Bisnis
Dampak Pelemahan Rupiah dan Serangan Rudal Iran Bagi Ekonomi
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diproyeksikan masih berpotensi berlanjut seiring kepanikan pelaku pasar
Penulis: Arini Valentya Chusni | Editor: Fenty Lilian Ariani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diproyeksikan masih berpotensi berlanjut seiring kepanikan pelaku pasar keuangan terhadap serangan rudal Iran ke Israel.
Bank Indonesia sendiri mencatat pelemahan rupiah yang terus terjadi hingga di atas level Rp 16.000 bukan hanya disebabkan efek serangan rudal Iran ke Israel yang memengaruhi sentimen pelaku pasar keuangan, melainkan juga data-data perekonomian AS yang masih terus kuat, menyebabkan perkiraan inflasi masih sulit turun.
Menyikapi kondisi tersebut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, Sabtu (20/4) mengatakan, rupiah yang kini menunjukkan tanda-tanda melemah akan berpotensi melemah lebih lanjut lagi.
“Pelemahan rupiah bisa mencapai Rp17.000 – Rp 17.500 per dolar AS dengan asumsi perang di timur tengah meningkat eksalasi dalam 1 bulan kedepan,” katanya.
Menurut Bhima serangan Iran ke Israel punya 5 dampak yang serius ke ekonomi Indonesia. Pertama, memicu lonjakan harga minyak mentah ke 85,6 dolar AS per barrel atau meningkat 4,4 persen year on year.
“Sebagai negara penghasil minyak ke 7 terbesar di dunia, produksi dan distribusi minyak Iran bisa terpengaruh,” ujarnya.
Diterangkan, harga minyak yang melonjak berimbas ke pelebaran subsidi energi hingga pelemahan kurs rupiah lebih dalam. Kedua, keluarnya aliran investasi asing dari negara berkembang karena meningkatnya risiko geopolitik.
Baca juga: KPU Siap Terima Apapun Putusannya! Sidang Sengketa Pilpres, Prabowo-Gibran Dipastikan Tidak Hadir
“Investor juga mencari aset yang aman baik emas dan dolar AS sehingga rupiah bisa saja melemah hingga 17.000 per dolar AS,” terangnya.
Ketiga, kinerja ekspor Indonesia ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa akan terganggu menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan melambat di kisaran 4,6-4,8 persen tahun ini. Keempat, menimbulkan dorongan inflasi karena naiknya harga energi sehingga tekanan daya beli masyarakat bisa semakin besar.
“Rantai pasok global yang terganggu perang membuat produsen harus cari bahan baku dari tempat lain, tentu biaya produksi yang naik akan diteruskan ke konsumen,” paparnya.
Kelima, suku bunga tinggi akan bertahan lebih lama bahkan ada risiko suku bunga naik. Bagi masyarakat yang mau membeli kendaraan bermotor hingga rumah lewat skema kredit siap siap bunganya akan lebih mahal.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.