Wawancara Tokoh

Bincang dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Ada Orang Ingin Lakukan Pengacauan

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Presiden Ma'ruf Amin - Bincang dengan Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin, Ada Orang Ingin Lakukan Pengacauan

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Pandemi Covid-19 terus melanda Tanah Air, meski waktu telah berjalan satu setengah tahun.

Namun masih ada kelompok masyarakat hingga tokoh agama yang tidak mempercayai virus corona.

Wakil Presiden RI KH Ma'ruf Amin mengatakan, fenomena yang dialami Indonesia merupakan pengaruh fenomena global.

Pemerintah, kata dia, telah melakukan berbagai upaya, dari edukasi hingga penjelasan dari pihak-pihak terkait ke masyarakat.

Baca juga: Bincang dengan Ketua PP PERKI, Penderita Sakit Jantung Aman Divaksin

Ma'ruf juga turun tangan untuk bersinergi dengan seluruh ulama secara virtual, demi memberikan pengertian kepada kelompok masyarakat hingga tokoh agama yang tak percaya corona.

"Saya berbicara dengan seluruh ulama di daerah melalui virtual. Saya kumpulkan ormas-ormas Islam, dan semua ormas yang sekian ratus itu semua sepakat bahwa ini harus ditanggulangi dan ini adalah sesuatu yang nyata. Dalam tataran ormas, hampir tidak ada yang berpikiran seperti itu," ujar Ma'ruf, saat wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribun Network Rachmat Hidayat, Kamis 12 Agustus 2021.

Berikut wawancaranya:

Pandemi sudah berjalan 1,5 tahun, namun masih ada kelompok masyarakat bahkan tokoh agama yang tidak percaya Covid-19, tidak bersedia menggunakan masker dan menolak divaksin?

Pertama, fenomena tidak percaya Covid-19 itu bukan hanya kita yang alami.

Ini fenomena global, di Amerika Serikat juga menurut survei ada 30 persen, di Perancis juga ada.

Jadi apa yang terjadi di kita itu juga pengaruh fenomena global itu.

Pemerintah terus melakukan edukasi, berbagai penjelasan oleh presiden, wakil presiden, para menteri, kemudian juga dilakukan oleh para satgas dibantu media secara masif.

Kontranarasinya itu sebenarnya sudah dilakukan dengan baik.

Saya sendiri tentu bicara dengan seluruh ulama di daerah melalui virtual.

Kemudian saya juga mengumpulkan ormas-ormas Islam dan semua ormas yang sekian ratus ormas itu.

Semua sepakat, sama, bahwa ini harus ditanggulangi dan ini adalah sesuatu yang nyata.

Jadi kami dalam tataran ormas itu hampir tidak ada yang berpikiran seperti itu.

Bahkan saya melalui berbagai kegiatan di pesantren, istighozah, haul, saya sebutkan bahwa persoalan Covid-19 ini bukan sesuatu yang diduga.

Ini menurut ajaran agama begitu, kita harus bersiap terhadap bahaya yang diduga akan datang.

Sesuatu yang diduga akan datang, kita harus siap diri.

Padahal Covid-19 ini bukan diduga, tapi sesuatu yang diyakini adanya, nyata.

Persoalan ini kan bahaya yang mengancam negara.

Manakala ada bahaya yang mengancam negara, itu menjadi tanggung jawab seluruh rakyat Indonesia, terutama ulama.

Ulama itu punya tanggung jawab negara.

Ulama itu selalu saya ingatkan, cinta tanah air itu merupakan bagian dari iman.

Sekarang ada bahaya mengancam yaitu Covid-19 ini, maka itu bagian tanggung jawab ulama.

Covid-19 itu bukan hanya tanggung jawab kenegaraan dan kebangsaan, tapi juga keagamaan.

Sebab menjaga jiwa atau diri dari wabah ini wajib, maka saya menggunakan istilah penanganan Covid-19 itu masalah agama sesuai syariat, dalam upaya melakukan perlindungan kepada masyarakat dan juga penjagaan pada masyarakat, ini tanggungjawab ulama.

Saya tanyakan mana masyarakat yang masih tidak percaya.

Masih ada sedikit, dan itu digarap.

Buktinya sekarang mereka minta divaksin dimana-mana.

Sampai di daerah kurang vaksin, seluruh daerah menyatakan masih minta vaksin.

Pemerintah terus menyiapkan vaksin supaya mereka bisa divaksin sampai akhir 2021.

Ini akhir 2021 (diharapkan vaksinasi) ini selesai.

Vaksinnya ini sudah kita siapkan.

Baca juga: Luhut Sebut Peningkatan 3T, Disiplin Prokes & Penyediaan Isoter Kunci Pengendalian Covid-19 di Bali

Masyarakat juga sudah siap, tapi kecepatan memvaksinasi ini juga jadi masalah yang kita hadapi.

Ini bukan masalah gampang memvaksinasi sekian banyak masyarakat dengan daerah yang terpisah-pisah.

Beredar hoax di masyarakat.

Seperti orang yang dirawat di rumah sakit justru meninggal, disuntikkan rumah sakit ke masyarakat itu racun, hingga vaksin itu sesuatu yang bisa mengganggu tubuh.

Berita bohongnya sudah dilakukan klarifikasi-klarifikasi bahwa itu tidak benar.

Klarifikasi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dari aspek kesehatan, dari Kominfo bahwa berita itu bohong dan dijelaskanlah bahwa yang meninggal itu bukan karena vaksin, tapi karena memang ada penyakit yang dibawa.

Itu dijelaskan secara masif.

Memang, karena ada orang yang ingin coba melakukan pengacauan, di setiap masa pasti ada.

Kalaupun bukan isu Covid-19, ya isu lain, agar membuat tidak percaya kepada pemerintah.

Nah sekarang ini masalah Covid-19 dan kesulitan ekonomi yang dijadikan isu yang di-blow up terus.

Kelompok-kelompok ini memang yang pada dasarnya tidak suka dengan pemerintah.

Ini yang terus kita lakukan, klarifikasi, edukasi.

Saya bertemu dengan tujuh gubernur di Jawa dan Bali, saya minta kalau di daerah masih ada kelompok tersebut, supaya dilakukan pendekatan dengan baik, dirangkul, didekati secara humanis, diberi pengertian sehingga dia bisa kembali.

Ini terus dilakukan, kita tidak bosan-bosan.

Karena kita beranggapan bahwa kelompok ini akan terus ada.

Hanya sekarang memperoleh momentum karena ada medsos.

Jadi ada sarananya untuk membuat kegaduhan.

Medsos era digital di satu sisi menguntungkan, di sisi lain isu negatif juga bisa berkembang dengan cepat.

Ini masa terjadinya keserupaan, kesamaran antara yang benar dan salah.

Nah ini yang saya kembangkan terus kepada masyarakat dan saya minta kiai-kiai juga menyampaikan bahwa jangan terkecoh, karena ini sedang terjadi masa terserupakan antara yang benar dan salah ini samar.

Sehingga kita harus hati-hati.

Pemerintah menerapkan PPKM Darurat Jawa-Bali, tapi muncul fenomena bendera putih. Apakah kita perlu memberi kelonggaran?

Di Jawa sudah menurun kasus Covid-19.

Walaupun belum signifikan betul, namun sudah turun.

Tetapi di luar Jawa ada kenaikan di beberapa daerah.

Untuk jawa karena banyak kabupaten yang sudah mulai menurun dari level 4 ke level 3 maka diberikan kelonggaran.

Soal PPKM, pemimpin di daerah masih sporadis, belum semua melakukan sentuhan kultural. Bagaimana pemerintah pusat mendorong pemda hingga pemerintah desa untuk menggerakkan kekuatan tokoh-tokoh?

Pemerintah sudah melakukan berbagai arahan petunjuk dalam rakor untuk melakukannya.

Makanya disebutkan PPKM itu kan artinya pembatasan sampai ke tingkat mikro.

Itu mikro sampai ke tingkat RT. Jadi ini pengawasannya sampai ke tingkat RT.

Sebenarnya program itu supaya pemda kemudian melakukannya sampai ke tingkat bawah.

Adanya berbagai di daerah-daerah isolasi-isolasi mandiri. Itu memang ada.

Jateng ada jogo tangga.

Jogja ada jaga warga.

Di Bali juga ada.

Baca juga: Dukung Penanganan Covid-19, PLN Siap Produksi Hingga 2 Ton Oksigen per Hari

Sebenarnya itu dalam rangka mengembangkan dan memanfaatkan kearifan lokal ini.

Pertemuan saya dengan tujuh gubernur Pulau Jawa, semua memiliki program-program itu, karena memang mereka menghadapi sendiri.

Persoalannya kalau tidak ada bantuan warga, pemerintah akan berikan solusi.

Saya memang belum bertemu dengan para gubernur di luar Jawa, tetapi dari program PPKM itu sebenarnya di tingkat mikro pembatasan perlu adanya upaya kearifan lokal.

Jadi kalau memang di Jambi belum terasa itu, saya akan sampaikan kepada provinsi yang masih belum untuk perlu diberikan solusi-solusi.

Soal baliho politik marak dari menteri tertentu, bagaimana tanggapan Pak Wapres?

Sebab menteri-menteri ini punya tanggung jawab yang sangat besar mengatasi masalah pandemi.

Baliho ini memang ini nggak dilarang.

Tapi ini sebenarnya memang tanggung jawab kita sendiri ya.

Kalau sebagai pejabat, tanggung jawab itu bagaimana dia melaksanakan jabatannya itu.

Sebenarnya masih terlalu dini (kampanye 2024), tapi sekarang ini sudah mulai di mana-mana politik. Jadi pada takut ketinggalan kereta.

Sebenarnya yang bikin masalah itu media juga sih.

Media sudah mulai memancing-mancing, akhirnya pada keluar semua itu dipancing oleh media.

'Oh si ini surveinya sekian', akhirnya kan yang ketinggalan nyoba.

Jadi ini sudah sesuatu yang memang harus kembali kepada masing-masing tokoh masyarakat itu sendiri.

Kalaupun dia mau, mestinya yang dia jual itu kinerjanyalah.

Kalau kinerjanya baik, kan tidak usah pasang baliho kan.

Saya kira nanti akan ditertibkanlah soal baliho supaya jangan mengganggu pemandangan, harus ditertibkan, (tapi) pada saatnya (akan) dibuka.

Kalau belum saatnya sebaiknya tidak dulu.

Yang kita sekarang ini mestinya fokus bagaimana menghadapi Covid-19, apa yang kita pikirkan, omongkan, langkahkan itu bagaimana mengatasi Covid-19.

Ini kan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tapi seluruh dan semuanya bicara Covid-19, bagaimana bisa memberikan kontribusi di dalam rangka penanggulangan Covid-19.

Jadi harus digalakkan di dalam masyarakat dan harus dibantu oleh pers dan media.

(tribun network/Vincentius Jyestha)

Kumpulan Artikel Wawancara Tokoh

Berita Terkini