Lebaran 2022

Libur Lebaran 2022, Desa Wisata Panglipuran Ramai Dikunjungi Turis Lokal

Libur Lebaran menjadi ajang untuk jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata, salah satunya adalah Desa Wisata Panglipuran. 

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Pura Penataran Panglipuran Bangli. 

TRIBUN-BALI.COM - Libur Lebaran menjadi ajang untuk jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata, salah satunya adalah Desa Wisata Panglipuran. 

Udara sejuk disertai pemandangan asri, adalah satu diantara ciri identitas Desa Adat Panglipuran di Bangli.

Hal inilah yang membuat desa wisata ini, selalu menjadi lokasi pilihan berlibur. 

Terlihat dari keramaian kunjungan saat libur Lebaran, 2 Mei 2022 di Desa Wisata Panglipuran. 

Desa wisata ini, tidak hanya mempertahankan warisan adat budaya leluhur.

Tetapi pula mempertahankan lingkungan yang asri dan indah, serta tetap menjaga tanah dan alam di sekitarnya.

Bahkan pula menjaga hak-hak setiap warga desa, termasuk menjaga hak wanita.

“Memang Panglipuran ini, adalah desa adat yang masih menjalankan tatanan desa adat tua di Bali,” sebut Wayan Budiarta, Kelihan Adat Desa Panglipuran dalam program Bali Sekala-Niskala Tribun Bali.

Tatanan itu disebut tatanan ulu apat, yang menggunakan sistem perwakilan desa adat pangarep.

Untuk itu, jelas dia, dari 240an KK yang ada di Desa Adat Panglipuran hanya 78 orang yang menjadi dewan desa.

Kelihan yang bertugas sejak Januari 2021 ini, menyebutkan dewan desa adalah desa adat pangarep.

Serta merupakan forum tertinggi, di dalam pengambilan berbagai keputusan dan kebijakan di desa adat.

Hal tersebut adalah bagian dari sistem tradisi desa adat tua, yang merupakan warisan leluhur di Panglipuran dan masih dijalankan sampai sekarang.

Selain itu, pria paro baya ini menjelaskan ciri tatanan desa adat tua lainnya, adalah dari bangunan tradisional yang masih dijaga hingga kini.

“Melalui keputusan desa adat, kami semua berkomitmen melakukan konservasi terhadap bangunan tua yang ada di desa adat,” ucapnya.

Bangunan tradisional tua ini, ciri khas atapnya dibuat dari bambu. Diantaranya ada bangunan angkul-angkul di depan rumah, dapur tradisional di masing-masing pekarangan.

Hingga bangunan khas bernama bale saka enem,  sebagai tempat tatkala masyarakat desa adat melakukan berbagai ritual keagamaan.

“Tiga bangunan inilah yang kami sebut bangunan tradisional, dan menjadi icon kami. Sehingga tetap kami lestarikan sampai saat ini,” imbuhnya.

Yang paling khas dari Panglipuran adalah atapnya dengan bambu. Hal ini berbeda dari atap bangunan pada umumnya, yang menggunakan genteng atau ilalang.

“Rata-rata rangka dari dapur tradisional di Panglipuran sudah lama usianya, dan kami tinggal merehab atau renovasi saja, biasanya diganti atapnya saja,” ujarnya. 

Peran desa adat dalam membantu warga adat, adalah dengan pembiayaan bagi warga yang mau renovasi bangunan tradisional ini.

Subsidi diberikan kepada ketiga bangunan kuno tersebut, dengan nominal sekitar Rp 5 juta per bangunan.

“Jadi kalau mau rehab tiga bangunan tradisional, ya desa adat akan mensubsidi Rp 5 juta dikali tiga dengan total Rp 15 juta,” sebut Budiarta.

Tujuan subsidi ini juga untuk melestarikan bangunan icon di Desa Panglipuran.

“Apalagi bangunan tradisional ini, memang tidak mudah merawatnya. Bangunan dapur dengan suhu hangat di dalamnya, maka biasanya bertahan 15 tahun baru direnovasi,” katanya.

Sementara untuk dua bangunan kuno lainnya, hanya bisa bertahan kisaran 10 tahun sebelum direnovasi kembali.

Renovasi penting dilakukan, sebab bangunan kuno ini menjadi daya tarik wisatawan di Panglipuran. 

Uniknya lagi bambu yang digunakan untuk atap bangunan kuno ini, diambil langsung dari hutan bambu yang ada di Panglipuran.

“Kami memang menjaga tanah, hutan bambu, dan kawasan lainnya di Panglipuran,” tegasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved