Ngopi Santai

Mengapa Resolusi Akhir Tahun Sering Gagal Terwujud?

Penulis: Sunarko
Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi: Resolusi Tahun 2020

Mengapa Resolusi Akhir Tahun Sering Gagal Terwujud?

Setiap akhir tahun, ada kebiasaan dari sebagian orang untuk membuat resolusi. Misal di akhir tahun 2019 seseorang membuat resolusi untuk kehidupannya di tahun 2020.

Tidak hanya individu, organisasi (seperti perusahaan) bahkan wajib hukumnya untuk menyusun target atau goal tahun depan. Itu tertuang dalam rencana bisnisnya (business plan), yang biasanya berisi inisiatif-inisiatif strategis yang akan dilakukan, apa sasarannya dan apa indikator pencapaiannya.

Secara sederhana, resolusi berarti tekad yang kuat atau ketetapan hati. KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mendefinisikan resolusi, salah-satunya adalah “pernyataan tertulis, biasanya berisi tuntutan (atau keinginan) tentang suatu hal”.

Pada umumnya, resolusi berisi keinginan, target atau goal (tujuan) yang ingin dicapai. Bisa dikatakan, membuat resolusi tak ubahnya seperti goal-setting atau membuat tujuan.

Dalam praktik, meski awalnya diniatkan untuk diwujudkan atau dijalani sepanjang tahun, tak sedikit resolusi itu hanya berumur pendek. Ada yang menyebutnya secara kelakar sebagai “semangat 45”. Maksudnya, semangat untuk mengikuti resolusi itu hanya bertahan 4-5 hari atau paling banter 45 hari, dan selebihnya kembali ke kebiasaan lama alias gagal total. Mirip resolusi yang dihasilkan PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Bunyi resolusinya “mantul” (mantap betul), namun pelaksanaannya mandul.  

“Iya, saya sudah bertekad untuk kurangi main gadget di tahun 2020. Eh…tahun 2020 baru dua hari berjalan, sudah gagal hehe,” kata seorang kawan kepada saya kemarin lewat pesan whatsapp.

Mengapa resolusi gagal diwujudkan, bahkan bagi sebagian orang hanya bertahan seumur jagung?

Penulis buku Personal Development for Smart People (Hay House, 2008), Steve Pavlina menyebutkan kegagalan mewujudkan resolusi, antara lain, karena tercampuraduknya target antara (jangka pendek) dengan target jangka panjang. Padahal, harus dibedakan antara target antara dan target akhir.

Katakanlah, target jangka pendek itu dalam hitungan bulan, dan target akhir adalah realisasinya di ujung  tahun.

Pavlina memberi contoh sederhana tentang perbedaan antara target antara dan target akhir. Misal, salah-satu daftar target dalam resolusinya di tahun 2020, si A ingin menonton konser penyanyi top dunia (sebut saja penyanyi X) di Singapura tiga bulan mendatang. Kemudian ada stasiun radio yang adakan kuis dengan hadiah tiket nonton konser penyanyi X di Singapura.

Si A ikut kuis radio itu, tentu dengan harapan bisa dapat hadiah tiket nonton konser, karena menyaksikan konser penyanyi X di Singapura itu merupakan target besarnya di tahun 2020.

Singkat cerita, si A gagal memenangkan kuis itu. Ia boleh kecewa karena tidak memenangkan kuis, tapi itu belum/bukan merupakan kegagalan untuk mewujudkan target akhirnya menonton konser. Itu adalah ketidakberhasilan meraih target antara. Masih ada acara lain untuk bisa pergi menyaksikan konser penyanyi X di Singapura (sebagai target akhir).

Menurut Pavlina, tak jarang orang-orang menyamakan saja target jangka pendek dengan target jangka panjang. Keduanya harus dibedakan, dan target jangka pendek semestinya merupakan alat, perantara atau batu pijakan untuk mencapai target akhir.

Tentang goal-setting atau menetapkan tujuan, dalam bukunya The Code of The Extraodinary Mind, Vishen Lakhiani menjelaskan lebih jauh mengenai apa yang disebutnya sebagai means-goal dan end-goal.

Pendiri dan CEO Mindvalley ini (salah-satu perusahaan pengembangan diri internasional yang terkemuka) mengungkapkan, kebanyakan orang menetapkan tujuan hidupnya bukan berangkat dari kesadaran atau suara hati mereka yang terdalam.

Mereka menetapkan target dan tujuan hidupnya berdasarkan/mengikuti standar dan ukuran umum yang berlaku di masyarakat. Misalnya, saya harus dapat rangking 1 di kelas (karena dalam standar umum, rangking 1 merupakan pertanda kesuksesan); saya harus punya 3 mobil pribadi di garasi (karena miliki lebih dari 1 mobil adalah simbol kesuksesan di masyarakat); anak saya harus meraih gelar akademik (karena anak bergelar akademik adalah ukuran keberhasilan orangtua di mata publik); saya harus pergi ke destinasi wisata luar negeri yang sedang trending di medsos (karena kalau fotonya diposting di akun medsos dan dapat like & comment banyak, itu menaikkan prestise saya) dan lain-lain.

Semua hal tersebut di atas, menurut Vishen, adalah tujuan semu (means-goal) selama tidak berangkat dari atau sejalan dengan kesadaran mengenai makna terdalam tujuan itu bagi diri sendiri.

Means-goal adalah `tujuan hidup` yang diinfuskan dari luar, dan jenis tujuan hidup seperti inilah yang paling banyak dijalani orang-orang. Tujuan hidupnya tidak orisinal, tidak berangkat dari suara hati terdalam, tapi dibentuk atau didikte oleh apa yang disebut Lakhiani sebagai culture space.

Culture space itu berisi standar, ukuran dan norma-norma yang saya sebut sebagai Brules (singkatan dari bullshit rules). Kita mesti retas aneka Brules itu untuk bisa sukses menjadi diri kita sendiri,” tulis Lakhiani.  

Culture space itu bisa berupa tokoh idola, kebiasaan keluarga, lingkungan pergaulan, media, tren di medsos atau internet dan lain-lain yang ada di masyarakat. Resolusi yang berupa means-goal pada dasarnya adalah program-program dari luar diri, dan karena itu sesungguhnya tak bisa disebut sebagai resolusi pribadi. Dan, kemungkinan kegagalannya besar.    

Oleh karena itu, jangan terdistraksi dan terkecoh oleh means-goal, tapi carilah end-goal, dan kemudian fokus untuk mencapainya. Apa itu end-goal?

Menurut Lakhiani, tujuan hidup merupakan end-goal jika ia mengandung tiga hal penting berikut ini bagi seseorang:

1) Meaningful experiences, yakni tujuan itu memberi pengalaman yang bermakna

2) Growth, yaitu jika tujuan itu membuat anda bertumbuh positif

3) Contribution, yang berarti bahwa tujuan itu membuat dunia menjadi lebih baik melalui sumbangsih atau kontribusi anda

Jadi, apakah anda masih menyematkan resolusi anda pada culturespace ataukah benar-benar mendengarkan suara dari dalam hati? Silakan evaluasi.

Berita Terkini