Wawancara Tokoh
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, 57 Persen Tolak Pasangan Prabowo-Jokowi
Jelang Pemilu 2024, wawancara eksklusif Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dengan Tribunnews
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia (CPI) Yunarto Wijaya menegaskan pengusungan Joko Widodo sebagai calon Wakil Presiden hanya akan menjadi angan.
Alasannya, karena elektabilitas Jokowi yang sudah kalah dari pesaingnya yang masih fresh yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Berikut petikan wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dengan Yunarto Wijaya, yang akrab disapa Toto tersebut, di kantor Tribun Network, Jakarta, Senin 26 September 2022:
Mas Toto bisa elaborasi bahwa ide pasangan Prabowo dan Jokowi agar tidak terjadi polarisasi seperti pilpres 2019?
Yang jelas ini situasi apa yang kita sebut open election 2024.
Open election adalah ketika incumbent tidak bisa maju kembali. Artinya situasi lebih tidak bisa diperkirakan.
Ketika incumbent masih bisa maju kembali dulu 2009 Pak SBY, 2019 Pak Jokowi, biasanya orang akan cenderung berhati-hati untuk memunculkan ide pasangan karena biasanya incumbent akan kuat sekali.
Itu karena dia bekerja "lima tahun kampanye gratisan" kira-kira begitu.
Nah ini sudah mulai terlihat aura open election. Jauh-jauh hari bahkan dari tahun lalu masih tiga tahun menjelang pemilu adanya pasang billboard dll.
Tapi dibanding 2009 jauh lebih complex karena saat ini muncul ide tiga periode, muncul isu perpanjangan periode karena situasi Covid-19, muncul isu yang terbaru kalau Pak Jokowi jadi Wakil Presiden pasangan salah satu calon yang lain.
Kenapa ini terjadi karena memang tidak ada leterlek aturan turunan dari Pasal 7 UUD 1945 yang menjelaskan lebih lanjut apakah boleh atau tidak Presiden dua periode kemudian maju sebagai Wakil Presiden.
Kalau pun dicoba apakah setuju atau tidak, seharusnya Pak Jokowi menolak.
Karena ketika Pak Jokowi mendapatkan tawaran yang menguntungkan ketika berbicara tiga periode dan perpanjangan periode sudah ada kalimat eksplisit yang terekam di jejak digital bahwa Pak Jokowi menolak.
Kedua secara empiris kalau kita tafsirkan misalnya Dasco (Ketua Harian dari Gerindra) cenderung juga menolak karena spanduk-spanduk di daerah Prabowo-Jokowi sebagai bentuk black campaign.
Artinya kan mereka merasa dirugikan bukan diuntungkan.
Bagaimana hasil uji sampel Charta Politika untuk peluang Prabowo-Jokowi?
Secara faktual juga Charta Politika kemarin memperlihatkan, kita uji nih isunya sudah ramai ternyata 57 persen menolak, 31 persen setuju, sisanya belum menentukan pilihan.
Kalau maju pun kedua sosok ini (Prabowo-Jokowi) yang dikatakan bisa mencegah polarisasi artinya tidak diterima.
Apa yang utarakan dari teman-teman Sekretariat Bersama (Sekber) ini jangan-jangan hanya perasaan saja, bukan merepresentasikan pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi yang sesungguhnya.
Ngapain kalau kemudian sudah kontroversial lalu kemudian dikatakan sebagian pihak melanggar etik Pak Jokowi kalah pula kasian gitu kan Pak Jokowi.
Itu memperlihatkan belum ada satupun alasan konstitusional, alasan empiris, alasan dari partai pendukung Pak Prabowo dan Pak Jokowi, sampai bagaimana sikap publik yang mendukung gerakan ini. Itu yang menurut saya perlu jadi catatan kritis.
Mengapa sih hasil survei Anda sebagian besar menolak Pak Jokowi tiga periode atau menjadi Wakil Presiden, apakah karena secara konstitusional mereka melihat tidak bagus?
Pertama saya menjawab dulu kalau Pak Prabowo berhalangan tetap lalu Pak Jokowi bisa menggantikan Pak Prabowo.
Berartikan Pak Jokowi tiga kali jadi Presiden apakah ini tidak melanggar logika yang ada di Pasal 7 UUD 45.
Memang tidak dijelaskan secara leterlek, tapi kondisi yang dijelaskan tadi memperlihatkan bahwa semangat yang ada di Pasal 7 dan Pasal 8 sebenarnya tidak memperbolehkan mengenai seorang Presiden yang maju kembali karena ada sesuatu yang akan bertabrakan.
Kedua, kalau kita mau berkaca undang-undang yang lebih khusus terkait kepala daerah.
Undang-undang No 1 tahun 2015 belum mengatur apabila ada seorang sudah dua kali menjadi kepala daerah apakah boleh maju jadi wakil.
Maka kemudian ada Pak Bambang DH yang sudah dua periode menjadi Walikota Surabaya kemudian menjadi Wakil Wali Kota.
Itu kemudian diatur di UU No 10 Tahun 2016 sebagai revisi UU No 1 tahun 2015 yang menyebut dengan jelas seorang kepala daerah dua periode, dia tidak boleh maju sebagai kepala daerah maupun calon wakil.
Itu yang menjelaskan menurut saya dalam satu rezim ketatanegaraan, ada semangat dan ada logika yang sama harusnya kita gunakan.
Masa kemudian logika itu ada di level eksekutif daerah, tapi kita khususkan untuk logika di level eksekutif negara hanya karena belum ada turunan Pasal 7 UUD 1945.
Saya pikir dari etika dan semangat serta bagaimana kita belajar mengenai undang-undang yang lain termasuk tidak ada ruang. Untuk survei memang belum ada pertanyaan lebih lanjut yah.
Tapi ada temuan linier lain yah yang memperlihatkan bahwa masuk akal masyarakat dan responden akan menolak mengenai ide Prabowo-Jokowi ini.
Yang pertama pertanyaan terbuka pemilu kemarin orang masih memilih Jokowi.
Namun sekarang Jokowi sudah jauh angkanya, sudah kalah dengan Ganjar, sudah kalah dari Pak Prabowo, dan sudah kalah dengan Anies.
Artinya keinginan masyarakat untuk melihat Pak Jokowi di level eksekutif negara menurut saya memang sudah memudar.
Itu seiring dengan sebuah kesadaran, secinta apapun saya dengan Jokowi, tetapi adalah risiko besar ketika kita melangkahi konstitusi atua kode etik dari tata negara yang kita miliki.
Andai kata pendukung Jokowi masih menginginkan, tapi sudah dikatakan tadi bahwa jadi Wakil Presiden itu adalah ban cadangan ketika kita bicara dalam sistem presidensial.
Karena dia hanya bisa menerima pendelegasian tugas yang subjektif berdasarkan keinginan presiden.
Katakanlah bila tidak dibagi apapun tugas juga boleh-boleh saja.
Itu hak institusi Kepresidenan RI. Jadi apa maknanya juga bagi pendukung Jokowi, fakta membuktikan bahwa Pak Prabowo dan Pak Jokowi bertarung dalam dua pertarungan yang polarisasinya sangat kuat.
Perbedaan kepemimpinan, perbedaan ideologi, tidak mudah kemudian menyatakan kedua sosok tersebut.
Adalah sebuah fakta juga ketika Pak Prabowo digabung dengan Pak Jokowi sebagai menteri tetapi polarisasi tetap berlanjut yang terjadi degradasi pendukung Pak Prabowo yang kecewa kemudian berpindah ke Mas Anies.
Ini fakta elektoral ketika kita cross tabulasi data.
Menurut saya logika dari bertemunya Pak Prabowo dengan Pak Jokowi baik dalam konteks presiden dan menteri ataupun calon presiden dan calon wapres, itu nggak bisa menjadi matematika politik untuk menggabungkan pemilih Jokowi dengan Prabowo.
Malah bisa menjadi potensi kekecewaan dari Jokowi dan dari sebagian pemilih Prabowo. Itu yang menurut saya harus diperhitungkan.
Apakah preferensi yang diberikan Pak Jokowi akan mempengaruhi elektabilitas calon misalkan saja Pak Ganjar?
Menurut saya kita nggak bisa melihat ini menjadi variabel yang berdiri tunggal. Jawaban saya nanti akan bergantung.
Dorongan Presiden yang akan pensiun karena alasan pensiun akan menjadi efek yang positif ketika pada akhir masa jabatannya tingkat kepuasan publiknya tinggi tetapi bisa sebaliknya.
Asosiasi dari calon terhadap Pak Jokowi bisa menjadi negatif buat calon tersebut kalau Pak Jokowi mengakhiri masa jabatannya dengan tingkat kepuasan publik rendah. Jadi dia bisa jadi asset, tetapi bisa juga jadi liabilitas.
Pertanyaannya kemudian apakah dalam kondisi sekarang kita bisa memprediksikan Pak Jokowi tingkat kepuasan publik baik atau nggak.
Kita tidak bisa memastikan karena kepuasaan publik tidak hanya dipengaruhi faktor internal, tapi juga faktor geopolitik. (Tribun Network/Reynas Abdila).
Kumpulan Artikel Nasional