Wakil Menteri Berdarah Bali

Luh Puspa Ungkap Keinginannya Setelah Dilantik Jadi Wakil Menteri, Pulang ke Buleleng Bali

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ni Luh Puspa saat melakukan persembahyangan, diketahui Ni Luh Pupsa saat ini menjadi Wakil Menteri Pariwisata di Kabinet Prabowo Gibran.

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Ni Luh Puspa akan dilantik menjadi Wakil Menteri Pariwisata pada hari ini, Senin 21 Oktober 2024.

Pelantikannya akan dilakukan dengan seluruh Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Kepresidenan Jakarta.

Saat dilantik nanti, pemilik nama asli Ni Luh Enik Ermawati mengatakan akan menggunakan kebaya lokal khas Bali. 

“Kebaya, semua lokal, dan tentu mencirikan jati diri saya, Bali. Nanti lihat ya hehehe,” ucapnya saat dikonfirmasi, Senin 21 Oktober 2024. 

Ia juga mengungkapkan usai dilantik akan melakukan persembahyangan di rumahnya yakni di Buleleng Bali. 

“Duh senangnya, saya mau pulang, maturan (sembahyang) di rumah dulu. Mungkin setelah minggu ini, di awal bulan depan, nanti lihat jadwal,” imbuhnya. 

Kepada Tribun Bali, Ni Luh Puspa mengatakan namanya Puspa diambil dari almarhum kakek atau ayah dari ibunya. Puspa merupakan perempuan Bali yang lahir pada 18 November 1986. Ia berasal dari Desa Selat, Buleleng, Bali dan tinggal di Jakarta, sebagai jurnalis Kompas TV. 

Baca juga: 2 Wakil Menteri Kabinet Prabowo-Gibran Berdarah Bali, Ini Daftar Lengkap Kabinet Merah Putih Terbaru

Sebelumnya, perempuan asal Singaraja Bali ini dipanggil secara mendadak untuk mengikuti pembekalan wamen di rumah Presiden terpilih Prabowo Subianto di Hambalang.

Di balik pencapaian presenter Kompas TV ini, Luh Puspa ternyata mengalami masa kecil yang penuh perjuangan.

Perjuangan Luh Puspa di Masa Kecil

Dalam podcast kode di kanal YouTube KompasTV, Ni Luh Puspa menceritakan kisah masa kecilnya.

Ia melewati masa kecil bersama kakek neneknya di Buleleng Bali.

Saat itu, orangtuanya merantau ke Makassar. Puspa kecil harus bertahan hidup dan tinggal di desa kecil bersama kakek neneknya.

"Jadi tuh sebenernya waktu aku kecil, dibawa sama bapakku ke Bali sama adikku, aku anak pertama makanya namanya Ni Luh, anak perempuan pertama. Nah aku tinggal sama kakek dan nenekku, bapakku balik ke Makassar, kita tinggal di kampung yang ga ada listrik ga ada air, jalanannya itu tanah,"tuturnya.

"Kalau musim hujan aku ga pakai sepatu ke sekolah karena itu akan becek, terus aku harus nyebrang 3 parit bukan, tapi sungai juga bukan, terus udah deket baru aku pakai sepatu," katanya.

Ia mengisahkan saat itu ia harus bekerja membantu kakek dan neneknya karena demi mencukupi kebutuhan hidup mereka.

Dari situlah Ni Luh Puspa ikut bekerja dan melakukan kegiatan apapun bersama kakek neneknya demi mendapatkan uang.

Ia pernah menjual tali buatan sang kakek hingga ayam di kampungnya.

Bahkan Ni Luh Puspa sempat jadi tukang pemecah batu.

"Kakekku itu petani, tapi dari hasil pertanian saja tidak cukup, kakekku bikin tali dari bambu dan diolah sampai jadi tali, aku biasa bantuin dia.

Dan kalau kemarau, deket rumah ada sungai, kalo ga ada air, kakekku jadi tukang batu di situ terus musim petik apa kakek nenekku jadi apa, dan aku selalu menemani mereka mengerjakan pekerjaan pekerjaan itu," curhatnya.

Diakuinya, saat itu Puspa kecil tidak punya pilihan.

"Aku ngga punya pilihan, kakek juga punya hewan ternak, aku juga bertugas untuk mencarikan makanan untuk ternaknya

"So keunggulan jadi anak desa, kita ngga terpikirkan untuk main ke Mall, atau pergi ke taman bermain, aku jadikan area tempat kerjaku jadi tempat main," ujarnya.

Kesedihan dialami saat Ni Luh Puspa duduk di kelas 4 sekolah dasar.

Setelah kedua orangtuanya memutuskan bercerai alias berpisah.

"Hal itu jadi titik balik waktu mereka pisah aku sempat membenci mereka, kalau mereka ngga egois mikirkan diri mereka sendiri, aku bisa main sama temenku, atau aku masih bisa menikmati masa kecilku,"ujarnya.

Dalam ingatan pahitnya, Ni Luh Puspa membeberkan momen di mana ibu kandung pergi dari rumah.

Momen tersebut terjadi saat dirinya tengah mencari kayu bakar dan sayur untuk makan.

"Pas di rumah, ibuku kakek nenek dan kakek nenek dari ayahku duduk di teras, aku ngga ngerti turunin kayu bakar di dapur, aku lihat ibuku nangis, lalu ibuku peluk aku dan bilang aku sayang sama aku tapi harus pergi, aku ngga bicara sepatah kata pun," ujarnya.

"Aku cuma berdiri di jalan itu jalan terus nggak berbalik di aku, di belokan saat terakhir aku lihat punggung dia, aku ngerti apa yang terjadi tapi aku ngga nangis," tegasnya.

Ia masih tetap beraktivitas seperti biasa.

Hingga saat malam, di saat itu juga dirinya merasa sangat sakit dan menangis sejadi-jadinya.

"Aku feel so hurt, aku nangis, aku janji tidak akan memikirkan dia, ngga akan nangis, keep strong. Nenek dan kakekku sangat keras, loh jangan cengen jadi orang, mereka tidak mau mengajarkan aku jadi orang cengeng," tuturnya.

Bercita-cita jadi orang besar

Keinginan untuk jadi orang besar membuat Ni Luh Puspa untuk berusaha tetap sekolah.

Dalam pengakuannya, Ni Luh Puspa harus membantu mencari uang sembari sekolah.

Lantaran sang ayah memiliki masalah finansial dan harus menghidupi kedua adiknya.

Di ingatan Ni Luh Puspa, pekerjaan pertama di bidang garmen di Bali tepatnya di Kuta.

"Gaji pertama kali Rp500 Ribu, ini aku tabung sebagian, dan tinggal di Mess," ujarnya.

Terus akhirnya Ni Luh Puspa balik ke kampung dan bekerja sebagai sales sepatu.

Dan pernah juga bekerja di hotel hingga akhirnya bisa melanjutkan kuliah di usia 24 tahun.

"Aku saat masuk kuliah sempat ragu karena umur sudah segini, tapi orang dekat tetap memberikan dukungan,"tegasnya.

Perjuangannya membuahkan hasil. Ia sukses dikenal masyarakat lewat program Ni Luh yang ia pegang. 

Dan kini mendapat kepercayaan menjadi wakil menteri. (*)

Berita Terkini