TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Sabtu (7/12/2019) merupakan Hari Raya Saraswati.
Hari raya Saraswati ini diperingati setiap enam bulan sekali (210 hari) tepatnya pada Saniscara Umanis Wuku Watugunung.
Arti dari hari Raya Saraswati ini dipercaya sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan sekaligus sebagai penghormatan terhadap Dewi Pengetahuan yaitu Dewi Saraswati.
Terkait perayaan dan tata cara Hari Raya Saraswati termuat dalam Lontar Sundarigama.
Menurut Dosen Unud, Putu Eka Guna Yasa, Lontar Sundarigama ini merupakan pedoman pelaksanaan upacara di Bali baik berdasarkan sasih maupun wuku.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Watugunung, Saniscara, Umanis, puja walin Betara Saraswati widi-widanania, nistania, suci peras daksina, penek ajuman sesayut saraswati, banten saraswati, segara gunung, perangkat putih kuning, tansah wangi-wangi, daksina, pengadegan abesik, kembang payas sekar cana, canang yasa, sadulurania sehananing pustaka, makelingganing aksara pina hayu, puja walinin, saha aturaken puspa wangi, astawakne tirta pakuluh ring Sang Hyang Surya samana tan wenang angereka, aksara, amaca, anulis, tuwi makidung muang kekawin, tuwi arerasan saluwiring tatuwa aksara suksema, kewalia amuja-muja walinin betara Saraswati juga wenang, apan sang pinuja sira amdalaning sarwa dewa, kewala meneng juga sira ayoga.
Artinya:
Pada Saniscara Umanis, merupakan hari pemujaan untuk Dewi Saraswati. Dalam pemujaan ini, upakaranya yaitu suci, peras, daksina palinggih, kembang payas, kembang cana dan kembang biasa, sesayut saraswati, prangkatan atau rantasan putih kuning, serta buah-buahan beserta runtutannya, Sang Hyang pustaka atau ontar-lontar keagamaan, tempat menuliskan aksara ditata dengan sebaik-baiknya, dipuja, dan diupacarai dengan puspa wangi.
Hal inilah yang disebut memuja Sang Hyang Bayu yaitu gerak, kata-kata dan pikiran.
Dalam melakukan pemujaan dengan banten tidak wajar menulis surat, tak wajar membaca buku-buku weda, dan kidung kekawin, dan yang wajar yaitu melakukan yoga.
Sehingga saat perayaan Saraswati ini hendaknya melakukan yoga samadhi, dengan memusatkan bayu, sabda, idep.
Juga memaknai hakikat atau intisari dari pengetahuan itu sendiri.
Melukat Sehari Setelah Hari Saraswati
Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
Sehari setelah merayakan Hari Suci Saraswati, umat Hindu di Bali biasanya melakukan prosesi melukat atau mandi di pemandian suci maupun segara (laut).
Prosesi itu biasanya ditutup dengan menyantap nasi dira atau nasi berwarna kuning.
Namun sebelum disantap bersama keluarga, nasi tersebut terlebih dahulu dipersembahkan ke setiap pelinggih di sanggah/merajan ataupun tempat lainnya yang ada di kawasan rumah. Apa sejatinya makna dari ketiga hal ini? Kenapa Saraswati selalu tak luput dari Banyu Pinaruh dan nasi dira?
Ketika berbicara mengenai upacara maupun hari suci, pemahaman kita tidak boleh lepas dari instrumen ruang dan waktu.
Ketika ada pada ruang dan waktu, di sana ada materi. Namun kita harus pahami, materi dalam upacara maupun hari suci adalah dalam bentuk makna atau simbol.
Hari pun, dalam hal ini, memiliki maknanya sendiri. Jadi, terkait dengan perayaan Saraswati ini, kalau kita berangkat dari konsep dasar “Kehadiran Tuhan untuk memberikan tuntunan pada umat manusia”, maka kita harus kembali membersihkan pikiran dari noda duniawi.
Sebab, Tuhan hadir ke dalam diri kita melalui pikiran yang suci. Hal yang membedakan manusia dengan binatang dan tumbuhan itu hanya satu, yakni manas (pikiran).
Aspek ini harus diberdayakan untuk kembali memuliakan derajat manusia. Pikiran harus ditransendensikan, menggunakan instrumen kecerdasan kebijaksanaan atau bhudi.
Oleh sebab itu, kalau pola pikir kita dilandasi oleh kebijaksanaan maupun kecemerlangan, kesadaran akan waranugraha Sang Hyang Aji Saraswati, tentu akan terjadi karya-karya yang sangat mulia.
Segala sesuatu yang ada di dunia ini ciptakan dari cecek (titik). Cecek inilah yang berkembang menjadi sebuah bentuk.
Dalam dunia binatang, orang Bali mengenal crekcek (cicak), yang suaranya berbunyi ‘cecek’. Setiap cecek bersuara, di sana diyakini ada kebenaran (Aji Saraswati).
Cecek (titik) adalah sunya (kehadiran) awal dari kelahiran kita di muka bumi ini. Rangkaian cecek ini lalu melahirkan aksara.
Aksara dalam agama Hindu bukan hanya sebagai tanda daripada bunyi. Tapi dia adalah sebuah simbol.
Secara etimologi, aksara memiliki dua suku kata, ‘a’ artinya awal dan ‘ksara’ artinya mulia. Jadi, cecek adalah lingkaran yang selalu menghadirkan kemuliaan bagi manusia.
Dalam pandangan agama Hindu, kemuliaan ini dialirkan ilmu pengetahuan. Di Bali, perayaan turunnya pengetahuan ini dirayakan setiap Saniscara Umanis, Wuku Watugunung.
Masyarakat meyakini, pengetahuan tersebut diturunkan dalam bentuk air.
Sebab, air merupakan lambang kemurnian atau kesucian, yang dapat membersihkan noda sekala maupun niskala, serta mengembalikan kemuliaan manusia. Maka dari itu, umat menggelar mandi suci saat Banyu Pinaruh.
Dalam kepercayaan umat Hindu, Saraswati merupakan saktinya Bhatara Brahma. Oleh sebab itu, saya sendiri sebagai ‘yajamana’, pada Banyu Pinaruh menggelar ‘Gangga Prastita’ atau mandi weda.
Sehingga, air yang mengalir tidak hanya dalam bentuk ‘Aji Saraswati’ (ilmu pengetahuan), tetapi juga dalam bentuk tirtha amertha yang mampu membangun kemuliaan.
Barang siapa yang telah memperoleh ilmu pengetahuan, akan menikmati kemakmuran. Sebab bagaimanapun, tanpa adanya penciptaan dan ilmu pengetahuan, tidak akan ada kemakmuran.
Kemakmuran adalah progres kemajuan. Dalam hal ini Banyu Pinaruh, simbol kemakmuran ini ada pada nasi dira.(*)