Berita Badung
1.048 Hektar Tanah di Badung Surut, Alih Fungsi Lahan Jadi Perhatian Badung
Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Badung kian memprihatikan. Berdasarkan catatan, luasan sawah di Gumi Keris pada 2019 mencapai 9.072 hektar.
Penulis: I Komang Agus Aryanta | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Badung kian memprihatikan. Berdasarkan catatan, luasan sawah di Gumi Keris pada 2019 mencapai 9.072 hektar.
Jumlah ini mengalami penyusutan di 2022 menjadi 8.024 hektar.
Sehingga tercatat dari ada 1.048 Hektar lahan pertanian di Badung selama dua tahun terakhir.
Penyusutan lahan pertanian tersebut pun disinyalir terjadi setiap tahunnya.

Kepala Dinas Pertanian dan Pangan, Wayan Wijana tak menampik telah terjadi alih fungsi lahan.
Bahkan, pihaknya telah mengagendakan untuk melakukan pendataan ulang lahan pertanian.
"Kami ingin melakukan pendataan ulang, sehingga mengetahui kondisi riil di lapangan," jelasnya Minggu 11 September 2022.
Pihaknya juga mengakui, saat menggelar rapat dengan DPRD Kabupaten Badung, pihak Dewan menginginkan pemerintah untuk mengerem alih fungsi lahan tersebut.
Kendati demikian, diakui alih fungsi pertanian terjadi karena salah satu dampak pariwisata.
"Ditengah pariwisata yang berkembang. Kita tidak bisa pungkiri alih fungsi lahan akan terjadi," ucapnya.
Pihaknya juga mengakui terjadi disparitas yang tinggi antara pendapatan dari pariwisata dan pertanian.
Terlebih, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi juga dibutuhkan investasi dalam hal ini sektor pariwisata yang menjadi primadona di Kabupaten Badung.
"Disinilah dilematisnya kita sebagai daerah pariwisata. Saat ini kami sedang melakukan ground check dan verifikasi untuk mengetahuin berapakah lahan pertanian. Ini untuk mengetahui riil berapa lahan pertanian yang tersisa dan berapa yang ditetapakan sebagai lahan pertanian abadi," katanya.
Disisi lain, wakil rakyat di DPRD Kabupaten Badung mengusulkan pemerintah membeli lahan pertanian yang masih tersisa, sehingga dapat mengerem alih fungsi lahan.
Hal itu diungkapkan Made Wijaya, Anggota Pansus Ranperda Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 tentang perlindungan lahan pertanian pagan berkelanjutan.
Menurut pria yang akrab disapa Yonda ini mengatakan sektor pertanian dengan adanya perkembangan pariwisata pasti akan tergerus.
"Akan terus terjadi alih fungsi lahan pertanian. Di Kuta Selatan saja sudah tidak ada jalur hijaunya, jadi Pemda harus membeli lahan pertanian ke depan," ungkapnya.
Menurutnya, adanya disparitas antara sektor pertanian dan pariwisata berdampak negatif bagi sektor pertanian di Badung.
Terlebih, pemerintah tak berdaya melarang masyarakat menjual lahan pertanian dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga beralih fungsi ke sektor pariwisata.
"Dengan konsep pariwisata yang bergelimbang harta, pemerintah harus membeli. Kita berharap di Kuta Utara, seperti Petang dilindungi salah satunya membeli lahan pertanian, sehingga sedikit demi sedikit memberikan pelindungan," katanya.
Diberitakan sebelumnya, Panitia khusus (Pansus) Ranperda Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 tentang perlindungan lahan Pertanian pangan berkelanjutan menggelar rapat kerja (Raker) bersama Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung di ruang rapim DPRD Badung, Kamis 8 September 2022.
Pada Raker tersebut dipimpin langsung Ketua Pansus Wayan Luwir Wiana, didamping Wakil Ketua Pansus, Nyoman Gede Wiradana dan IB Alit Arga Patra.
Turut hadir anggota pansus, yakni Made Wijaya, Nyoman Dirgayusa, Gusti Lanang Umbara, Nyoman Suka, Ni Luh Kadek Suastiari, Luh Gede Rara Hita Sukma Dewi.
Dalam kesempatan itu, Luwir Wiana mengatakan, Ranperda perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2019 merupakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja.
Hanya saja Ranperda terkait pertanian ini harus mendapatkan perhatian khusus.
“Ranperda ini sangat seksi, karena di Badung ini sudah banyak terjadi alih fungsi, jadi bagaimana kita di Badung mempertahankan lahan yang ada. Maka penting Ranperda ini disusun bersama,” ungkapnya. (*)