Kabar Seleb

Perjalanan Musik Pop Bali: Dari Yong Sagita, Bayu KW, hingga Lolot Band

Penulis: Widyartha Suryawan
Editor: Ady Sucipto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

(Ilustrasi) Pengunjung mengamati rilisan kaset fisik dalam acara Record Store Day di Lingkara, Jalan Merdeka, Denpasar, Sabtu (4/5/2019). Record Store Day adalah perayaan rilisan musik dalam format fisik seperti piringan hitam, kaset, dan Compact Disc.

TRIBUN-BALI.COM – Apakah Anda suka mendengarkan lagu-lagu berbahasa Bali?

Industri musik pop Bali tampaknya selalu mengalami pasang surut, semarak dan redup.

Musik Pop Bali pernah mengalami puncak kejayaannya di penghujung tahun 1990-an hingga 2000-an awal.

Di era global seperti sekarang, jika yang dilihat hanya permintaan pasar global, industri musik pop Bali tentu hanya jalan di tempat – yang pendengarnya hanya komunitas terbatas.

Belum lagi jika dihadapkan dengan gempuran musik luar negeri.

Sebut saja misalnya kemunculan Korean Wave (Hallyu) yang memanfaatkan budaya populer (pop culture) seperti, drama TV, film, dan termasuk musik (K-Pop) sebagai salah satu strategi meningkatkan perekonomian Korea Selatan.

Terlepas dari itu, berikut ini adalah perjalanan musik pop Bali yang perlu Anda ketahui.

Bicara Politik

Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Udayana, Prof I Nyoman Darma Putra, dalam tulisannya  berjudul “Politik Lagu Pop Bali” menyoroti tema-tema politik yang diangkat dalam lagu pop Bali.

Tahun 1960-an lahir lagu Merah Putih karya Gde Darna yang kental dengan nuansa nasionalisme.

Menurut Prof Darma Putra dalam tulisan tersebut, tema-tema politik tidak begitu dieksplorasi pada masa Orde Baru.

Barulah ketika kekuasaan Orde Baru tumbang, tema-tema politik mulai menyeruak.

Pada 1998, miasalnya, Yong Sagita hadir dengan lagu Kala Kali Zaman Orba yang melantunkan kritik terhadap pemerintahan Orde Baru.

Bahkan, Yong Sagita secara terang-terangan menjadi garda pendukung Megawati.

Selain Yong, ada pula Lolot Band melalui lagu Bangsat-nya (2003), juga Bintang Band dengan lagu Nusuk-nya (2004) turut mengkritisi politik kekuasaan yang sarat KKN.

Eksplorasi Tema Cinta

Di penghujung tahun 90-an hingga 2000-an awal, musik pop Bali seolah mengalami puncak kejayaannya.

Penggemarnya berasal dari berbagai kalangan, dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa. Tidak hanya di desa-desa, tapi juga di kota-kota di Bali.

Anak Bali 90-an sepertinya tidak asing lagi mendengar nama-nama seperti Yong Sagita, Widi Widiana, Panji Kuning, Sri Dianawati, Bayu KW, Eka Jaya, Agung Wirasuta, sampai Dek Ulik, dan lain sebagainya.

Pada masa ini, tema besar dalam lagu-lagu pop Bali lebih banyak bicara seputar cinta, kisah asmara tentang “bli” dan “adi”.

Kala itu, ada nama Widi Widiana, Sri Diana, Panji Kuning, Agung Wirasutha, Yan Srikandi, Eka Jaya, dan lain-lain.

Lalu, ada juga penyanyi nyentrik Bayu Kasta Warsa (Bayu Kw) .

Kehadiran Bayu Kw pada awal 2000-an memberikan sentuhan baru, karena lagu-lagunya mengangkat tentang cinta laki-laki Bali dengan Mbakyu di pulau seberang; Banyuwangi.

Salah satu lagu Bayu KW yang populer ketika itu berjudul Sarinem Neha Nehi.

Lolot Band Menggebrak

Jika pada masa sebelumnya lagu pop Bali mendapat pengaruh pop Mandarin, maka sekitar tahun 2003, Lolot Band tampil menggebrak sebagai band rock alternatif berbahasa Bali pertama.

Album perdananya bertajuk Gumine Mangkin, laris di pasaran.

Beberapa lagu seperti Artha Utama, Luh Sari, dan Dagang Kopi Jegeg, adalah beberapa hits dalam album tersebut.

Lolot Band mengusung genere Bali Rock Alternative, dengan logo bola-delapan yang ikonik.

Kehadirannya dalam belantika musik pop Bali tampaknya menginspirasi beberapa kelompok musik berbahasa Bali dengan warna baru.

Sebut saja Triple X, Bintang, So Band, Johny Agung & Double T, dan sebagainya.

Dalam periode berikutnya, muncul beberapa seleb lagu pop Bali seperti Nanoe Biroe, AA Raka Sidan, boyband Trio Januadi, hingga trio dangdut berbahasa Bali 3G, lalu Leonk Sinatra atau Harmonia yang lebih kekinian. (*)

 
 
 
 
 


Berita Terkini