TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sebanyak 57 warga mendatangi Kantor Hukum ASA Jalan Cok Agung Tresna, Renon, Denpasar, Senin (10/8/2020) sore.
Mereka ingin meminta bantuan hukum karena merasa tertipu oleh sindikasi koperasi bodong milik alm Agung Jaya Wiratma sejak 2017 silam.
Total kerugian dari seluruh korban mencapai 155 miliar.
"Jumlah korbannya sebanyak 726 korban berasal dari lima kabupaten di Bali dengan jumlah kerugian hampir Rp 155 miliar," kata seorang korban, Made Budiartawan, saat menandatangani surat kuasa di kantor hukum ASA.
Dari 726 orang yang menjadi korban dari koperasi bodong ini, ada korban yang nilai kerugiannya mencapai Rp 2 miliar.
Ada juga yang nilai kerugiannya Rp 800 juta dan Rp 500 juta.
Namun, mereka yang kerugiaannya paling besar berhalangan hadir ke Kantor Hukum ASA, Senin (10/8).
Kuasa hukum para korban, Agus Samijaya, mengatakan dari kronologis yang disampaikan para korban, ada dugaan kuat bahwa ini adalah kejahatan by design atau korporasi yang melibatkan banyak pihak.
"Dugaan kami, ini bukan kejahatan perorangan, tapi kejahatan berjamaah, korporasi, di dalamnya terdiri dari berbagai oknum. Mungkin ada oknum perbankannya, oknum koperasinya, dan lain-lain," kata Agus Samijaya.
Menurut Kepala Operasional YLBHI LBH Bali ini, masyarakat biasa tidak akan bisa dan berani melakukan pemanipulasian data nasabah bank yang akan mengajukan kredit.
Saat ini, Agus Samijaya mendapatkan kuasa atas para korban untuk bisa membongkar sindikasi tersebut.
Agus mengaku akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan para korban, kemudian mengecek ke mana aliran dana yang berjumlah sebesar Rp 155 miliar tersebut.
"Kami akan mencoba berkomunikasi dengan pihak PPATK untuk menelusuri aliran dana itu.
Apakah masih tersimpan di bank, atau masih ada atau pelarian uang dan sebagainya, keluar negeri atau dalam bentuk aset atau sebetulnya ini aliran dananya berputar disitu-situ saja yang terlibat dalam jaringan sindikasi ini," kata Ketua PBHI, dan Ketua IKADIN itu.
Modus Sama
Budiartawan menjelaskan, rata-rata modus yang digunakan oleh oknum koperasi dan oknum bank yang diduga diajak bekerjasama hampir sama.
Masyarakat calon korban dirayu dan diiming-imingi program penyelamatan aset berupa deposito sibercop dengan berkedok koperasi.
"Mereka menawarkan bunga investasi deposito 1 persen dan cashbck 3 persen oleh manajer atau marketing koperasi tersebut agar masyarakat bisa menyelamatkan aset yang sudah menjadi hak tanggungjawab di BPR maupun bank lain," kata Budiartawan.
Sederhananya, para korban yang rata-rata memang memiliki utang di BPR atau di bank lain ditawari sistem untuk menyelamatkan aset mereka.
Korban lainnya, I Made Suana, misalnya sebelumnya dia memang memiliki utang sebesar Rp 50 juta di salah satu bank di Tabanan.
Kemudian, tiba-tiba ada sales koperasi datang ke rumahnya menawarkan sistem penyelamatan aset tersebut dalam waktu singkat.
Suana ditawarkan untuk meminjam uang di bank sebesar Rp 280 juta dan uang tersebut harus diinvestasikan di koperasi.
Nantinya, koperasilah yang akan membayar utang sebelumnya di bank dengan bunga investasi tersebut.
"Awalnya saya memang sudah tidak bisa bayar bank selama satu tahun. Nah tiba-tiba ada dua orang datang ke rumah dengan dibilang mau menyelamatkan aset.
Waktu itu saya tidak begitu paham, yang jelas dia bilang akan lunasi utang saya, dan besoknya saya diajak ke bank, cairlah uang Rp 280 juga," kata Suana.
Waktu mencairkan uang Rp 280 juta, Suana diminta menandatangani sejumlah dokumen yang ia tidak tahu apa itu isinya.
Waktu pihak bank dan koperasi mengatakan semua akan baik-baik saja.
Akhirnya Suana meneken semua berkas dan uang itu cair.
Suana sebetulnya bingung kenapa dirinya yang sudah di-blacklist oleh bank karena tidak bayar utang, saat itu malah bisa meminjam uang Rp 280 juta lagi dengan hanya menggunakan jaminan sertifikat tanah warisan sebanyak 4 are.
"Padahal nilainya di kampung itu Rp 20 juta per are, kok bisa cair dana Rp 280 juta. Di sana saya tidak mengerti," kata Suana.
Waktu disurvei oleh bank tempat ia meminjam Rp 280 juta tersebut, oleh pihak koperasi, Suana diminta mengatakan bahwa ia sebagai mertua dari salah satu oknum bank tersebut sehingga pihak bank bisa membantu.
Ia juga diminta mengakui sebuah usaha yang bukan miliknya.
Dari Rp 280 juta yang ia dapat dari bank tersebut, yang ia terima bersih hanya sebesar Rp 25 juta saja.
Sisanya, Rp 180 juta diinvestasikan di koperasi yang mengklaim akan membayarkan utangnya di bank dari bunga deposito itu.
Sedang Rp 100 juta digunakan untuk uang administrasi di bank dan untuk membayar utangnya sebesar Rp 50 juta sebelumnya.
"Nah dari utang saya di bank itu, kewajiban saya per bulan itu Rp 7.760.000 sementara bunga hasil investasi di koperasi itu sebesar Rp 7.100.000, sehingga per bulan saya harus bayar lagi sebesar Rp 600 ribu," kata Suana.
Namun baru beberapa bulan berjalan, ternyata ia dicari oleh pihak bank karena dianggap tidak membayar.
Padahal, Suana dijanjikan utangnya dibayarkan oleh koperasi.
"Pihak bank nyari saya, katanya saya tidak bayar dan ditunjukkan bukti. Saya tanyalah koperasinya katanya alasan perubahan sistemlah, perubahan manajemenlah, makanya dari 2018 itu saya sempat proses ini sampai sekarang karena saya merasa ditipu," ungkap pria berusia 55 tahun itu.
Saat ini, Suana harus menanggung utangnya di bank yang ia pinjam sebesar Rp 280 juta itu.
Bahkan, saat ini utangnya sudah melambung menjadi Rp 350 juta karena ia tidak pernah bayar.
Celakanya lagi, pemilik koperasi itu, Agung Wiratma sudah meninggal.
Sejauh ini, upaya yang telah ia lakukan adalah mendatangi rumah pemilik koperasi tersebut dan menemui istri almarhum.
Namun, istri almarhum mengaku tidak tahu menahu mengenai persoalan itu.
Belakangan, Suana mengetahui bahwa data-data dirinya ternyata dipalsukan oleh oknum bank yang diduga bekerjasama dengan pihak koperasi ini.
"NIK KTP saya dipalsukan. Dihapus nomor terakhir, sehingga mengajuan kredit saya bisa lolos," kata pria asal Penebel Tabanan ini.
Budiartawan menambahkan, ini adalah bentuk penipuan kepada masyarakat.
Kecurigaan mereka mulai muncul setelah Agung Jaya Wiratma meninggal dunia.
Setelah itu, semua pihak tidak bisa dihubungi, dan dimintakan data. Itulah sebabnya, mereka selama ini menempuh jalur hukum atas penipuan ini.
Pria asal Desa Pandak Bandung, Kediri, Tabanan, ini mengungkap nama-nama koperasi yang telah menipu ratusan masyarakat Bali ini.
Di antaranya Koperasi Maha Mulia Mandiri yang ada di Bajera, Koperasi Maha Suci di Pasar Kodok, Koperasi KSP Tirta Rahayu di Jalan Raya Penebel, Koperasi Maha Kasih di Jimbaran, Koperasi Maha Agung Mandiri di Mengwi, Koperasi Maha Wisesa di Denpasar, kemudian Koperasi Sinar Suci di Klungkung.
"Hanya itu yang saya tahu," kata Budiartawan.
Pemilik Koperasi Agung Jaya Wiratma pada 29 Agustus 2018 masih bisa menandatangani surat pernyataan untuk mencairkan cek sebesar Rp 3,5 miliar.
Namun besoknya pada 30 Agustus 2018 Agung Jaya Wiratma meninggal dunia dan langsung dikremasi tanpa proses visum dan sebagainya.
"Tanpa sebab dia meninggal dunia. Langsung dikremasi tanpa diaben. Belum dipulangkan ke keluarganya. Itu tanda tanya besar," kata Budiartawan.
Budiartawan menceritakan, sejauh ini mereka sudah melakukan upaya-upaya hukum baik laporan ke polisi dan menggunakan pengacara, namun sampai saat ini tidak ada hasil.
Ia berharap kuasa hukum mereka saat ini yakni Agus Samijaya bisa menyelesaikan perkara ini.
"Kami sudah laporkan ke Polda Bali juga sudah, tapi tidak ada hasil. Ke kuasa hukum sampai lebih dari lima kali kami sudah tapi tidak ada hasil.
Mudahan-mudahan Pak Agus bisa berhasil menyelamatlan uang para korban," kata Budiartawan
Saat ini, Budiartawan menyebut semua koperasi yang ia sebutkan di atas sudah tutup.
Bahkan, data-data koperasi sudah hilang.
Ia pun telah mengecek kelegalan koperasi-koperasi tersebut, namun ternyata semua koperasi itu tidak berizin alias bodong. (win)