TRIBUN-BALI.COM - Ribuan karyawan di Bali terancam tidak bekerja lagi alias di PHK.
Hal ini menyusul puluhan perusahaan air kemasan, yang mungkin bakal tidak bisa beroperasi menyusul larangan produksi dan distribusi air kemasan di bawah 1 liter. Imbauan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Gubernur Bali nomor 9 tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih.
"Kalau pak Gubernur Bali mau menerapkan ini secara ketat, kami khawatir dari 18 pabrik itu, cuma 2 pabrik yang akan bertahan," kata Direktur Utama CV Tirta Taman Bali, I Gde Wiradhitya Samuhata, dalam siaran persnya.
Mengutip data Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (ASPADIN), Wiradhitya mengungkapkan bahwa ada 16 pabrik air minum dalam kemasan (AMDK) di Bali yang bergantung pada penjualan air kemasan di bawah satu liter.
Direktur produsen merek Nonmin ini menjelaskan, perusahaan yang dia kelola memiliki dua pabrik dan mempekerjakan 120 karyawan.
Baca juga: TIKAM Kana Hingga Tewas! Gede Boy Terancam Bui 15 Tahun, Mabuk Main Domino Berujung Maut di Buleleng
Baca juga: NASIB Produsen AMDK di Bali Terancam Gulung Tikar, Omzet Pengusaha Air Kemasan Terjun Bebas
Wiradhitya melanjutkan, dalam 1 pabrik memberdayakan 60 karyawan. Apabila tidak bisa beroperasi akibat SE Nomor 9 Tahun 2025, maka ratusan pekerja yang ada terpaksa di PHK. Dia melanjutkan, jumlah itu belum ditambah dengan pekerja dari perusahaan lain.
Wiradhitya menjelaskan, berdasarkan data ASPADIN, sebuah perusahaan AMDK semisal memiliki 60 sampai 90 karyawan dikali 16 korporasi, yang akan gulung tikar karena tak bisa beroperasi. Maka apabila dikalkulasi jumlah tersebut, akan mencapai ribuan pegawai yang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilan mereka.
"Kemarin ASPADIN bilang dari 18 yang terdaftar ada 16 yang bergantung di bawah satu liter, 16 kali 90 paling tidak ya, itupun di satu pabrik cuma satu shift," kata dia menjelaskan potensi PHK yang bakal terjadi.
Di satu sisi, Wiradhitya menyayangkan kebijakan pemerintah provinsi (pemprov) yang terkesan tidak adil karena tidak mengatur peredaran kemasan soft drink, saset, dan jenis plastik lainnya.
Padahal, sachet merupakan salah satu kemasan penyumbang sampah terbanyak di Bali dan tidak bisa terkelola dengan baik."Waktu rapat tidak membahas sampah sachet, kami fokus industri kami dulu. Padahal sampah sachet paling banyak," katanya.
Wiradhitya mengungkapkan, saat rapat pertama bersama Gubernur Bali, permasalahan utama yang dipaparkan adalah soal pengelolaan sampah di tingkat rumah tangga hingga Tempat Pembuangan Akhir (TPA), bukan dari sisi produsen atau distributor.
"Di situ dari awal itu pure masalahnya itu dari sampahnya itu sendiri artinya dari tangan rumah tangga atau konsumen yang menjadi sampah sampai di tempat pembuangan akhir penanganannya itu sudah bermasalah," katanya.
Menurutnya, sebelum mengambil kebijakan drastis ke produsen, pemerintah sebaiknya meningkatkan efektivitas pengelolaan sampah dari sumbernya. Ia menyebut angka keberhasilan pengelolaan sampah yang dipaparkan saat itu masih di kisaran 42 persen.
"Kalau sudah mencapai 70 persen namun persoalan sampah ini masih timbul, nah itu sah-sah saja pemerintah langsung lompat ke produsennya. Tapi ini masih 42 persen terus tiba-tiba muncul slide larangan, saya juga kaget," ujarnya.
Meski mengaku mendukung upaya menjaga kelestarian alam Bali, namun dia menilai pelaksanaan aturan ini terlalu tergesa. ia berharap kebijakan ini bisa dievaluasi dan dijalankan bertahap.