Apa Perbedaan Bawati Dan Sulinggih? Berikut Penjelasannya

Penulis: AA Seri Kusniarti
Editor: Eviera Paramita Sandi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Banyak orang yang belum paham, apa perbedaan Bawati dengan Sulinggih.

Berikut penjelasan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, kepada Tribun Bali, Rabu 31 Maret 2021.

"Tentang masalah Bawati yang paling tahu persis adalah dari maha warga Pasek, karena istilah Bawati lebih banyak dipakai oleh maha warga Pasek," jelas ida.

Sedangkan dari pihak Brahmana (Ida bagus), dan pihak Bhujangga tidak memakai istilah Bawati.

Kemudian beliau sedikit memberi gambaran.

Dahulu kala sebelum istilah Bawati dikenal, maka istilah yang pakai adalah Jro Gede. Namun kemudian istilah Jro Gede ditinggalkan dan kini dikenal dengan istilah Bawati.

"Bawati sendiri masih disebut Eka Jati. Adalah orang yang akan meningkatkan diri untuk menjadi sulinggih (dwijati) nantinya," sebut ida.

Sehingga apabila seorang Bawati madwijati barulah menjadi sulinggih.

Sebelum menjadi Bawati, biasanya diawali dengan menjadi Pinandita (pemangku).

"Ketika seorang pinandita ingin meningkatkan diri untuk menjadi sulinggih, maka dia akan terlebih dulu mencari calon Nabe, dan disana ia belajar tentang kesulinggihan," jelas Ida.

Setelah mantap lalu akan diupacarai atau diwinten bawati, maka ia akan disebut Bawati. Seorang Bawati tidak memakai udeng atau ikat kepala, tetapi dia akan mengikat rambutnya (mepusung) yang disebut 'Anyondong' yaitu mengikat rambut dengan cara 'Mepusung' dan diletakkan di belakang.

Bawati akan selalu belajar tentang tata cara kesulinggihan. Sebelum akhirnya didiksa menjadi sulinggih.

Sementara sulinggih, disebut juga dwijati yang artinya orang yang lahir dua kali.

"Pertama kali lahir dari rahim ibu, dan kedua lahir dari hasil upacara podgala dari seorang babe yang melahirkan seorang sulinggih," ucap beliau.

Jadi Bawati, adalah seorang Ekajati yang telah disucikan melalui podgala pawintenan Bawati, untuk belajar memperdalam ilmu kesulinggihan.

Ida mengatakan, bahwa rambutnya tidak boleh di gelung atau prucut di atas, tetapi rambutnya di prucut di belakang agak ke bawah (Anyondong).

Sesana yang dilaksanakan masih sesana walaka, tetapi bertahap menuju sesana kesucian, dan belajar pada orang-orang yang nantinya ia pilih sebagai nabe.

Tetapi seorang sulinggih adalah orang yang telah melakukan inisiasi dwijati yaitu lahir dua kali, lahir pertama dari rahim ibunya dan lahir kedua dari nabenya.

"Seorang sulinggih akan dilahirkan melalui tiga nabe, yaitu nabe napak, nabe waktra dan nabe saksi," sebut ida. Melalui prosesi inisiasi padwijatian. Dari sana maka barulah lahir seorang sulinggih.

Walaupun seorang sulinggih sudah lahir, ia harus melakukan dua tahapan lagi yaitu tahapan ngalinggihan Weda atau ngalinggihan puja. Ini tahap ujian oleh seorang nabe apakah sang sulinggih yang baru lahir sudah mahir untuk muput upacara.

Selanjutnya adalah tahapan mapulang lingga.

Yaitu upacara untuk menyucikan antah karana sarira (roh yang paling dalam) agar nantinya bisa menyucikan roh orang lain (ngaskara atma).

"Oleh karena itu sulinggih yang belum melaksanakan upacara mapulang lingga ini, belum berhak atau diperkenankan oleh nabenya untuk muput upacara atiwa-tiwa (pengabenan) dan pengaskaran," sebutnya.

Karena dalam upacara pengabenan ada upacara pengaskaran. Di samping itu sulinggih yang belum mapulang lingga, tidak diperkenankan untuk muput upacara yang memakai sanggar tawang.

"Itulah perbedaan antara bawati dan sulinggih," tegas ida. (*)

Berita Terkini