TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan Universitas Udayana (Unud), I Made Meregawa hanya bisa pasrah saat mendengar vonis hakim yang menjatuhkan pidana empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsidair dua bulan kurungan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (20/1/2016) siang.
Meregawa menerima putusan hakim dan menganggapnya sebagai bagian dari nasib hidupnya.
Meregawa harus mendekam di balik jeruji besi karena terbukti melakukan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes) RS Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata (RS PKPIP) Universitas Udayana tahun anggaran 2009.
"Menyatakan terdakwa Made Meregawa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kedua. Menjatuhkan pidana oleh karenanya terhadap terdakwa selama 4 tahun dan pidana denda Rp 100 juta, apabila denda tidak dibayar maka diganti pidana kurungan selama 2 bulan," kata Ketua Majelis Hakim, Singung Hermawan.
Meregawa melanggar Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
(Uang Pribadi Rp 5,7 Miliar Milik Terpidana Meregawa Dikembalikan)
Pejabat Unud ini dinilai merugikan negara sebesar Rp 7 miliar.
Sementara untuk nilai proyek Alkes tersebut mencapai Rp 16 miliar.
Adapun pemenang tender proyek adalah PT Mahkota Negara, perusahaan milik mantan Bendahara Partai Demokrat M Nazaruddin.
Putusan terhadap Meregawa itu sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) KPK yang meminta vonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider 3 bulan kurungan.
Namun majelis hakim yang terdiri dari Singung Hermawan, Aswijon, Anas Mustaqim, Sofialdi, dan Ugo tidak mengabulkan tuntutan agar Meregawa membayarkan uang pengganti sebesar Rp 1,01 miliar dan hanya mewajibkan untuk membayar Rp 10 juta.
Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Universitas Udayana (Unud), I Made Meregawa seusai menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (20/1/2016). Meregawa divonis empat tahun penjara dan denda Rp 100 juta. (Tribunnews.com/ Herudin)
"Memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk mengembalikan uang Rp 5,74 miliar seluruhnya kepada kepada terdakwa setelah dikurangi dengan uang pengganti sebesar Rp 10 juta," tambah hakim Sinung.
Saat hakim membacakan vonis, keluarga Meregawa yang duduk di bagian sayap kanan ruangan sidang terlihat tegar.
Bahkan sang istri, Putu Rustini, tidak menangis.
Dirinya fokus mendengarkan setiap ucapan hakim.
Begitu juga dengan anaknya.
Hanya menantu Meregawa yang menangis sesenggukan.
Menanggapi putusan hakim, Meregawa menyatakan siap menerimanya.
"Kepada hakim dan jaksa penuntut umum, ini hanya satu kasus dan ada kasus saya yang lain akan berlanjut, saya mohon ke jaksa saya ikhlas dan pasrah dan saya akan jalani saya mohon tim JPU jangan saya dibanding, terima kasih yang mulia hakim," kata Meregawa dalam sidang.
Usai sidang satu persatu anggota keluarga memeluk pejabat Unud tersebut.
Di sini mereka tak bisa membendung air mata.
Sambil menepuk punggung sang istri, Meregawa meminta keluarga untuk sabar menerima cobaan ini.
Dirinya bersama dengan tim penasihat hukum tak berniat mengajukan banding.
"Ah saya udah cape, banding juga diputus empat tahun, hanya mengulur-ulur waktu. Tetap saya harus jalani empat tahun," katanya kepada Tribun Bali di ruangan sidang.
Meregawa menganggap apa yang terjadi pada hidupnya merupakan kesalahan dirinya pada kehidupan sebelumnya.
Sebagai pemeluk agama Hindu dan sesuai kepercayaan orang Bali, ia menyebut nasib getir yang menimpanya kemungkinan karena dosa leluhurnya yang numitis (reinkarnasi) dalam dirinya.
"Saya ngga tahu, barangkali ini nasib saya. Mungkin sane miang tiang (yang lahir di badan saya) ini berdosa dulu, sehingga saya yang harus menebus dosa-dosanya. Ya sudah saya ikhlaskan saja," kata pria asal Banjar Lantang Bejuh, Sesetan, Denpasar ini.
Meregawa yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek RS PKPIP yang berlokasi di Jimbaran, Kabupaten Badung, hanya mengaku sebagai korban.
Padahal, katanya, tidak ada niat sedikit pun mengorupsi uang negara.
"Yang kami pikirkan alangkah senangnya dari Universitas Udayana mendapat pengadaan Alkes rumah sakit yang sudah diidam-idamkan. Tapi barangkali ini nasib yang harus saya tanggung dan saya korban dari pelaksanaan lelang walau dalam kesaksian fakta persidangan dan pledoi mengatakan bukan kami yang mengatur," ungkapnya.
Sedangkan jaksa KPK menyatakan akan pikir-pikir selama tujuh hari.
Usai sidang, anggota JPU KPK Kiki Ahmad Yani mengatakan jaksa berbeda pendapat dengan putusan majelis hakim khususnya mengenai nominal uang pengganti.
"BPK sudah melakukan perhitungan kerugian negara beberapa kali tapi akhirnya didapat kerugian negara Rp 7 miliar, nilai Rp 5,74 miliar itu perhitungan lama dan dikembalikan oleh bendahara pengeluaran Universitas Udayana atas nama PT Mahkota Negara," kata jaksa Kiki. Pengembalian tersebut dilakukan pada 2012-2014. (tribunnews/why/cas)
Info ter-UPDATE tentang BALI, dapat Anda pantau melalui:
Like fanpage >>> https://www.facebook.com/tribunbali
Follow >>> https://twitter.com/Tribun_Bali