Berita Bali
Henny Lapor ke Polda Bali, Pengelola Perumahannya di Mumbul Matok Iuran Tahunan Rp 388 Juta
Hal ini memicu pertanyaan besar terkait transparansi penggunaan dana dan dasar hukum yang mengatur kebijakan kenaikan tersebut.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Salah satu penghuni sebuah perumahan di kawasan Mumbul, Nusa Dua, Henny Suryani Ondang melapor ke Polda Bali mengenai iuran tahunan yang mencapai Rp 388 juta yang dirasa tak wajar.
Dikatakan dia, karena menolak membayar iuran tahunan, ia tak bisa mendapat akses masuk oleh pihak pengelola perumahan ke rumahnya sendiri yang tengah dibangun itu.
Setelah pelaporan ini, Henny berharap adanya penyelidikan atas dugaan tindak pemerasan dan pelanggaran hukum oleh pihak manajemen perumahan tersebut.
Selain itu, Henny juga menjelaskan bahwa manajemen perumahan telah menaikkan iuran asuransi hingga 300 persen sejak tahun 2022 hingga 2024.
Baca juga: Debat Kandidat Pilgub Bali, Polda Bali Terjunkan 326 Anggota dan Anjing Pelacak
Serta adanya iuran fasilitas umum yang mencapai Rp 45 juta.
Hal ini memicu pertanyaan besar terkait transparansi penggunaan dana dan dasar hukum yang mengatur kebijakan kenaikan tersebut.
"Bahkan fasilitas umum seperti tempat sampah, retribusinya senilai sekitar Rp 60 juta setahun, sebelumnya Rp 40 juta. Iuran yang dibebankan kepada saya mencapai angka yang sangat besar,” beber Henny kepada Tribun Bali, pada Jumat 1 November 2024.
"Salah satunya, saya pernah posting juga, sekarang mereka buat iuran yang nilainya berjumlah Rp 1 miliar untuk dibagi ke 20 penghuni perumahan," imbuh Henny.
Salah satu tindakan yang menjadi sorotan utama adalah pemblokiran akses menuju rumah Henny.
Gerbang utama yang menjadi jalur masuk rumahnya diblokade dengan portal oleh pihak manajemen.
Langkah ini dianggap Henny sebagai bentuk perampasan hak atas properti dan kebebasan beraktivitas di rumah sendiri.
Merujuk Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tindakan yang menghalangi seseorang untuk menikmati hak milik atau membatasi kebebasan bergerak di dalam wilayah properti yang sah bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Selain itu, tindakan pemblokiran akses tanpa dasar hukum yang jelas juga berpotensi melanggar ketentuan Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pemerasan.
Pasal 368 KUHP menyatakan bahwa, "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagiannya adalah milik orang lain, atau supaya memberi utang maupun menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun."
Tindakan memblokir akses rumah Henny yang diduga dengan dalih iuran yang belum dibayarkan, menurutnya dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerasan, mengingat tidak ada dasar hukum yang membenarkan pengelola perumahan untuk mengambil tindakan sepihak yang melanggar hak properti warga.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.