TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Suasana Bali tempo dulu masih sangat kental di Banjar Puhu, Desa Puhu, Payangan masih.
Mulai dari suasana yang sunyi dan sejuk hingga aktivitas warga yang masih tradisional.
Namun yang paling unik ialah angkul-angkul atau candi keluar-masuk rumah warga yang hampir 70 persen bentuk dan bahannya sama.
Yakni batu padas coklat, warga setempat menyebutnya ‘Paras Buahan’.
Kelian Adat Banjar Puhu, I Made Suardika (50) mengatakan, angkul-angkul paras buahan ini, sudah ada bahkan sejak ia kecil.
Lantaran memiliki nilai sejarah, ia dan 70 persen krama setempat memilih untuk tidak menggantinya dengan style angkul-angkul masa kini.
Menurut Suardika, sejarah keberadaan angkul-angkul paras buahan ini relatif unik.
Dulu, proses pengerjaannya dilakukan secara gotong royong, yang dikomandoi seorang tokoh masyarakat setempat.
“Kami lupa nama beliau, tapi eyangnya Wayan Bokor, warga sini,” ujarnya.
Tokoh tersebut, kata Suardika, saat itu menjabat bendesa, dan menguasai tehnik pertukangan. Atas komandonya, krama Banjar Puhu dikumpulkan dan diajak membangun angkul-angkul masing-masing rumah.
Pembangunan ini, mulai dari mencari paras buahan di Sungai Yeh Wos, yang berjarak sekitar 200 meter dari atas pemukiman warga.
Setelah paras terkumpul, lalu diangkut secara gotong royong, lalu disusun menjadi angkul-angkul secara gotong royong.
“Mulai dari mencari paras hingga proses pembuatan dilakukan secara gotong royong. Setelah pengerjaannya kelar di rumah ini, lalu pengerjaannya pindah ke rumah tetangga, begitu seterusnya sampai semua rumah memiliki angkul-angkul model ini,” ujarnya.
Suardika dan warga lainnya kagum terhadap angkul-angkul ini. Meskipun tidak menggunakan bahan pelekat, namun hingga sekarang kondisinya masih kokoh.
Selain itu, meskipun usianya sudah relatif tua, namun materialnya tak kropos. Kebulatan tekad masyarakat mempertahankan angkul-angkul ini, telah mengundang wisatawan.
Namun mereka belum bisa menarik keuntungan seperti yang dilakukan Desa Pakraman Penglipuran, Bangli.
“Kebutulan banjar kami jalur cycling, jadi saat tamu lewat biasanya mereka berhenti lalu berfoto. Cuma sebatas itu, saja, tidak seperti di Penglipuran,” ujarnya.
Seiring berkembangnya zaman, gotong-royong membuat angkul-angkul sudah tak ada lagi. Namun bukan berarti sistem gotong royong telah punah di Banjar Puhu.
“Gotong royong masih ada, tapi tergantung pekerjaan.Kalau membangun, tidak. Karena tidak semua orang bisa membangun.
Tapi saat seorang warga akan membangun, lalu material pasir, batu atau batakonya datang, sorenya warga membantu mengangkut material itu ke lokasi tempat warga kami membangun. Itu tanpa dibayar. Biasanya hanya dikasi bubur kacang ijo,” ujarnya.
Penghormatan Terhadap Air
Warisan leluhur yang masih ajeg di Banjar Puhu, tak hanya angkul-angkul. Namun juga tradisi ‘magpag toyo’.
Tradisi ini berlaku umum di desa-desa di Bali. Namun lantaran perubahan zaman, sekarang tradisi parsembahan untuk air yang dilakukan oleh petani ini sangat jarang ditemukan.
Ajegnya warisan leluhur di Banjar Puhu, sehingga tak berlebihan bila menyebut banjar yang dihuni 114 Kepala Keluarga (KK) ini merupakan potret hidup Bali tempo dulu.
Kelian Adat Banjar Puhu, I Made Suardika yang juga menjabat prajuru Subak Puhu mengatakan, ritual magpag toya merupakan tradisi penghormatan terhadap air.
Ritual ini digelar setiap para petani akan melakukan aktivitas pertanian, dalam hal ini menanam padi.
Banjar yang 80 persen warganya masih mengandalkan sektor pertanian ini meyakini, ritual ini dapat memberikan kesuburan hingga menyukseskan setiap aktivitas pertanian di Subak Puhu.
Prosesi magpag toya tak hanya sekadar menghaturkan bebantenan dari anyaman daun kelapa.
Tetapi juga diisi dengan persembahan satu ekor babi guling. Sebab, krama subak menganalogikan sawah seperti manusia.
“Setiap akan mulai aktivitas di sawah, selalu didahului dengan ritual magpag toya, supaya air tetap mengalir, dan setiap petak sawah yang dialiri air ini dapat memberikan hasil yang bagus,” ujarnya. (*)