TRIBUN-BALI.COM - Kedaulatan ekonomi digital Indonesia semakin penting di tengah laju digitalisasi dan ketidakpastian global. Fondasi utama yang menopang ketahanan ini berasal dari infrastruktur sistem pembayaran nasional yang andal.
Ekonomi digital adalah sistem ekonomi yang mengandalkan teknologi digital, seperti internet, kecerdasan buatan (AI), dan perangkat lunak, untuk menjalankan aktivitas produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa.
Hasil riset Prasasti Center for Policy Studies (Prasasti) mencatat bahwa ekonomi digital berkontribusi sekitar Rp 1.860 triliun atau 8,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Prasasti adalah lembaga think tank yang berfokus pada isu ekonomi, geopolitik, dan kebijakan publik, menyebut, sektor ekonomi digital memiliki peran penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.
Baca juga: AWAL Mula Bupati Pati Didemo! Aksi Ricuh Jatuhkan Puluhan Korban Luka, DPRD Bentuk Pansus Hak Angket
Baca juga: ANTISIPASI Tragedi KMP Tunu, Operator Ferry Wajib Verifikasi Tiket & Identitas Penumpang Kapal!
Hal ini tertuang dalam laporan riset berjudul Mengoptimalkan Peran Ekonomi Digital dalam Mewujudkan Pertumbuhan Berkelanjutan 8% di Indonesia yang dirilis Prasasti pada Selasa (12/8/2025).
Burhanuddin Abdullah, Board of Advisors Prasasti mengatakan, dengan mendorong dan memfasilitasi perkembangan ekonomi digital berbagai lapisan masyarakat dapat merasakan dampaknya secara langsung. Ini dapat pula memperluas akses pasar, keuangan, dan teknologi.
“Dampaknya dapat terasa pada konsumen, para pedagang, pelaku UMKM dan pekerja informal. Selain itu, industri digital nasional memberikan peluang lebih besar kepada talenta teknologi Indonesia untuk mendapatkan kesempatan kerja dan belajar sesuai bidangnya,” ungkap Burhanuddin, kepada awak media, Selasa (12/8/2025).
Hasil riset Prasasti menunjukkan, nilai Incremental Capital Output Ratio (ICOR) ekonomi digital ada di angka 4,3. Sedangkan efisiensi investasi rata-rata 17 sektor ekonomi nasional adalah pada ICOR 10,6.
Research Director Prasasti Gundy Cahyadi menjelaskan, setiap rupiah investasi di ekonomi digital mampu menghasilkan dua kali lipat output dibanding sektor konvensional.
Artinya, semakin rendah angka ICOR menunjukkan semakin efisien suatu sektor dalam mengelola investasi yang masuk menjadi output riil di perekonomian.
“Investasi di infrastruktur digital, pengembangan talenta data, dan cloud service bukan sekadar transformasi sektor, tetapi merupakan strategi industrialisasi nasional yang sangat menentukan daya saing dan masa depan perekonomian Indonesia dua dekade ke depan,” ujar Gundy.
Dia juga menegaskan pentingnya memanfaatkan momentum digital untuk pertumbuhan ekonomi inklusif.
Dengan tekanan perlambatan ekonomi global, transisi energi, dan pergeseran rantai pasok, Indonesia membutuhkan mesin pertumbuhan yang lebih efisien. “Ekonomi digital menawarkan jawaban konkret,” tambahnya.
Sementara, Policy and Program Director Prasasti Piter Abdullah memproyeksikan kontribusi ekonomi digital mencapai US$ 220 miliar– US$ 360 miliar pada 2030 dan dominasi 40?ri nilai ekonomi digital ASEAN. Hal ini membuat ekonomi digital memiliki potensi besar dalam mendorong produktivitas nasional.
Hasil riset Prasasti juga mencatat bahwa ekonomi digital berkontribusi sekitar Rp 1.860 triliun atau 8,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Selain itu, riset ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 unit nilai tambah dari ekonomi digital akan mendorong peningkatan total output ke seluruh sektor lainnya sebesar 1,89 unit. “Angka ini merefleksikan ketergantungan sektor lain terhadap ekonomi digital,” kata Piter. (kontan)
Sistem Pembayaran Terintegrasi
Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Eko Listiyanto, menggarisbawahi urgensi penguatan infrastruktur tersebut.
Keandalan infrastruktur sistem pembayaran yang terintegrasi menjadi kebutuhan mutlak seiring meningkatnya kemudahan transaksi, baik di dalam negeri maupun lintas negara.
Data Bank Indonesia menunjukan, pembayaran digital pada 2024 mencatatkan total 34,5 miliar transaksi, atau meningkat sebesar 36,1 persen year-on-year (yoy).
“Tentu saja keandalan infrastruktur sistem pembayaran yang terintegrasi akan semakin diperlukan. Lebih dari itu, tantangan keamanan digital juga semakin diperlukan seiring konsumen atau masyarakat yang semakin adaptif dengan digital,” ujar Eko belum lama ini.
Eko menilai, sistem pembayaran Indonesia sejauh ini memang telah menunjukkan daya tahan yang baik di tengah gejolak geopolitik, di mana transaksi digital tetap tumbuh positif. Hal ini menggambarkan kemampuan adaptasi yang tidak lepas dari peran para penyelenggara infrastruktur di dalamnya.
Salah satu yang memiliki peran penting dalam ekosistem infrastruktur sistem pembayaran digital ini adalah lembaga switching.
Menurut Eko, lembaga switching memudahkan transaksi digital yang terjadi antar bank maupun non-bank. “Misal memudahkan transfer uang untuk membayar biaya pendidikan, transaksi saat liburan, transaksi melalui EDC, top up uang elektronik, dan seterusnya,” katanya.
Tak heran, peran lembaga switching kini makin disorot. Keberadaannya menjadi semakin krusial di tengah meningkatnya kebutuhan akan layanan transaksi yang cepat, aman, dan andal. (kontan)