TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Jika melewati Jalan Gajah Mada, warga akan menemui tiga patung di kawasan tersebut yang kini menjadi ikon baru Kota Denpasar, Bali.
Ada patung Ratu Mas Melanting di depan Pura Melanting Pasar Badung Denpasar dan patung Sang Kala Tri Semaya yang mengapit jembatan di jalan tersebut.
Setelah 7 bulan berproses, patung Ratu Mas Melanting pun rampung.
Patung tersebut kini terpasang di depan Pura Melanting Pasar Badung Denpasar.
Baca juga: Patung Ratu Mas Melanting Rampung, Putu Marmar: Ada Banyak Pengalaman Spiritual yang Saya Dapatkan
Pemasangan dilakukan, Rabu 1 Desember 2021 siang di bawah hujan gerimis yang mengguyur kota.
Patung ini berwujud seorang perempuan yang berdiri dan di tangan kirinya membawa daksina, sementara di tangan kanannya memegang uang kepeng.
Ratu Mas Melanting merupakan patung karya seniman Kota Denpasar, Putu Marmar Herayukti yang selama ini dikenal sebagai seniman ogoh-ogoh dan seniman tato asal Banjar Gemeh, Desa Dauh Puri Kangin, Denpasar.
Ditemui dalam pemasangan patung di kawasan Pasar Badung, Marmar menceritakan pengalamannya selama pembuatan patung ini.
Ia menghabiskan waktu 7 bulan untuk menyelesaikan patung ini, dimana 2 bulan pertama ia lewati dengan melakukan perencanaan dan belajar.
Selanjutnya 5 bulan berikutnya barulah ia mulai menggarap patung ini.
Pengerjaan model awal patung ini dilakukan di Desa Mas, Ubud, Gianyar.
Proses selanjutnya dilanjutkan dengan membuat model cetak menjadi cetak fiber.
Setelah itu, cetakan tersebut dibawa ke Jawa Tengah untuk proses cor logam karena memang di Bali belum ada cor logam.
“Patung ini terbuat dari perunggu. Setelah empat bulan pengerjaan model, saya sebulan di Jawa Tengah untuk cor logam,” katanya.
Terakhir, dilakukan finishing karena banyak lekukan yang tak sesuai pada patung ini.
“Kenapa patung Ratu Mas Melanting? Karena patung ini diletakkan di titik nol perekonomian Kota Denpasar yakni Pasar Badung. Apalagi kita tahu bahwa Denpasar itu berarti di utara pasar, dimana Den artinya utara. Jadi pasar ini sangat penting bagi sektor perekonomian masyarakat,” tutur marmar.
Marmar ingin, patung ini menjadi ikon kemakmuran masyarakat di Kota Denpasar.
Ada pesan khusus yang ia angkat lewat patung ini, yakni terkait prinsip dalam dunia perdagangan maupun kehidupan yakni adil, jujur, dan bermutu.
“Sepanjang pembuatan patung ini saya banyak belajar tentang nilai keluhuran yakni adil, jujur dan bermutu,” katanya.
Dalam pembuatan patung ini, Marmar juga mengaku tidak menemukan banyak kendala.
“Meskipun ini patung pertama yang saya buat, namun tidak ada banyak kendala. Mungkin semesta sudah merestui,” katanya.
Dirinya pun mengaku banyak merasakan pengalaman spiritual dalam pengerjaan patung ini.
“Pengalaman spiritual banyak, banyak disadarkan dan diberikan kemudahan dan saya rasa ini bukan kebetulan. Semua adalah restu dari beliau,” katanya.
“Ini adalah pengalaman yang luar biasa ini magic banget, karena saya bisa menyelesaikan dengan baik tanpa ada pengalaman sebelumnya dalam membuat patung logam,” katanya.
Untuk diketahui, patung ini memiliki tinggi 4,5 meter, dan lebar 1,5 meter.
Sementara itu, patung bertema Sang Kala Tri Semaya mengapit jembatan Jalan Gajah Mada yang dibuat oleh seniman Denpasar I yakni Nyoman Gede Sentana Putra yang akrab disapa Kedux Garage.
Pemasangan patung ini dilaksanakan, Selasa 30 November 2021, pukul 22.30 Wita hingga Rabu pagi.
Dalam proses pemasangannya, untuk satu patung membutuhkan waktu kurang lebih dua jam hingga patung bisa berdiri dengan sempurna.
Pembuat patung ini, Kedux menuturkan, pembuatan patung ini bermula dari permintaan pembuat desain Kumbasari yakni Ketut Siandana.
Kedux diminta untuk merespon jembatan Gajah Mada dengan patung.
“Jembatan ini kemudian saya anggap lalu lintas manusia, dan saya berpikir raksasa atau boma apa yang cocok,” katanya.
Setelah itu, ia pun memutuskan untuk membuat patung Sang Kala Tri Semaya.
Jumlah kala ini sebenarnya yakni 108, dan diambil dua dari 108 bentuk tersebut dan direalisasikan menjadi patung.
“Saya ambil yang bentuk fisik raksasanya mendekati anatomi manusia. Aksesorisnya juga tidak pakai gelungan karena sesuai penempatannya. Beda dengan di pura kan ada gelungan,” tutur Kedux.
Kedux menambahkan, Sang Kala Tri Semaya ini merupakan kala yang turun ke dunia pada zaman Kaliyuga untuk menjaga manusia.
Dalam pembuatan dua patung ini, Kedux membutuhkan waktu selama tiga bulan.
Ia dibantu oleh beberapa rekannya untuk mengukir detail aksesoris patung dan dibuat di Kediri, Singapadu, Gianyar.
Patung ini dibuat dengan paras cor dengan tinggi 3 meter, dan bobot satu patung 3.3 ton.
Semantara untuk lebar patung 120 cm dan tinggi pedestal atau alas patung 130 cm.
“Saya yang membuat bentuknya dan proporsi patung. Sementara teman-teman membantu untuk membuat ukiran aksesorisnya. Waktunya cukup mepet tiga bulan. Kalau tidak dibantu, tidak bisa cepat,” akunya.
Baca juga: Harga Kebutuhan Pokok di Pasar Badung Masih Stabil, Harga Buah Diprediksi Meningkat Jelang Galungan
Pembuatan patung ini pun mengalami beberapa kendala terkait pencarian bentuk boma atau raksasa.
Apalagi ini merupakan patung pertama yang dibuat oleh Kedux.
“Awalnya saya berpikir boma itu sederhana, tapi setelah saya buat, banyak hal yang harus dipelajari. Misal tangan kanan bawa senjata, kaki kiri yang naik,” katanya.
Selain itu, dirinya juga harus mencaritahu perbedaan style boma Denpasar atau Bebadungan, Gianyar, tahun 1970-an hingga tahun 1940-an.
Sementara itu, untuk aksesoris atau pepayasan patung, idenya ia ambil dari Patung Catur Muka.
Selain itu, inspirasinya juga diambil dari beberapa patung yang ada di kawasan Jalan Gajah Mada seperti Pura Maospahit, maupun Grengceng.
“Karena ini satu kesatuan agar bentuknya matching makanya saya acuannya ke Catur Muka lebih banyak dan ada beberapa patung lainnya di sekitaran Gajah Mada,” katanya.
Pengerjaan patung ini baru selesai Senin, 29 November 2021 malam dan paginya langsung dibawa ke Denpasar.
Bagi Kedux, karakter Denpasar khususnya Bebadungan harus tetap dipertahankan dan diangkat agar tidak hilang.
“Bagaimana kita mempertahankan karakter dari karya nenek moyang kita. Jangan sampai semua bangunan menggunakan karakter luar,” katanya.
Oleh karena itu, dalam pembuatan patung ini ia berusaha menggunakan acuan style bebadungan. (I putu supartika)
Kumpulan Artikel Denpasar