AHY Sebut Jokowi Tak Tahu-menahu Soal Upaya Pelengserannya dari Ketua Umum Partai Demokrat

Editor: DionDBPutra
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat bertemu Presiden Joko Widodo di Istana, Selasa 6 Maret 2018.

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA – Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ) menyampaikan pernyataan terbaru mengenai konflik internal partai yang dipimpinnya tersebut.

Putra sulung mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini tak lagi membawa-bawa Presiden Joko Widodo ke dalam konflik Demokrat.

Melalui keterangan tertulisnya, AHY memastikan Presiden Jokowi tak tahu-menahu adanya upaya pelengserannya dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat oleh sekelompok orang.

Baca juga: Mendadak Gelar Jumpa Pers, AHY Sebut Ada Upaya Rebut Paksa Kursi Pimpinan Partai Demokrat

Baca juga: Tanggapi AHY, Moeldoko Harap Petinggi Partai Demokrat Lebih Kuat

Baca juga: Jokowi Tidak Menjawab Surat AHY karena Isu Kudeta Merupakan Masalah Internal Demokrat

"Saya sudah mendapatkan sinyal bahwa Bapak Presiden tidak tahu-menahu tentang keterlibatan salah satu bawahannya itu. Ini hanya akal-akalan kelompok GPK-PD untuk menakut-nakuti para kader," kata AHY.

AHY menegaskan, hubungan antara Presiden Joko Widodo dan Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY) cukup baik.

Menurut AHY, ada pihak yang ingin memecah belah hubungan baik antara Jokowi dan SBY lewat cara menggulirkan isu kudeta di Partai Demokrat.

"Hubungan Pak SBY dan Pak Jokowi cukup baik, tetapi kelompok ini berusaha memecah belah hubungan yang telah terjalin dengan baik itu," kata AHY.

Menurut AHY, ia masih terus memantau dan menerima laporan dari para kader terkait upaya kudeta di Partai Demokrat.

Ia menjelaskan, awalnya para pelaku gerakan berusaha memengaruhi para pemilik suara dengan memengaruhi pengurus DPD dan DPC serta para mantan pengurus.

Lalu, kata AHY, para pelaku gerakan mengeklaim telah mengumpulkan puluhan bahkan ratusan suara untuk dapat menyelenggarakan kongres luar biasa (KLB), padahal hanya tipuan.

Kemudian, para pelaku gerakan menggunakan alasan KLB karena faktor internal. Padahal, kata AHY, itu merupakan persoalan eksternal.

"Yakni kelompok ini sangat menginginkan seseorang sebagai capres 2024 dengan jalan menjadi Ketua Umum PD melalui KLB," ujar AHY.

Sebelumnya AHY dan Demokrat menduga ada keterlibatan Jokowi dalam upaya pelengserannya dari kursi ketua umum.

Hal itu, menurut Demokrat ditandai dengan dugaan keterlibatan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko yang berdiskusi dengan sejumlah anggota Partai Demokrat dan membahas pelaksanaan Kongres Luar Biasa (KLB) untuk mengganti AHY dari pucuk pimpinan.

AHY sampai mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk mengklarifikasi keterlibatan Moeldoko dalam konflik internal Demokrat.

Lewat surat itu AHY hendak memastikan apakah Presiden Jokowi merestui tindakan Moeldoko yang disebut-sebut berupaya melengserkan AHY untuk kepentingan Pilpres 2024.

Sejumlah elite Demokrat bahkan mendesak Jokowi menjawab surat dari AHY tersebut.

Istana lewat keterangan Menteri Sekretaris Negara Pratikno akhirnya menyatakan Presiden Jokowi tak akan membalas surat tersebut karena itu merupakan ranah internal Partai Demokrat.

Politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik mengkritik sikap Jokowi yang tidak membalas surat AHY.

"Pak Jokowi mau cuci tangan? Jika benar, seharusnya tidak boleh," kata Rachland saat dihubungi Jumat 5 Februari 2021.

Ia menilai, Presiden tidak semestinya mengabaikan surat yang dikirim AHY. Presiden, menurut Rachland, perlu membalas surat tersebut untuk memberikan sinyal kuat bahwa praktek pengambilalihan paksa partai politik adalah tindakan yang tidak benar.

"Presiden sebaiknya perlu memberi pesan kuat bahwa praktek ambil alih paksa partai politik itu salah dan buruk," tegasnya.

Ia mengingatkan praktik pengambilalihan secara paksa tak hanya menimpa Demokrat, melainkan juga pernah menimpa PDI Perjuangan, partai asal Jokowi, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, tindakan seperti itu merupakan bentuk peninggalan politik masa lalu.
"Karena itu, seharusnya Presiden tidak mentolerir praktik politik yang sama atau meniru yang dilakukan anak buahnya sendiri," jelas Rachland.

Rachland menegaskan, partainya tidak merasa dirugikan apabila Presiden Jokowi memilih berlindung di balik teka-teki tentang sikapnya. Hanya saja, ia berharap Presiden mampu dijauhkan dari sikap keraguan dan kebingungan dalam berpolitik.

"Sebaliknya, keputusan yang kuat dan bermartabat harus dipilih. Bukan saja demi melindungi demokrasi. Tapi juga kehormatan Istana," tutur Rachland.

Strategi berbeda

Menanggapi perubahan sikap AHY dan Demokrat dengan tak lagi menyeret Jokowi dan Istana ke dalam konflik internal mereka, pengamat politik Hendri Satrio menilai putra sulung SBY itu sudah mulai berpikir secara jangka panjang.

Ia menilai AHY kini telah menyadari bahwa menjaga komunikasi yang baik dengan Jokowi dan Istana jauh lebih menguntungkan ketimbang memasang posisi berhadap-hadapan seperti sebelumnya.

Ia menilai langkah yang diambil AHY dengan tak lagi menyeret Jokowi ke dalam konflik internal Demokrat sudah tepat karena akan memperkecil medan pertarungan.

Dengan demikian internal Demokrat bisa lebih fokus dalam menghadapi pihak yang hendak melengserkan AHY dari kursi ketua umum.

“Setelah ini kelihatannya pertarungannya akan menempatkan Moeldoko seorang diri juga setelah Pak Jokowi ditarik keluar oleh AHY. Ini pertarungannya akan lebih kecil dan lebh cepat padam,” kata Hendri.

“Good move dan langkah baik buat AHY untuk tidak mengajak penguasa untuk masuk ke dalam pertarungan politik yang sebenarnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu mengganggu,” lanjut dia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Berubah 180 Derajat, AHY Tak Lagi Menyeret Jokowi dalam Konflik Internal Demokrat

Berita Terkini