leluhurnya); maka makhluk itu menemui bahagia dan penderitaan baik dan buruk.
Disebutkan pula dalam kitab Cantiparwa 129, 21. Dengan kutipan, 'Papam karma krtam kimcid; vadi tasmin na drasyate nrpate tasya putresu: putreswapi ca naptran'.
Artinya, walaupun pahala kejahatan perbuatan seseorang tiada terlihat pada orang itu sendiri; meskipun raja, namun pasti terlihat pada anak cucu sampai buyutnya juga.
Oleh sebab itu, dalam ajaran agama Hindu ditekankan dengan benar agar manusia berlaku tidak menyimpang dari petunjuk Dharma.
Sehingga menghindari perbuatan dosa atau jahat, agar tidak terkena karma buruk baik untuk diri sendiri maupun anak cucunya kelak.
Sebab dalam Wrhaspati Tattwa 3, 35 disebutkan bahwa karma wesana itulah yang menyebabkan adanya roh penjelmaan berbeda-beda. Ada penjelmaan dewa atau roh suci.
Baca juga: Karma yang Baik Dalam Menjalani Kehidupan Bertujuan untuk Mencapai Moksa, Ini Penjelasan Sulinggih
Ada penjelmaan widyadara atau roh yang bijaksana. Ada pula penjelmaan raksasa atau roh angkara murka. Ada penjelmaan daitya, atau roh yang keras hati.
Bahkan ada pula penjelmaan naga (roh yang memiliki watak berbelit-belit seperti ular). Dan banyak lagi macamnya. Sehingga masing-masing makhluk berbeda-beda sifatnya.
Dalam kisah-kisah dongeng Bali, disebutkan bahwa Bhatara Yamadipati atau Tuhan sebagai jaksa agung akhirat. Beliau memiliki juru tulis Daitya, bernama Sang Suratma.
Bertugas mencatat baik dan buruk karma dari semua makhluk hidup di dunia ini. Sehingga hukum karma itu tidak akan bisa dihindarkan oleh setiap makhluk.
Sehingga seharusnya manusia selalu berusaha menanam karma baik (subha karma) dan menghindari karma buruk (asubha karma) untuk mencapai hidup yang bahagia atau Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma.
(*)