serba serbi

Kajeng Kliwon Pamelas Tali, Ini Kisah Watugunung dan Kaitan Dengan Piodalan Saraswati

Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus. Simak kisah sebelum piodalan Saraswati.

Dok. Tribun Bali
Ilustrasi sembahyang - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus.  Bahkan Kajeng Kliwon Pamelas Tali juga memiliki kaitan, dengan piodalan Saraswati.  Seperti apa kisah selengkapnya, yuk simak ulasannya berikut ini.  Wuku Watugunung merupakan wuku terakhir, dalam pawukon yang dikenal masyarakat Hindu di Bali. Dalam kitab Sundarigama, dijelaskan bahwa sesuai kodratinya sebagai teks ajaran suci yang berpangkal pada penghormatan hari-hari tertentu yang dipandang sebagai hari suci. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus. 

Bahkan Kajeng Kliwon Pamelas Tali juga memiliki kaitan, dengan piodalan Saraswati

Seperti apa kisah selengkapnya, yuk simak ulasannya berikut ini. 

Wuku Watugunung merupakan wuku terakhir, dalam pawukon yang dikenal masyarakat Hindu di Bali.

Dalam kitab Sundarigama, dijelaskan bahwa sesuai kodratinya sebagai teks ajaran suci yang berpangkal pada penghormatan hari-hari tertentu yang dipandang sebagai hari suci.

Teks Sundarigama mengungkapkan, hari suci (piodalan) bagi umat Hindu di Bali ditentukan berdasarkan perhitungan bulan, wuku, pancawara, dan saptawara.

Dijelaskan bahwa wuku adalah pekan dan terdiri dari 30 satuan.

Diantaranya, Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Mrakih, Tambir, Madangkungan, Matal, Uye, Manahil, Prangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut, Watugunung.

Baca juga: KAJENG KLIWON Enyitan Buka Awal Bulan September 2022, Simak Rahinan Lainnya

Baca juga: KAJENG KLIWON, Jangan Lupa MALUKAT dan Sembahyang ya Tribunners!

Dewi Saraswati - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus. 

Bahkan Kajeng Kliwon Pamelas Tali juga memiliki kaitan, dengan piodalan Saraswati. 

Seperti apa kisah selengkapnya, yuk simak ulasannya berikut ini. 
Dewi Saraswati - Kajeng Kliwon Pamelas Tali, yang jatuh pada hari ini, Minggu 16 Oktober 2022, memiliki makna khusus.  Bahkan Kajeng Kliwon Pamelas Tali juga memiliki kaitan, dengan piodalan Saraswati.  Seperti apa kisah selengkapnya, yuk simak ulasannya berikut ini.  (Dok. I.B. Soeryawand)

 

Tentunya setiap wuku ini memiliki kisah dan sisi uniknya tersendiri.

Salah satunya adalah wuku Watugunung.

Watugunung adalah akhir dari wuku, yang dikenal masyarakat Hindu di Bali.

Ada kisah menarik yang diceritakan secara turun-temurun, oleh nenek moyang leluhur di Bali.

Kisah itu diceritakan lagi, oleh Jero Rudra Agni, kepada Tribun Bali.

Senin, 21 Maret 2022.

Dikisahkan, Sang Prabu Kulagiri (dari garis keturunan Raja Sagara) yang berasal dari Kerajaan Kundadwipa memiliki istri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landep.

"Mereka berdua ditinggal ke Gunung Mahameru untuk bertapa oleh sang raja," sebut penekun tantra ini.

Saat itu ketika (ditinggal bertapa), Dewi Sinta sedang hamil besar.

Karena raja lama tidak kembali, maka Dewi Sinta dan Dewi Landep menyusul sang prabu ke pertapaan.

Dalam perjalanannya, Dewi Sinta akhirnya melahirkan dan anaknya terlahir di atas sebuah batu.

Bayi itu kemudian diberi nama Watugunung.

Watu yang artinya batu.

Singkat cerita, Watugunung kian lama kian besar.

Kajeng Kliwon Pamelas Tali dan kaitannya dengan Kisah Watugunung serta piodalan Saraswati.
Kajeng Kliwon Pamelas Tali dan kaitannya dengan Kisah Watugunung serta piodalan Saraswati. (istimewa)

 

Namun tabiat anak ini, sangat keras kepala dan suka makan.

Tidak sabaran untuk makan, yang akhirnya terkadang membuat sang ibu kesal.

Sehingga suatu hari membuat ibunya marah saat memasak.

"Saking kesalnya, ibunya pernah memukul kepala Watugunung dengan siut (pengaduk nasi), sampai terluka.

Watugunung yang marah, lalu meninggalkan kerajaan.

Ia bertapa di hutan dan berhasil mendapat anugerah dari Dewa Brahma, berupa kesaktian yang tak terkalahkan oleh siapapun.

Hanya bisa dikalahkan oleh musuh yang memiliki Triwikrama, yakni tiada lain adalah Dewa Wisnu.

Sejak saat itu, Watugunung menjadi seseorang yang penuh angkara murka.

Ia jumawa dengan kesaktiannya.

Watugunung akhirnya menaklukkan raja-raja, mulai dari kerajaan Sang Prabu Ukir, Prabu Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, dan seterusnya sampai Sang Prabu Dukut.

Ia pun menaklukkan kerajaannya sendiri yakni Kundadwipa, lalu tanpa sadar menikahi permaisuri kerajaan tersebut.

Yang tiada lain adalah ibunya sendiri yakni Dewi Sinta dan Dewi Landep.

Sang ibu pun tidak sadar bahwa raja tersebut, adalah anaknya sendiri.

Yang dahulu kabur darinya.

Ilustrasi sembahyang - Kajeng Kliwon Pamelas Tali dan kaitannya dengan Kisah Watugunung serta piodalan Saraswati.
Ilustrasi sembahyang - Kajeng Kliwon Pamelas Tali dan kaitannya dengan Kisah Watugunung serta piodalan Saraswati. (Dok. Tribun Bali)

Suatu hari saat bercengkrama, Dewi Sinta melihat bekas luka di bagian kepala Watugunung.

Ia terkejut bukan main, karena bekas itu mirip dengan luka saat ia memukul Watugunung tatkala masih kecil.

Ia yakin bahwa suaminya itu adalah anaknya sendiri.

Dalam hati yang berkecamuk dan gundah gulana, Dewi Sinta berusaha keras memisahkan diri dengan Watugunung.

Agar tidak terjadi hal buruk yang terlarang, diantara ibu dan anak.

Sejatinya tanpa sadar, Watugunung yang merasa nyaman dengan wanita itu.

Karena tiada lain adalah ibunya sendiri.

Dewi Sinta pun, mencari akal dengan mengatakan bahwa ia ingin seorang pelayan bernama Dewi Nawang Ratih.

Sosok yang disebutkan Dewi Sinta ini, tiada lain adalah permaisuri Dewa Wisnu.

Karena Watugunung sangat menyayangi istrinya itu, maka ia akhirnya menyanggupi permintaannya.

Tanpa berpikir panjang, Watugunung pergi ke Wisnuloka untuk mendapatkan Dewi Nawang Ratih.

Tentu saja hal itu membuat Dewa Wisnu murka, dan tak berkenan. Sebab yang diminta adalah istrinya sendiri.

Akhirnya pertempuran sengit pun terjadi, antara Dewa Wisnu dan Watugunung.

Singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak oleh kekuatan Watugunung yang merupakan anugerah Dewa Brahma.

Bhagawan Wrehaspati membantu Dewa Wisnu, lalu mengutus Bhagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung serta kelemahannya.

Bhagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba, lalu menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta.

Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu.

Dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (Minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama.

Watugunung pun berhasil dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi. Maka pada hari itu disebut Watugunung Runtuh.

Disebut juga Kajeng Kliwon Pemelastali, karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar dan tak pantas antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta.

"Kajeng Kliwon Pamelas Tali ini juga merupakan Kajeng Kliwon terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran," sebutnya.

Lalu keesokan hari setelahnya, adalah Soma Umanis (Senin). Kisahnya, Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung). Maka hari itu disebut Candung Watang.

Lalu pada hari Anggara Paing (Selasa), jasad Watugunung diseret – seret, maka hari itu disebut Paid - paidan.

Pada hari Buda Pon (Rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut Buda Urip.

Keesokan harinya, Wraspati Wage (Kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu.

Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali. Hari itu kemudian disebut dengan Urip Kalantas (hidup terus).

Pada hari Sukra Kliwon (Jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), kemudian melakukan tapa brata yoga semadi, memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan atau ilmu pengetahuan.

Hari itu disebut dengan Pangeredana.

Keesokannya, Saniscara Umanis (Sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia.

Hari itu disebut dengan Saraswati.

"Dewa Wisnu saat itu berkata, bahwa dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan.

Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan.

Demikian kutukan Dewa Wisnu kepada Watugunung," jelas penekun spiritual ini.

Bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dikalahkan oleh Watugunung dihidupkan kembali.

Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, serta nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku.

Sehingga sampai saat ini, dikenal wuku dari Sinta sampai Watugunung.

"Secara filosofis, kisah ini bermakna bahwa kebodohan dan ketamakan serta jumawa dapat menghancurkan akal budi manusia.

Sama halnya dengan Watugunung yang lupa diri, setelah menerima anugerah dari Dewa Brahma. Sehingga menikahinya ibunya sendiri," jelasnya.

Namun tentu saja, dengan dikalahkannya Watugunung maka kebodohan dan ketamakan pun dihancurkan, dibersihkan oleh para dewa.

Kemudian arti kata pamelas tali, adalah melepaskan ikatan duniawi atau kebodohan dari Watugunung dan kembali ke jalan Dharma.

Sehingga setelah bersih, siap menerima ilmu pengetahuan dari Weda yang turun di hari Saraswati.

Yakni tepat pada Saniscara Umanis (Sabtu). Ilmu pengetahuan yang turun ini, diharapkan bersih dan baik serta terus mengalir bagai air ke dunia dan diterima umat manusia.

Untuk itulah ada hari Banyupinaruh setelah Saraswati. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved