Berita Nasional
Kebocoran Sampah Plastik ke Laut Indonesia Berkurang 28,5 Persen, Pemerintah Target Turun 70 Persen
"Dan berdasarkan hasil penghitungan kami di tahun 2021, sudah terkurangi sekitar 28,5 persen sampah laut," jelas Rofi.
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Isu sampah plastik laut bukan hanya masalah Indonesia tetapi sudah menjadi isu global lintas negara sehingga harus ditangani bersama.
Polusi akibat sampah plastik di laut telah dirasakan dampaknya terhadap kesehatan ekosistem dan lingkungan, pariwisata, perikanan, dan kesehatan manusia.
Hal ini disampaikan Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Marves, Rofi Alhanif pada media briefing dan konferensi pers Road G20: “Beating Plastic Pollution from Source to Sea” di Bali, Rabu (2/11/2022).
Baca juga: KKP Gelar Puncak Gernas Bulan Cinta Laut di Bali, Ajak Masyarakat Perangi Sampah di Laut
Rofi menambahkan, ilmuwan memprediksi bahwa tahun 2050 akan lebih banyak sampah plastik di lautan dibanding ikan, apabila kita tidak melakukan langkah konkret untuk menangani sampah laut.
Tiga perempat sampah plastik laut di Indonesia berasal dari sistem pengelolaan sampah yang belum baik di kabupaten/kota hingga pedesaan.
Baca juga: Jalan ke TPA Suwung Becek, Pengangkutan Sampah di Denpasar Tersendat dam Sampah Menumpuk Lagi
"Sumber kebocoran sampah laut lebih dari 80 persen dari darat akibat penanganan (pengumpulan) sampah yang belum optimal terutama di kota/kabupaten kategori sedang dan pedesaan. Tingkat kebocoran secara nasional mencapai 9 persen dari total timbulan sampah plastik setiap tahunnya," ungkap Rofi.
Pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi tersebut dan terbentuklah Perpres 83 Tahun 2018 tentang penanganan sampah laut.
Selain itu, juga telah dibentuk Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKMPSL) dan Tim ini diketuai oleh Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan.
"Sesuai dengan rencana aksi, target nasional mengurangi 70 persen sampah laut di tahun 2025, melalui penerapan lima strategi dengan kolaborasi 16 kementerian/lembaga dan multi stakeholders. Dan berdasarkan hasil penghitungan kami di tahun 2021, sudah terkurangi sekitar 28,5 persen sampah laut," jelas Rofi.
Diakuinya, target 70 persen pengurangan sampah laut pada tiga tahun ke depan bukanlah hal yang mudah.
Maka dari itu segala upaya wajib dilakukan, yang pada intinya adalah memitigasi agar kebocoran sampah ke laut semakin kecil.
Selain itu juga penanganan sampah harus terintegrasi dari hulu ke hilir dengan pendekatan ekonomi sirkular sebagai salah satu mitigasi kebocoran sampah ke laut.
"Jadi salah satu strateginya adalah menangani sampah di darat supaya terkelola dengan baik, agar tidak bocor ke lingkungan. Sementara sampah yang sudah terlanjur sampai ke sungai dan ke laut, tentunya secara berlahan dilakukan penanganan. Kolaborasi multi pihak atau stakeholder terkait menjadi kunci untuk penanganan sampah laut," kata Rofi.
Pengelolaan Sampah dimulai dengan pengurangan di sektor hulu, pemilahan, pengangkutan, dan pengolahan menjadi berbagai produk pendukung industri dan sumber energi baru.
"Kita harus fokus untuk melakukan pengelolaan sampah di lokasi-lokasi prioritas melalui pembangunan infrastruktur dan teknologi yang tepat," tegasnya.
Rofi mencontohkan adanya program transformasi Bali menuju pengelolaan sampah terpadu hal tersebut didasari kondisi eksisting TPA Suwung menerima kiriman sampah sekira 1.200 ton per hari.
"Melihat eksisting ini, TPA Suwung sudah penuh dan harus segera ditutup. Dan saat ini telah dibangun 2 TPST di Badung dan 3 TPST di Denpasar yang bisa memproses 100 persen timbulan sampah menjadi berbagai produk seperti RDF, wood pellet, magot, plastik recycle, pupuk organik, dan lain-lainnya," ucap Rofi.
Manager National Plastic Action Partnership (NPAP) Indonesia, Kirana Agustina mengatakan masalah sampah plastik menjadi perhatian serius Indonesia karena dianggap menjadi penyumbang sampah plastik terbesar nomor dua di dunia.
Karena itu, Presiden Jokowi menekankan dan berkomitmen untuk mengurangi jumlah sampah plastik secara signifikan pada tahun 2025 mendatang.
Atas dasar itulah sebuah platform yakni National Plastic Action Partnership (NPAP) diluncurkan pada tahun 2019.
“NPAP ini sebagai sebuah platform, bukan yayasan yang beranggotakan tiga orang menteri kabinet, sembilan kementerian, empat pemerintah daerah, 8 CEO, 12 perusahaan nasional, 12 perusahaan multinasional,” kata Kirana.
Lebih lanjut ia menjelaskan hingga akhir 2021, NPAP ini sudah berhasil mengurangi 28,5 persen sampah plastik.
Dan dalam mengatasi sampah plastik ini, mereka bekerja lintas sektor dan lintas institusi yang disebut Pentahelix.
Di sini, semua lini dilibatkan baik kementerian atau lembaga pemerintah, masyarakat, akademisi, pihak swasta, maupun media.
Dalam mencapai target ambisius pada 2025 itu, NPAP melakukan sejumlah pendekatan di antaranya adalah mengubah perilaku.
"Melakukan kampanye untuk mengubah perilaku dari yang kurang care pada sampah plastik ke perhatian yang lebih pada sampah plastik karena ada nilai ekonomisnya," katanya.
Dalam rangka G20, Kirana menyampaikan, NPAP akan menyiapkan sebuah pertemuan yang secara khusus akan membahas tentang bagaimana melakukan tindakan konkret dalam mengatasi sampah plastik yang dibuang ke laut pada tanggal 3 sampai 4 November 2022 di Bali.
Pertemuan yang akan digelar NPAP bersama Kemenko Marves dan World Resource Institute Indonesia yakni Road G20: “Beating Plastic Pollution from Source to Sea”.
"Kita mau memperlihatkan kepada dunia bahwa kita tidak hanya berjanji, tidak membuat rencana, tetapi juga melakukannya. Aksi-aksi kita sudah lakukan. Itu memang perlu kita tingkatkan dengan memperkuat kolaborasi," jelasnya.
Selama dua hari pertemuan akan menghadirkan sejumlah pembicara diantaranya Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Gubernur Bali Wayan Koster, Chairwoman NPAP Indonesia Tuti Putranto, Yenny Wahid, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendriarti dan pembicara terkait lainnya baik nasional maupun internasional.(*)