Smart Woman

Puspita Insan Kamil: Kerja Keras dan Konsistensi untuk Lingkungan

Penulis: Ni Ketut Sudiani
Editor: Widyartha Suryawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Puspita Insan Kamil.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Puspita memiliki kedekatan khusus dengan binatang sejak kecil.

Gadis yang kini bekerja di Catalyze Communications ini selalu memiliki hewan peliharaan, meski berganti-ganti karena beberapa alasan.

“Saya juga selalu senang pergi ke kebun binatang maupun ke alam liar untuk memperhatikan binatang. Saat kuliah di psikologi, saya mempelajari bahwa manusia memiliki kebutuhan yang membuatnya egois dan dalam taraf tertentu akan merusak lingkungan, yang akhirnya berbalik membahayakan seluruh makhluk hidup termasuk binatang-binatang liar,” kisah pemilik nama lengkap Puspita Insan Kamil. 

Pengalaman-pengalaman kecil itu turut mendorong Puspita untuk terus konsisten bergerak dan berupaya berkontribusi untuk lingkungan.

“Saya pun bertekad sebaik mungkin menggunakan ilmu saya untuk memiliki dampak di bidang lingkungan,” ujar alumni Psikologi, Universitas Indonesia ini.

Puspita melihat selama ini persoalan paling mendasar akan lingkungan adalah ketidakmampuan manusia untuk berkorban hal kecil demi kebaikan bersama dengan manusia lain yang tidak terhubung dengan dirinya.

Menurutnya, manusia, sama seperti binatang lainnya, memiliki karakter 'selfish gene' yang artinya menurut Richard Dawkins adalah berupaya melestarikan gen-nya, sehingga hanya peduli pada kelangsungan hidup orang yang terkait dengan dirinya secara genetik (keluarga).

Sementara segala persoalan di luar keluarga, seseorang akan sulit sekali membantu atau berkontribusi.

“Membuang sampah di tempatnya, memakai produk ramah lingkungan dengan membayar lebih mahal, atau sekedar membeli makanan lokal adalah hal sederhana yang sulit dilakukan karena dampaknya tidak langsung terasa ke diri sendiri dan keluarga, namun ke orang banyak yang mungkin berada ribuan kilometer dari kita. Beda halnya jika ada pembabatan hutan di belakang rumah kita, atau pencemaran sumber air yang menjadi sumber minum anak kita,” jelasnya. 

Dalam menjalankan misinya, tidak jarang pula ia harus berbenturan dengan sejumlah kendala.

Karena tidak memiliki isu spesifik saat bekerja di bidang lingkungan, ia kerap kali harus bekerja dengan tim multidisiplin.

Misalkan dengan ahli Biologi atau Ekologi, arsitek, desainer, ahli teknik, programmer, ahli GIS dan lainnya.

Kendala terbesar yang dialaminya justru adalah menjaga komunikasi bagi semua pihak agar tetap lancar dan mudah dimengerti.

“Setiap bidang punya caranya masing-masing, dan diperlukan energi ekstra untuk mencari jalan tengah bagi semua pihak. Cara mengatasinya adalah dengan memahami bidang mereka, banyak mengobrol dengan orang dari berbagai bidang,” terangnya.

Ia menyadari bahwa sebuah program hanya bisa bertahan apabila ada komitmen dan semangat yang konsisten dari pemimpinnya.

“Saya melihat dari banyak gerakan, pemimpin adalah faktor kunci berlangsungnya sebuah organisasi atau program. Selain itu, sisanya adalah hal internal. Komitmen dan motivasi harus datang dari diri sendiri, kalau tidak, perlahan akan pudar ketika motivator eksternal itu hilang.”

Menjadi konsisten tentu bukanlah hal yang mudah. Puspita pun selalu berpegang pada dua tokoh utama yang selama ini banyak memberinya inspirasi yakni Alfred Russell Wallace dan Jane Goodall.

Mereka adalah sosok-sosok yang tidak datang dari keluarga yang memiliki fasilitas berlimpah, sehingga semua pencapaian diusahakan oleh diri sendiri.

“Mereka memiliki peran besar dalam konservasi, namun tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang Biologi maupun konservasi. Dua tokoh ini secara konsisten memotivasi saya bahwa meski saya datang dari keluarga biasa dan tidak mempelajari ilmu konservasi secara formal, dengan kerja keras dan konsistensi, saya akan memiliki dampak,” tegasnya.  

Survei Mini hingga Eksperimen
Tercatat telah ada berbagai macam jenis penelitian yang dilakukan Puspita untuk lingkungan, dari survei mini hingga eksperimen.

Ia sempat meneliti identitas lingkungan, konflik manusia dan satwa liar, perilaku konsumen dengan plastik di pasar tradisional, juga tentang peran hutan kota Bandung untuk masyarakatnya.

“Temuan paling mencengangkan untuk saya adalah saat meneliti konflik manusia dan komodo. Saya menemukan bahwa orang yang lebih membenci komodo bukanlah mereka yang paling banyak ternaknya dimakan oleh komodo, melainkan mereka yang berpikir bahwa ternak mereka adalah investasi untuk sekolah anak. Kebencian kita terhadap suatu isu lingkungan barangkali hanya ada di otak kita, dan kita selalu punya kemampuan untuk memanipulasi otak kita sendiri,” jelasnya.

Begitu pula keterkaitannya dengan teknologi.

Ia menilai kehadiran teknologi harus diimbangi dengan pendekatan humanis untuk menjelaskan bahwa teknologi itu ada untuk menyelesaikan masalah di masa lalu, atau mengurangi dampak masalah, bukan menjadi penanggung jawab masalah di masa mendatang.

Ahli teknologi seyogyanya harus bisa bekerjasama dengan ahli perilaku untuk merancang teknologi yang tepat sasaran dan tetap ramah bagi pengguna.

Meskipun aktivitas yang dilakukan Puspita, khususnya yang langsung bersentuhan dengan alam bebas, umumnya lebih banyak dilakukan oleh laki-laki, namun ia sama sekali tidak pernah mempersoalnya identitas laki-laki maupun perempuan dalam melakoni kegiatannya.

“Jika punya tanggung jawab, lakukan dengan baik. Saya tidak pernah mengingat-ingat saya wanita, karena menurut saya pribadi, semakin kita mengingat identitas sosial kita, maka akan semakin besar potensial stereotipe yang kita punya terhadap identitas sosial lain.

"Misal - kalau kita terus-terusan mengingat kita wanita, kalau ada pria yang kemudian melakukan hal tidak adil, kita akan menyalahkan jenis kelaminnya, bukan orangnya. Hal tersebut adalah ad hominem. Pria dan wanita sama-sama bisa melakukan hal buruk. Kita menjadi egaliter ketika kita tidak lagi mengingat dan memisahkan hal-hal berdasarkan identitas sosialnya,” terangnya. 

Ia meyakini apabila seseorang  melakukan hal baik, dan bertanggung jawab dengan baik atas semua keputusannya, orang lain akan tahu dengan sendirinya.

“Saya terinspirasi Meghan Trainor yang pernah mengatakan, If you are good, you don't need to introduce yourself."

Cara berpikir Puspita ternyata cukup banyak dipengaruhi oleh didikan ayahnya.

Ayahnya membebaskan Puspita untuk memilih apa yang ia mau lakukan, dan tidak pernah melarang untuk pergi ke manapun, termasuk naik gunung berhari-hari.

“Namun, untuk hal-hal yang saya belum terlalu mengerti, beliau akan memberi aturan dan acuan. Memiliki kebebasan memilih tidak selalu menyenangkan karena bisa membingungkan, tapi dari sana saya belajar memutuskan dan bertanggung jawab dengan semua konsekuensi dari pilihan saya,” ujarnya. (*)

Berita Terkini