Dari Pameran “Semesta Kita” Menuju Festival Bebas Batas 2019
Pameran seni rupa di BBB kali ini mengetengahkan tajuk “Semesta Kita”, menghadikan 63 karya terpilih dari empat seniman muda berbakat
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Pameran seni rupa di Bentara Budaya Bali (BBB) kali ini mengetengahkan tajuk “Semesta Kita”, menghadikan 63 karya terpilih dari empat seniman muda berbakat.
Pembukaan akan berlangsung pada Jumat (18/1/2019), pukul 19.00 Wita di Jalan Prof Ida Bagus Mantra No. 88A, Bypass Ketewel, Sukawati, Gianyar.
Rujukan tematik pameran ini digagas dan dirancang dengan tujuan utama memberi ruang kreativitas seluasnya, serta apresiasi sewajarnya bagi para kreator yang selama ini terpinggirkan oleh berbagai alasan, termasuk juga faktor-faktor yang bersifat “kebutuhan khusus”.
Para kreator peserta pameran ini, Aqillurachman Prabowo (14), Naripama Ramavijaya (16), Raynaldy Halim (21) dan Anfield Wibowo (13), boleh dikata adalah anak-anak dengan “kebutuhan khusus”.
Mereka adalah insan-insan penyandang disabilitas yang berbeda-beda, mengalami disleksia, autis, dan sebagainya.
Akan tetapi hal itu tidak menghalangi mereka meluapkan bakatnya di dalam proses cipta yang intens dan total.
Karya-karya mereka terbukti tidak kalah cemerlang dan gemilang.
Adapun eksibisi ini akan berlangsung hingga 27 Januari 2019 mendatang.
Pembukaan dimaknai pula pertunjukan seni oleh KoBaGi, pemutaran video, serta pentas keroncong oleh OK Raos Seni.
Wicaksono Adi, selaku kurator pameran mengungkapkan dalam pengantarnya bahwa karya-karya para seniman pameran ini adalah perwujudan ekspresi perasaan dan imajinasi masing-masing.
Dari karya-karya yang ditampilkan, tampak bahwa seniman muda ini memiliki kemampuan dasar seni rupa seperti fungsi garis, warna dan komposisi.
“Tentu, dalam konteks karya-karya penyandang disabilitas, kita dapat mengatakan bahwa melalui karya-karya tersebut kita dapat mengenali dan kemudian menyelami dunia mereka secara lebih dalam. Yaitu dunia yang ”berbeda” dengan yang kita alami. Lebih jauh, karya-karya mereka adalah semacam gambaran dari dunia yang nyaris tak tersampaikan, suatu semesta yang ”unspoken”, ungkap Wicaksono Adi.
Lebih lanjut ia menambahkan bahwa dalam pameran ini publik bebas memberi tafsir terhadap karya-karya empat seniman muda tersebut.
Dengan demikian diharapkan publik akan mendapatkan pengayaan cara pandang, bukan hanya cara pandang terhadap dunia kaum disabel itu sendiri, tapi juga pengayaan cara pandang terhadap realitas atau dunia dan kehidupan yang sedang kita jalani.
Dengan kata lain, dunia seni, termasuk seni rupa masa kini, layak dikedepankan untuk memberi ruang kreasi dan apresiasi yang sama dan setara bagi kreator siapa dan manapun juga, tidak terkecuali yang dipandang “berkebutuhan khusus”.