Berita Klungkung
Tradisi Megibung Desa Adat Banjarangkan Klungkung, Harus Pakai Hidangan Daging Ayam Aduan
Warga di Banjar Nesa, Desa Adat Banjarangkan, Klungkung, Bali, menggelar tradisi megibung dan meprani, Minggu 19 Juni 2022
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, SEMARAPURA - Warga di Banjar Nesa, Desa Adat Banjarangkan, Klungkung, Bali, menggelar tradisi megibung dan meprani, Minggu 19 Juni 2022.
Diusulkan Pemkab Klungkung sebagai WBTB (Warisan Budaya Tak Benda). Apa keunikannya?
Tradisi megibung dan meprani ini digelar serangkaian pujawali di Pura Desa Bale Agung Pura Kangin Banjarangkan.
Tradisi ini dilakukan pada setiap Wrespati Manis Dunggulan.
Baca juga: Ini Makna Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Jika Tak Diadakan Timbulkan Wabah Penyakit
Sejak pagi hari, warga di Banjar Nesa, Desa Adat Banjarangkan, Klungkung berkumpul di Pura Desa Bale Agung Pura Kangin Banjarangkan.
Mulai dari anak-anak hingga para sesepuh tampak sangat bersemangat menyiapkan adonan makanan yang akan digunakan dalam tradisi megibung dan meprani ini.
"Tradisi megibung dan meprani ini sudah diwariskan secara turun menurun di Banjar Nesa. Digelar setiap 6 bulan sekali, tepat sehari setelah hari raya Kuningan," ujar Prajuru Kelihan Adat Banjar Nesa, Anak Agung Gede Ngurah Astawa Putra, bersama dengan Bendesa Adat Banjarangkan, Anak Agung Gde Dharma Putra, Minggu 19 Juni 2022.
Menurut Astawa Putra, megibung dan meprani ini merupakan wujud rasa syukur warga di Banjar Nesa sebagai pengempon Pura Desa Bale Agung Pura Kangin Banjarangkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemenangan dharma melawan adharma.
Sepintas tradisi di Banjar Adat Nesa ini sama dengan megibung yang banyak ditemui di masyarakat wilayah Karangasem, yakni warga duduk melingkar untuk bersama-sama menikmati hidangan yang telah dipersiapkan bersama.
Namun, ada yang unik untuk megibung di Banjar Adat Nesa ini, yakni harus memakai hidangan daging cundang atau ayam aduan.
Sedangkan untuk hewan berkaki empat tetap menghidangkan makanan yang berbahan daging babi.
"Dalam tradisi megibung di Banjar Adat Nesa ini, hidangan suku kalih (berkaki dua) wajib menggunakan daging cundang (ayam aduan). Sementara suku pat (berkaki empat) yakni hidangan dari daging babi. Tradisi megibung dilaksanakan pagi hari, dilanjutkan meprani pada sore harinya" ungkap Ngurah Astawa.
Versi lain juga mengatakan, tradisi ini sebagai bentuk syukur warga karena keberhasilan dalam membuka lahan dan mendirikan sebuah Pura Kahyangan Desa serta terbentuknya Wilayah Desa Banjarangkan.
Tokoh masyarakat di Desa Adat Banjarangkan, Cokorda Gde Agung Sudarmajaya mengisahkan, tradisi ini bermula dari rasa syukur warga keturunan Bendesa Gde Gumiar yang berhasil mengalahkan Ki Balian Batur sebagai penguasa wilayah yang disebut Teledu Ngidnyah.
Salah seorang keturunan Bendesa Gde Gumiar bernama I Gde Bendesa Gejin lalu dipersilakan melaksanakan perabasan hutan angker yaitu Alas Tegal Wangi atas seizin Kerajaan Klungkung yang berkuasa pada masa itu.
Baca juga: Keunikan Tradisi Megibung di Desa Adat Banjarangkan, Harus Pakai Hidangan Daging Ayam Aduan
Alas Tegal Wangi yang dikenal angker, dikuasai oleh Mek Gambring yang dikenal sakti. Lalu Mek Gambring berhasil dikalahkan dengan pusaka dari Puri Klungkung.
