Budaya Bali
Sastra Saraswati Sewana 2022 Bahas Tradisi Pemuliaan Danau sebagai Hulu Peradaban Air Bali
Sastra Saraswati Sewana 2022 Bahas Tradisi Pemuliaan Danau sebagai Hulu Peradaban Air Bali
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Empat danau yang ada di Pulau Bali, merupakan ekosistem yang penting bagi kawasan di hilirnya. Eksistensi itu pun dicatat dalam banyak pustaka tradisional dan dipraktikkan dalam berbagai tradisi budaya masyarakat.
Salah satunya bentuk pemuliaan terhadap danau sebagai hulu peradaban Bali, dapat ditemukan di Desa Adat Batur. Praktik dan narasi pemuliaan itulah yang ditelusuri melalui penelitian yang dilakukan Lingkar Studi Batur bekerjasama dengan Yayasan Puri Kauhan Ubud. Penelitian itu merupakan bagian dari kegiatan Sastra Saraswati Sewana 2022 'Toya Uriping Bhuwana Usadhaning Sangaskara'.
Koordinator kajian, Jero Penyarikan Duuran Batur (IK Eriadi Ariana), dalam paparannya memaparkan bahwa masyarakat Batur memiliki sejumlah tradisi pemuliaan, misalnya danu kerti (pakelem), mendak toya, hingga siklus pujawali yang sangat erat dengan pemuliaan danau. Secara tradisi, masyarakat Batur pun meyakini ada 11 tirta (air suci) utama di kawasan kaldera Batur milik Ida Bhatari Dewi Danuh.
"Kesebelas tirta itu meliputi tirta Telaga Waja, Bantang Anyud, Danu Gadang, Danu Kuning, Pelisan, Mangening, Pura Jati, Rejeng Anyar, Toya Bungkah, Toya Mas Mampeh, dan Tirtha Perapen. Selain itu, Pura Alas Arum Batur juga memiliki empat tirtha yang dimuliakan, yakni Tirtha Mas Munduk, Tirtha Taman, Tirtha Asah Luhur, dan Tirtha Manik Muncar, demikian juga Pura Tuluk Biyu Batur memiliki Tirtha Sapuh Jagat dan Tirtha Air Hawang atau Tirtha Banyu Geger," sebutnya dalam rilis yang diterima Tribun Bali, Minggu 13 Februari 2022.
Ketika Sasih Katiga, masyarakat Batur menggelar ritual mendak toya, di mana seluruh mata air digelar pujawali. Pada waktu yang sama, juga digelar pujawali di Pura Jabakuta yang menghormati entitas bhatara yang berkuasa atas hutan dan pertanian. Adapun kurban upacaranya adalah kijang. "Tradisi itu mengindikasikan kesadaran manusia bahwa Batur akan pentingnya keberadaan air, termasuk hutan sebagai kawasan resapan. Sarana kurban kijang dapat dimaknai sebagai indikator kelestarian lingkungan. Jika masih ditemukan kijang, artinya habitat hutan masih terjaga," jelasnya.
Tradisi ini juga didukung keberadaan Alas Kekeran dan konsep Pasihan Bhatari Sakto Batur. Alas kekeran mengacu pada hutan konservasi ala masyarakat adat, sedangkan pasihan adalah konsep solidaritas komunitas hulu-hilir, antara komunitas yang menjaga kawasan hulu dengan masyarakat yang memanfaatkan air di kawasan hilir.
"Namun, tantangannya hari ini adalah bagaimana tradisi pemuliaan air ini bisa menjadi laku yang nyata, mengingat Danau Batur sendiri memiliki dua masalah serius, yakni pendangkalan dan pencemaran. Konsep Alas Kekeran dan solidaritas ini bisa direvitalisasi dengan melibatkan berbagai elemen lebih luas," katanya.
Hulu Peradaban
Pembina Yayasan Puri Kauhan Ubud, Anak Agung Bagus Ari Bramanta, dalam sambutannya mengatakan bahwa masyarakat Bali jelas diakui dan diyakini sebagai hulu peradaban Bali. "Bali beruntung memiliki empat sumber air berupa danau yakni Danau Batur, Danau Buyan, Danau Tamblingan, dan Danau Beratan," katanya.
Khusus Danau Batur, aliran air yang berhulu di danau ini adalah pusat-pusat peradaban sejak masa silam, misalnya kawasan DAS Tukad Pakerisan. Di sepanjang kawasan ini dapat ditemukan situs peninggalan dari Tirta Empul, Mengening, hingga Gunung Kawi.
"Pada masa Raja Marakata dibuat Ambarawati Ashram yang berlokasi di Gunung Kawi. Dalam ashram ini banyak mempelajari tentang pertanian dan lingkungan, dan peninggalan dari ashram tersebut adalah Subak Pulagan yang sudah mendapatkan penghargaan heritage," imbuhnya.
Banyak peninggalan yang memperlihatkan perhatian pendahulu atau leluhur, pada mata air (memuliakan air). "Bahkan masih bisa kita nikmati hari ini, di seputaran Tirta Empul banyak ditemui sumber mata air yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Marakata," tuturnya.
Hingga kini, lanjutnya, masih dilestarikan ritual-ritual untuk memuliakan air.
Hanya saja, tantangannya juga semakin jelas dihadapi, misalnya investasi yang menyebabkan terlupakan pentingnya memuliakan air.
"Bahkan beberapa investasi tidak menghiraukan sumber mata air, padahal hingga kini, air dipercaya sebagai sumber kehidupan hingga sumber pengobatan. Jika dulu air bisa langsung kita konsumsi dari sumbernya, hari ini air harus diolah dulu baru bisa dikonsumsi," katanya.
Hasil kajian Lingkar Studi Batur mendapat respons mendalam dari tiga panelis yang dihadirkan, yakni Dr. I Ngurah Suryawan. Dr. Cokorda Gde Bayu Putra. Serta Putu Eka Guna Yasa, S.S., M.Hum. "Kajian yang disajikan oleh Lingkar Studi Batur belum menyentuh persoalan kontemporer dan terjebak dalam romantisme sastra yang tidak mengakar (tidak berdasar pada sosial, politik, ekonomi berbasis wilayah). Hari ini alam telah mengalami perubahan yang begitu signifikan. Sumber daya alam kini diprivatisasi, bisa dijual, dan bisa menjadi hak milik perseorangan atau kelompok," kata Ngurah Suryawan.
