Berawal dari Gunung, Berikut Kisah Bhatara-bhatari Awal di Bali

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ida Pedanda Wayahan Bun dari Griya Sanur Pejeng, Gianyar.

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Ida Pedanda Wayahan Bun, dari Griya Sanur Pejeng Gianyar, menjelaskan bahwa Tuhan adalah satu namun memiliki banyak nama sesuai fungsinya masing-masing.

Manifestasi Tuhan, oleh para wiku atau orang bijaksana disebut dengan banyak nama.

Begitu juga di Bali, karena Tuhan dikenal dengan banyak sebutan.

Baik itu bhatara-bhatari maupun dewa-dewi.

“Dari Babad Pasek Bali Mula, ada disebutkan Bali masih labil dan masih gonjang-ganjing. Sehingga Sang Hyang Pasupati di Gunung Semeru memerintah putra-putrinya berstana di Bali dan menjaga Bali,” jelas beliau kepada Tribun Bali, Selasa (23/11/2020).

Dari sana lah, kemudian 7 putra-putri beliau dikirim atau diperintah oleh beliau malinggih di Bali.

Tujuannya agar Bali bisa tenang. Putranya antara lain, Bhatara Hyang Gni Jaya yang malinggih Gunung Lempuyang. Bhatara Hyang Putranjaya, malinggih di Gunung Agung.

Bhatari Hyang Dewi Danu berstana di Gunung Batur. Bhatara Hyang Tumuwuh, berstana di Gunung Batukaru.

Kemudian Bhatara Hyang Manik Gumawang, berstana di Gunung Beratan.

Ada pula Ida Bhatari Hyang Manik Galang, berstana di Pura Penataran Sasih Pejeng. Terakhir adalah Bhatara Hyang Tugu di Gunung Andakasa.

“Semuanya berawal dari gunung, karena merupakan tempat tinggi di Bali. Gunung juga selalu dianggap dan dipercayai sebagai tempat suci,” jelas Ida pedanda.

Hanya saja, khusus Ida Bhatari Hyang Manik Galang yang tidak berstana di Gunung.

Ida pedanda menceritakan, Manik Galang itu berarti bulan dan peninggalannya ditemukan dalam sebuah nekara di pohon kayu besar pada zaman Belanda.

Dan itu menjadi peninggalan purbakala pertama di Bali yang diteliti secara ilmiah.

“Nah 7 putra-putri dari Sang Hyang Pasupati inilah yang ditugaskan di Bali,” katanya.

Tujuannya agar Bali teteg dan tentram.

Bagi Ida pedanda, inilah menjadi awal dikenalnya istilah bhatara-bhatari di Bali.

Berasal dari putra-putri Sang Hyang Pasupati yang berstana di berbagai gunung di Bali.

“Memang agak sulit juga untuk menafsirkan, apalagi menentukan kapan beliau distanakan di Bali,” kata beliau.

Sebab zaman itu belum ada pura di Bali. Sehingga gunung sebagai tempat tinggi, dianggap suci sebagai tempat persembahyangan.

“Semua linggih beliau di gunung, hanya di Pejeng saja yang dataran rendah bukan gunung. Penafsiran saya untuk itu dibuatkan pratima bulan Pejeng atau nekara Pejeng yang secara internasional dikenal dengan sebutan ‘The Moon From Pejeng’ dan menjadi nekara terbesar di dunia,” jelas beliau.

Secara teologis, kata beliau, apabila benar bulan Pejeng untuk pratima Hyang Manik Galang.

Maka dimungkinkan usia pratima itu, sesuai dengan kedatangan bhatara-bhatari yang ditugaskan untuk menjaga Bali.

“Nekara itu sampai sekarang sudah lebih 2.500 tahun.  Berarti bhatara-bhatari yang dari Sang Hyang Pasupati mungkin datang sekitar lebih dari 2.000 tahun yang lalu,” sebutnya.  

Dan telah melinggih di Pulau Dewata. Dari penafsiran inilah, beliau memperkirakan awal bhatara-bhatari berstana di Bali dan awalnya di gunung karena belum ada pura di Bali.

Istilah pura hadir jauh setelahnya.

“Kalau istilah bhatara atau dewa itu, awalnya di Bali tidak ada juga. Awal prasasti abad ke-9 tidak ada bhatara tetapi yang ada adalah hyang,” jelas beliau.

Seperti penyebutan, Hyang Kari Mama, Hyang Api, dan sebagainya. Istilah pura atau tempat suci, juga belum ditemukan.

Tetapi pura untuk keraton atau istana sudah ada. Hal ini kurang lebih pada abad ke-9 dapat ditemukan di prasasti Blanjong.

Namun di keraton itu, konteks pura bukanlah tempat suci layaknya pura di Bali yang dikenal sampai saat ini.

Berdasarkan lontar Tutur Gong Besi, jelas beliau, disebutkan bahwa linggih ida bhatara ini yang menegaskan adanya monoteisme.

“Di sana disebutkan, Bhatara Siwa kesah saking Pura Dalem, malinggih ring Pura Puseh dan diberi nama Sang Hyang Trio Dasa Sakti. Lalu kesah ke Pura Desa disebut Sang Hyang Tri Upa Sedana. Lalu di Pura Bale Agung disebuh Sang Hyang Bagawati,” sebut Ida pedanda.

Semuanya bersumber dari Siwa yang dianggap Tuhan oleh Hindu.

Kemudian di pengulun setra (kuburan) disebut Sang Hyang Prajapati, lalu di perempatan disebut Sang Hyang Catur Buana.

Lalu di pertigaan jalan, disebut Sang Hyang Sapuh Jagat.

Di segara atau laut disebut Sang Hyang Mutering Jagat. 

Jika malinggih di akasa, disebut Sang Hyang Surya Pati.

Melinggih di sungai dan gunung disebut Sang Hyang Giri Pati.

Tegalan dan sawah Bhatari Uma.

Setelah hasil panen jadi, terutama padi disimpan di jineng atau lumbung disebut Bhatara Sri.

Kemudian padi diselip dan menjadi beras disimpan di pulu disebut Sang Hyang Tri Suci. Lalu beras di bawa ke dapur dan dimasak, disebut Tri Amerta.

“Semuanya sumbernya satu, yakni Tuhan. Namun disebut dengan banyak nama,” tegas beliau.

Bhatara-bhatari ini kemudian berada di setiap sisi dan sudut pulau Bali, dimana saja ada sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.

Di Bali pun, masih banyak masyarakat yang memberi nama lokal untuk memudahkan penyebutan bhatara dan mendekatkan diri denganNya.

Sehingga nama-nama lokal ini tidak ada yang salah, jika tidak disebutkan di Weda atau dalam ajaran Hindu dari India.

Karena local genius, membuat masyarakat pada zaman itu menyebutnya sesuai dengan apa yang dilihat atau dirasakannya.

“Itu dimungkinkan karena pengaruh Hindu belum terlalu kuat, atau memang belum masuk ke Bali pada zaman itu,” jelas Ida pedanda.

Contohnya, ketika beliau saat welaka dan masih menjadi arkeolog melakukan penelitian di Blanjong, Sanur.

Saat itu, masyarakat setempat memberi petunjuk bahwa ada sebuah arca di tengah pohon.

Arca itu oleh masyarakat kemudian disebut dengan nama Ratu Lantang Irung. “Saya penasaran, dan setelah saya teliti ternyata itu adalah arca Ganesha,” sebut beliau.

Sehingga saat masyarakat menyebut dengan nama Ratu Lantang Irung tidak salah, karena memang perawakan Dewa Ganesha memiliki hidung gajah seperti dijelaskan dalam kisah mitologi dan kitab suci.

Sejatinya hal itu pun telah disebutkan di dalam prasasti Blanjong, karena ada kata gana.

Sehingga tidak ada yang salah dengan penyebutan nama lokal ini, untuk memudahkan masyarakat dalam mengingat sesuai budaya dan bahasa setempat.

Ida pedanda mengatakan, bahwa dasar dari pemujaan kepada dewa, bhatara, maupun Tuhan adalah rasa bakti.

“Kalau memuja tanpa rasa bakti, itu sama saja dengan sia-sia,” tegas beliau.

Tidak boleh jumawa atau sombong, dan tetap merendah.

Seperti halnya dalam ajaran Arjuna Wiwaha, yang menjelaskan ketika Arjuna menyebut dirinya manusia nista di depan Dewa Siwa.

“Itu adalah perwujudan bakti dari Arjuna kepada Dewa Siwa, walau dia punya kemampuan dan keturunan dewa,” kata Ida pendanda. (ask)

Berita Terkini