serba serbi

Kajeng Kliwon Pamelas Tali, Ini Kisah Watugunung dan Kaitan Dengan Piodalan Saraswati

Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus. Simak kisah sebelum piodalan Saraswati.

Dok. Tribun Bali
Ilustrasi sembahyang - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus.  Bahkan Kajeng Kliwon Pamelas Tali juga memiliki kaitan, dengan piodalan Saraswati.  Seperti apa kisah selengkapnya, yuk simak ulasannya berikut ini.  Wuku Watugunung merupakan wuku terakhir, dalam pawukon yang dikenal masyarakat Hindu di Bali. Dalam kitab Sundarigama, dijelaskan bahwa sesuai kodratinya sebagai teks ajaran suci yang berpangkal pada penghormatan hari-hari tertentu yang dipandang sebagai hari suci. 

Dewi Sinta pun, mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Nawang Ratih.

Sosok yang disebutkan Dewi Sinta ini, tiada lain adalah permaisuri Dewa Wisnu.

Karena Watugunung sangat menyayangi istrinya itu, maka ia akhirnya menyanggupi permintaannya.

Tanpa berpikir panjang, Watugunung pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Nawang Ratih.

Tentu saja hal itu membuat Dewa Wisnu murka, dan tak berkenan. Sebab yang diminta adalah istrinya sendiri.

Akhirnya pertempuran sengit pun terjadi, antara Dewa Wisnu dan Watugunung.

Singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak oleh kekuatan Watugunung yang merupakan anugerah Dewa Brahma.

Bhagawan Wrehaspati membantu Dewa Wisnu, lalu mengutus Bhagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung serta kelemahannya.

Bhagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba, lalu menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta.

Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu.

Dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (Minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama.

Watugunung pun berhasil dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi. Maka pada hari itu disebut Watugunung Runtuh.

Disebut juga Kajeng Kliwon Pemelastali, karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar dan tak pantas antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta.

"Kajeng Kliwon Pamelas Tali ini juga merupakan Kajeng Kliwon terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran," sebutnya.

Lalu keesokan hari setelahnya, adalah Soma Umanis (Senin). Kisahnya, Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung). Maka hari itu disebut Candung Watang.

Lalu pada hari Anggara Paing (Selasa), jasad Watugunung diseret – seret, maka hari itu disebut Paid - paidan.

Pada hari Buda Pon (Rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut Buda Urip.

Keesokan harinya, Wraspati Wage (Kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu.

Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali. Hari itu kemudian disebut dengan Urip Kalantas (hidup terus).

Pada hari Sukra Kliwon (Jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), kemudian melakukan tapa brata yoga semadi, memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan atau ilmu pengetahuan.

Hari itu disebut dengan Pangeredana.

Keesokannya, Saniscara Umanis (Sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia.

Hari itu disebut dengan Saraswati.

"Dewa Wisnu saat itu berkata, bahwa dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan.

Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan.

Demikian kutukan Dewa Wisnu kepada Watugunung," jelas penekun spiritual ini.

Bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dikalahkan oleh Watugunung dihidupkan kembali.

Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, serta nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku.

Sehingga sampai saat ini, dikenal wuku dari Sinta sampai Watugunung.

"Secara filosofis, kisah ini bermakna bahwa kebodohan dan ketamakan serta jumawa dapat menghancurkan akal budi manusia.

Sama halnya dengan Watugunung yang lupa diri, setelah menerima anugerah dari Dewa Brahma. Sehingga menikahinya ibunya sendiri," jelasnya.

Namun tentu saja, dengan dikalahkannya Watugunung maka kebodohan dan ketamakan pun dihancurkan, dibersihkan oleh para dewa.

Kemudian arti kata pamelas tali, adalah melepaskan ikatan duniawi atau kebodohan dari Watugunung dan kembali ke jalan Dharma.

Sehingga setelah bersih, siap menerima ilmu pengetahuan dari Weda yang turun di hari Saraswati.

Yakni tepat pada Saniscara Umanis (Sabtu). Ilmu pengetahuan yang turun ini, diharapkan bersih dan baik serta terus mengalir bagai air ke dunia dan diterima umat manusia.

Untuk itulah ada hari Banyupinaruh setelah Saraswati. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved